
Masyarakat Adat Tikala Sambut Baik Penetapan Status Quo Perusahaan Tambang Perusak Situs Leluhur
19 Juni 2025 Berita Arnold Prima BuraraOleh Arnol Prima Burara
Masyarakat Adat Tikala di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan menyambut baik langkah Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan yang telah menetapkan status quo terhadap perusahaan tambang yang merusak situs leluhur Masyarakat Adat.
Langkah yang diambil kejaksaan ini diharapkan disertai upaya penyelidikan untuk menelusuri setiap unsur pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang, termasuk potensi pelanggaran hak Masyarakat Adat, lingkungan dan situs bersejarah.
Belum lama ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) turun ke lokasi tambang untuk menindaklanjuti laporan Masyarakat Adat Tikala terkait dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan tambang CV Bangsa Damai.
Dalam kunjungannya ke lokasi tambang, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan menyatakan komitmennya untuk menelusuri setiap unsur pelanggaran yang dilakukan CV Bangsa Damai di area konsesi tambang seluas 22 hektar di wilayah adat Tikala.
Terkait hal ini, Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan telah memberlakukan status quo terhadap seluruh aktivitas tambang CV. Bangsa Damai. Langkah ini diambil untuk menghentikan kerusakan yang terus meluas dan memberi waktu bagi penegak hukum mengumpulkan bukti.
Astro Payung Allo, salah seorang perwakilan Masyarakat Adat Tikala mengapresiasi tindakan cepat yang diambil oleh kejaksaan. Astro berharap tindakan ini bisa ditindaklanjuti dengan upaya penyelidikan agar pelaku kejahatan dibalik aktivitas pertambangan di komunitas Masyarakat Adat Tikala dapat diungkap dan disanksi hukum.
“Kami berharap penyelidikan bisa segera dilakukan kejaksaan untuk menelusuri setiap pelanggaran dibalik aktivitas pertambangan di wilayah adat Tikala,” kata Astro Payung Allo pada Senin, 16 Juni 2025.
Masyarakat Adat Tikala protes stop tambang merusak lingkungan dan situs leluhur. Dokumentasi AMAN
Astro mengatakan penindakan terhadap aktivitas pertambangan CV Bangsa Damai ini perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan wilayah adat yang lebih parah. Menurutnya, ini bukan soal hak Masyarakat Adat, tapi lebih dari itu soal warisan yang harus dijaga.
“Bukan dihancurkan oleh aktivitas pertambangan demi keuntungan segelintir orang,” tandasnya.
Astro menjelaskan di area konsesi tambang CV Bangsa Damai seluas 22 hektare itu, terdapat benteng pertahanan leluhur, kuburan batu kuno, dan gua alam yang terjaga selama berabad-abad. Situs-situs ini bukan sekadar objek wisata atau peninggalan sejarah biasa, melainkan bagian dari sistem nilai dan spiritualitas Masyarakat Adat yang telah dijaga turun-temurun selama ratusan tahun.
“Semua itu kini berada diambang kehancuran,” terangnya.
Astro menambahkan aktivitas pertambangan CV. Bangsa Damai tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan, seperti pencemaran air dan erosi tanah, tetapi juga menghancurkan situs-situs budaya dan sejarah yang sangat dihormati oleh Masyarakat Adat.
“Tambang ini bukan hanya merusak alam, tapi juga mengoyak warisan leluhur kami. Di lahan yang mereka keruk, ada kuburan nenek moyang kami, gua alam kini diinjak, dihancurkan,” ungkap Astro.
Astro menerangkan bahwa selama ini Masyarakat Adat Tikala tidak pernah memberikan persetujuan atas aktivitas pertambangan di wilayah adat mereka. Bahkan, banyak warga yang mengaku tidak pernah diajak bicara maupun menandatangani dokumen izin atas beroperasinya perusahaan tambang CV Bangsa Damai. Itu artinya, sebut Astro, tanah adat mereka telah dirampas secara sepihak dan dilegalkan lewat proses perizinan yang cacat.
“Kami tidak pernah menandatangani izin apa pun. Lahan konsesi yang digarap oleh perusahaan tambang itu adalah tanah leluhur kami,” imbuhnya.
Astro mengatakan izin tambang yang dikantongi perusahaan juga diduga tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Toraja Utara. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan telah mendalami kemungkinan adanya manipulasi atau penyimpangan dalam penerbitan izin tersebut, baik dari aspek administratif maupun hukum pidana.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Toraya, Sulawesi Selatan