
Masyarakat Adat di Asia Land Forum : Tantangan dan Harapan
28 Februari 2025 Berita Wulan Andayani PutriOleh Wulan Andayani Putri
Forum Pertanahan Asia atau Asia Land Forum 2025 menyoroti berbagai tantangan dan harapan yang dihadapi komunitas Masyarakat Adat dalam mempertahankan hak atas tanah dan sumber daya alam.
Kegiatan yang dilaksanakan pekan lalu ini bertajuk “Reforma Agraria bagi Penghormatan dan Pemenuhan Hak Masyatrakat Adat dan Nelayan”. Sejumlah perwakilan elemen masyarakat hadir di acara Forum Pertanahan Asia, termasuk akademisi, masyarakat sipil yang membahas kebijakan agraria dapat lebih inklusif dan berpihak pada kelompok yang selama ini terpinggirkan.
Salah satu poin utama yang juga turut dibahas dalam forum ini adalah pentingnya membangun solidaritas di antara komunitas Masyarakat Adat, nelayan, dan petani.
Deputi Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi yang turut menjadi pembicara dalam forum ini menekankan meskipun karakteristik profesi Masyarakat Adat, Nelayan, Petani berbeda, namun mereka menghadapi permasalahan yang sama dalam hal akses dan penguasaan tanah. Oleh karena itu, diperlukan gerakan yang lebih luas untuk memastikan hak-hak mereka diakui dan dilindungi.
Erasmus dalam kesempatan ini juga mengulas kebijakan hukum yang ada saat ini masih cenderung mendiskriminasi Masyarakat Adat. Ia mengungkap ada sekitar 13 juta hektar wilayah adat telah dirampas, sebagian besar akibat regulasi yang tidak memberikan pengakuan yang cukup terhadap keberadaan dan hak Masyarakat Adat atas tanah mereka.
"Banyak dari regulasi ini justru menjadi alat untuk mempertahankan status quo, bukan untuk melindungi Masyarakat Adat," ujarnya dalam panel Asia Land Forum di Jakarta pada Rabu, 19 Februari 2025,
Pria yang akrab dipanggil Eras ini menambahkan proses pengembalian hak yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah justru berlarut-larut dalam perdebatan legal tanpa kejelasan implementasi, sehingga Masyarakat Adat terus menghadapi ketidakpastian hukum.
Eras mencontohkan kasus kriminalisasi terhadap pemimpin adat seperti Mikael Ane menjadi salah satu bukti nyata bagaimana hukum dapat digunakan sebagai alat untuk menekan Masyarakat Adat. Dalam kasus tersebut, imbuhnya, Mikael Ane sempat didakwa dengan Undang-Undang yang sebenarnya sudah tidak berlaku, hingga akhirnya dilepaskan.
“Hal ini mencerminkan perlunya reformasi hukum yang lebih berpihak pada komunitas Masyatakat Adat,” tandasnya.
Eras menyebut dalam pertemuan dengan Kementerian Kehutanan, upaya untuk merevisi beberapa regulasi yang menghambat pengakuan hak Masyarakat Adat mulai dibahas. Salah satu poin yang disoroti adalah persyaratan Peraturan Daerah (Perda) sebagai syarat pengakuan Masyarakat Adat. Menurut Eras, syarat ini dinilai memberatkan karena tidak semua daerah memiliki kepala daerah yang proaktif dalam mengakui hak-hak Masyarakat Adat.
Asia Land Forum 2025 panel 6. Dokumentasi AMAN
Perampasan Wilayah Adat
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, yang turut berbicara dalam panel enam Asia Land Forum menyoroti betapa luasnya perampasan wilayah adat di Indonesia, mencapai sekitar 2,8 juta hektar. Arman menyebut Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi program pemerintah disinyalir menjadi salah satu penyebab meluasnya perampasan wilayah adat di Indonesia.
"Kami melihat kebijakan Proyek Strategis Nasional sering kali mengabaikan, bahkan merampas hak-hak Masyarakat Adat, yang seharusnya telah dijamin dalam konstitusi," ujarnya.
Padahal, kata Arman, pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 seharusnya ditafsirkan secara lebih inklusif untuk memastikan sumber daya alam benar-benar digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan segelintir pihak.
Selain Masyarakat Adat, nelayan juga menghadapi ancaman yang sama. Dengan jumlah mencapai 2,2 juta orang di Indonesia, banyak nelayan tradisional yang kehilangan akses terhadap laut akibat privatisasi wilayah pesisir dan ekspansi industri skala besar. Hal ini semakin memperumit kondisi penghidupan mereka, terutama dalam menghadapi perubahan iklim dan eksploitasi sumber daya laut.
Kolonialisme dalam Regulasi Agraria
Yance Arizona dari Universitas Gadjah Mada menerangkan akar permasalahan hukum agraria di Indonesia saat ini masih sarat dengan semangat kolonialisme. Ia mencontohkan hukum kehutanan, masih menempatkan negara sebagai pemilik tunggal hutan. Sementara, Masyarakat Adat yang telah turun-temurun hidup di kawasan tersebut justru dianggap sebagai ancaman.
Yance menekankan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 seharusnya menjadi titik balik dalam pengakuan hak Masyarakat Adat atas hutan mereka. Tetapi, implementasinya masih jauh dari harapan. Beberapa kemajuan, seperti fleksibilitas dalam proses pemetaan wilayah adat oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menjadi langkah awal menuju perubahan yang lebih besar. Namun, tantangan terbesar tetap berada pada birokrasi yang kompleks serta ketidakjelasan regulasi yang sering kali bersifat eksperimental tanpa hasil yang solid.
Perubahan Paradigma
Dalam sesi penutup, para panelis menekankan perlunya perubahan mendasar dalam kebijakan agraria agar lebih berpihak kepada Masyarakat Adat dan nelayan. Tidak hanya sekadar memberikan pengakuan, tetapi juga memastikan perlindungan hukum yang efektif bagi Masyarakat Adat dan nelayan. Peran akademisi, masyarakat sipil, dan organisasi advokasi sangat krusial dalam memastikan bahwa reforma agraria benar-benar dijalankan sesuai dengan prinsip keadilan sosial. Harapan akan kebijakan agraria yang lebih inklusif semakin terbuka. Namun, tantangan dalam implementasi masih sangat besar, dan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak untuk memastikan bahwa hak-hak Masyarakat Adat dan nelayan tidak lagi menjadi korban dari pembangunan yang eksploitatif.
***
Penulis adalah staf Infokom PB AMAN