
Nestapa Sungai Arut : Urat Nadi Masyarakat Adat Dayak Yang Tercemar
21 Februari 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Para tetua adat masih mengenang sungai Arut di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup. Air sungainya bisa langsung diminum. Tak pelak, sungai yang terletak di komunitas adat Aruta, Kecamatan Arut Utara ini menjadi urat nadi bagi kehidupan Masyarakat Adat Dayak.
Banyak warga yang dulu pernah menggantungkan hidupnya di sungai Arut. Kini, mereka hanya bisa mengelus dada. Sungai Arut tidak lagi menyediakan nikmat seperti dulu. Kondisi sungainya sudah sangat menyedihkan. Di sepanjang bantaran sungai Arut terlihat banyak tumpukan sampah rumah tangga dan limbah domestik mencemari air yang dulunya jernih dan bisa diminum.
Semua keistimewaan yang pernah disandang oleh sungai Arut perlahan mulai terkikis oleh waktu. Sempat menjadi urat nadi masyarakat, kini kondisi sungainya sangat menyedihkan.
Amin, salah seorang warga yang lahir dan besar di tepi sungai Arut menceritakan kisahnya yang dahulu semasa anak-anak sering bermain dan berenang di sungai Arut. Pria berusia 49 tahun ini menuturkan sungai yang dulu menjadi tempat bermain kini lebih banyak menyisakan kecemasan. Airnya sudah keruh dan tercemar. Mereka yang nekat berenang di sungai berisiko terkena gatal-gatal, terutama bagi mereka yang tidak terbiasa berenang.
Amin melanjutkan ceritanya. Sekarang untuk mendapatkan air bersih yang layak dikonsumsi, warga biasanya memesan air dalam jirigen yang berisi 33 liter air dijual dengan harga Rp 5.000 per jirigen. Pasokan air tersebut diambil dari sumur umum yang ada di kawasan dataran rendah yang kaya akan air bersih. Kawasan tersebut agak jauh dari sungai Arut, dan berada tepat di bawah bukit Indra Kencana lokasi Istana Kuning.
Amin mengatakan banyak warga kini terpaksa membeli air jirigen atau PDAM untuk menopang kegiatan sehari-hari. Namun, tidak semua mampu membelnya, terutama mereka yang berada dalam kondisi ekonomi terbatas. Orang-orang yang tidak mampu ini terpaksa menggunakan air sungai yang sudah tercemar.
“Mereka terpaksa menggunakan air sungai karena tidak punya uang untuk membeli air bersih,” katanya sembari menambahkan sesekali mereka beli air bersih untuk kebutuhan minum jika ada uang.
Huli Sungai Arut. Dokumentasi AMAN
Tercemar Limbah
Kerusakan sungai Arut mulai terlihat sejak 1990-an, seiring maraknya penambangan emas ilegal yang menggunakan merkuri. Puncaknya terjadi pada tahun 2000, ketika pencemaran semakin parah dan air sungai berubah warna menjadi kecoklatan, tak lagi jernih seperti dulu. Limbah industri pun turut andil dalam menghancurkan ekosistem sungai ini. Pabrik-pabrik di sekitar daerah aliran sungai membuang limbahnya tanpa melalui proses penyaringan yang memadai, menyebabkan air sungai semakin beracun.
Pencemaran sungai Arut tidak hanya berasal dari limbah industri dan merkuri, tetapi juga dari sampah domestik dan tinja manusia. Banyak permukiman di sepanjang bantaran sungai yang masih membuang sampah langsung ke air, menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan akhir yang tidak resmi. Sebagian besar rumah di pinggir sungai Arut tidak memiliki sistem sanitasi yang memadai, sehingga limbah tinja langsung dialirkan ke sungai tanpa pengolahan. Akibatnya, kualitas air semakin memburuk.
Mengalami Pendangkalan
Selain pencemaran, sungai Arut juga mengalami pendangkalan yang drastis. Dulu, sungai ini merupakan jalur transportasi utama bagi kapal-kapal besar berkapasitas ratusan ton. Kini, transportasi air mulai berkurang karena sedimentasi yang membuat aliran sungai semakin dangkal. Kapal-kapal besar tidak lagi bisa melintas, digantikan oleh kelotok dan speedboat kecil yang hanya bisa digunakan oleh segelintir orang.
Pendangkalan ini sebagian besar diakibatkan oleh sodetan sungai buatan untuk kepentingan irigasi kebun dan pertanian. Penggundulan hutan di sekitar daerah aliran sungai juga berkontribusi pada erosi yang mempercepat sedimentasi. Akibatnya, sungai tidak hanya semakin dangkal, tetapi juga semakin menyusut.
Pemerintah Daerah telah berupaya mengatasi pencemaran melalui program pembersihan sungai. Upaya ini memang berhasil mengurangi jumlah jamban (tempat pembuangan kotoran di sungai) dan sampah di permukaan. Tapi sayang, upaya ini tidak berkelanjutan sehingga dampaknya hanya bersifat sementara.
Ketika ekosistem sudah terlanjur rusak, pemulihannya tidak akan mudah, bahkan bisa menjadi mustahil. Program pembersihan sungai terus dijalankan, namun tanpa tindaklanjut yang serius dan kebijakan yang tegas, masalah pencemaran akan berulang.
Masalah pencemaran ini bukan sekadar persoalan individu, tetapi juga masalah struktural yang berakar pada kebijakan lingkungan yang lemah. Penegakan hukum yang tidak tegas, serta kurangnya infrastruktur pengelolaan limbah yang memadai. Selain itu, banyak pengusaha yang masih mengabaikan tanggung jawab ekologis mereka, dengan produksi kemasan tak ramah lingkungan dan membuang limbah industri secara sembarangan tanpa konsekuensi yang jelas.
Menunggu Kepedulian
Sungai Arut bukan satu-satunya yang mengalami nasib tragis seperti ini. Banyak sungai di Indonesia menghadapi ancaman serupa akibat eksploitasi berlebihan dan kurangnya kesadaran lingkungan. Nestapa sungai Arut adalah potret nyata bagaimana manusia sering lupa menjaga alam yang telah memberinya kehidupan.
Kini, sungai Arut menangis. Menunggu kepedulian yang mungkin datang terlambat. Setiap aliran air yang kotor mencerminkan derita panjang yang tak terlihat oleh banyak mata. Sungai yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi ribuan orang kini sudah diambang kerusakan, tercemar oleh limbah industri, sampah, dan tinja manusia. Ekosistemnya hancur, makhluk hidup yang bergantung padanya pun terpinggirkan.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah