Oleh Shinta Aprillia

Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Masyarakat Sipil menggelar aksi damai mengawal kasasi Tetua Adat Sorbatua Siallagan di Mahkamah Agung (MA), Jakarta Pusat pada Rabu, 26 Februari 2025.

Aksi damai yang berlangsung dibawah guyuran hujan ini bertujuan memberikan dukungan kepada Majelis Hakim Mahkamah Agung agar memberikan putusan yang adil kepada Sorbatua Siallagan, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku – menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Medan yang telah membebaskan Sorbatua Siallagan karena tidak bersalah.

Elisabet Simanjutak, selaku pimpinan aksi dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), menyatakan bahwa aksi yang digelar di Mahkamah Agung (MA) merupakan bentuk kegelisahan publik atas maraknya kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat di seluruh Nusantara. Masyarakat Adat, yang mendiami dan mengelola wilayah adat sebagai warisan leluhur, kerap mengalami ketidakadilan, termasuk yang dialami oleh Sorbatua Siallagan.

“Sorbatua Siallagan telah menjadi salah satu korban dari ketidakadilan hukum di negeri ini. Mahkamah Agung harus memberi keadilan kepada Sorbatua, sebagaimana yang dilakukan  Pengadilan Tinggi Medan dalam putusannya bahwa Sorbatua Siallagan tidak bersalah,” kata Elisabet Simanjuntak dalam orasinya saat menggelar aksi damai di depan gedung Mahkamah Agung.

Aksi damai ini terus berlanjut hingga dua orang perwakilan dari Solidaritas Masyarakat Sipil mendapat kesempatan masuk ke gedung Mahkamah Agung untuk beraudinesi.

Judianto Simanjuntak, salah seorang perwakilan dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) usai beraudiensi mengatakan mereka meminta Mahkamah Agung dapat menjaga netralitas dalam menangani kasasi Sorbatua Siallagan. Menurut Judianto, hal ini dirasa penting agar proses pemeriksaan perkara hingga putusan dapat adil dan tanpa intervensi.

"Perkara Sorbatua Siallagan ini telah mendapat perhatian publik, karenanya hakim harus menjalankan fungsinya untuk menyediakan hukum yang seadil-adilnya, tidak ada intervensi dari pihak manapun," tegasnya.

Judianto yang aktif di Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) ini menyayangkan putusan Pengadilan Negeri Simalungun pada 14 Agustus 2024 yang telah melukai rasa keadilan masyarakat. Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Simalungun menyatakan Sorbatua Siallagan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan dan menduduki kawasan hutan, dengan hukuman penjara 2 tahun dan denda Rp 1 miliar.

"Putusan tersebut keliru dan menyesatkan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa komunitas Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mendiami dan mengelola wilayah adat mereka sejak tahun 1700-an, jauh sebelum kehadiran PT Toba Pulp Lestari," ungkap  Judianto.

Ia juga menyoroti adanya perbedaan pendapat (dissenting opinion) dari salah satu hakim anggota, Agung Cory Fondara Dodo Laia. Hakim tersebut menyatakan bahwa tindak pidana mengerjakan, menduduki, dan menguasai kawasan hutan tidak dapat dikenakan kepada terdakwa jika belum dilakukan sosialisasi mengenai izin Kawasan Hutan Produksi yang dimiliki PT. Toba Pulp Lestari kepada masyarakat sekitar.

Aksi solidaritas untuk Sorbatua Siallagan di depan gedung Mahkamah Agung. Dokumentasi AMAN

Perjalanan Kasus Sorbatua Siallagan Hingga Bebas

Sorbatua Siallagan merupakan keturunan Ompu Umbak Siallagan. Ia merupakan pemimpin Masyarakat Adat Dolok Parmonangan. Ia ditangkap Kepolisian Daerah Sumatera Utara pada 22 Maret 2024 atas pengaduan PT Toba Pulp Lestari dengan tuduhan membakar dan menduduki kawasan hutan negara. Penangkapan terjadi saat Sorbatua bersama istrinya sedang membeli pupuk di Parapat, Kabupaten Simalungun. Aksi penangkapan ini mengundang reaksi dari berbagai elemen Masyarakat Adat dan organisasi sipil yang tergabung dalam Aliansi Gerak Tutup TPL. Mereka protes menuntut pembebasan Sorbatua.

Setelah beberapa hari ditahan di penjara Polda Sumut, penahanan Sorbatua ditangguhkan pada 17 April 2024 atas jaminan dari belasan tokoh Masyarakat Adat. Namun, Sorbatua kembali ditahan pada 14 Mei setelah kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Simalungun untuk diadili. Dalam putusan sidang pada 14 Agustus, Pengadilan Negeri Simalungun menyatakan Sorbatua Siallagan bersalah dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar. Namun, putusan tersebut diwarnai dissenting opinion dari Hakim Agung Cory Laia yang menyatakan bahwa Sorbatua tidak terbukti bersalah.

Ketidakpuasan atas putusan tersebut mendorong pihak keluarga melalui Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan. Tim Advokasi menegaskan bahwa lahan yang dikelola Sorbatua adalah tanah adat, bukan kawasan hutan negara sehingga tidak seharusnya dihukum.

Dalam putus banding di Pengadilan Tinggi Medan pada 17 Oktober 2024, majelis hakim menjatuhkan vonis bebas untuk Sorbatua Siallagan.

***

Penulis adalah volunteer Infokom PB AMAN

Writer : Shinta Aprillia | Jakarta
Tag : Tutup TPL Bebaskan Sorbatua Siallagan