Oleh Isnah Ayunda

Ruang hidup Masyarakat Adat Balik Sepaku di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur dilaporkan semakin menyempit untuk mengakses sumber daya alam akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

Komunitas Masyarakat Adat Balik Sepaku terancam punah dan semakin terdesak. Pemukiman mereka dikepung dinding bangunan Bendungan Intake Sepaku. Masyarakat Adat seolah tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Hujan kebanjiaran, panas kekeringan. Akses air bersih pun tidak dapat lagi dinikmati, sumur mengering bahkan warga komunitas harus membeli agar dapat menikmati air yang bersih untuk kebutuhan rumah tangga.

Syamsiah, salah seorang  Perempuan Adat Suku Balik menyatakan dengan tegas bahwa saat ini mereka sedang dibunuh di tanah sendiri. Mereka harus membeli air  untuk bisa bertahan hidup ditengah kebutuhan yang semakin meningkat. Ironisnya, kata Syamsiah, tak ada solusi dari pemerintah atas penderitaan yang dialami Masyarakat Adat Suku Balik saat ini. Syamsiah mencontohkan soal banjir, mulai menjadi momok menakutkan bagi Masyarakat Adat pasca pembangunan IKN.  Syamsiah mengibaratkan hidup mereka saat ini seperti berhadapan dengan predator.

“Nyawa kami terancam, hati kami was-was. Setiap terjadi banjir, buaya berkeliaran masuk kampung. Kami takut jadi mangsa predator mematikan ini,” kata Syamsiah saat ditemui di rumahnya baru-baru ini.

Syamsiah menerangkan banjir kerap melanda perkampungan mereka sejak adanya pembangunan IKN. Selain banjir, pencemaran udara juga menghantui Masyarakat Adat Suku Balik. Debu dan bau busuk yang menyengat akibat limbah menyeruak hampir ke pelosok kampung.

“Kampung kami sedang tidak baik-baik saja,” katanya dengan nada lirih.  

Bendungan Intake Sepaku. Dokumentasi AMAN

Masyarakat Adat Merugi Akibat IKN

Hal senada disampaikan oleh Kepala Adat Benuo Balik Sepaku, Sibukdin. Ia menyatakan Masyarakat Adat semakin cemas dengan adanya IKN. Sibukdin menyebut mereka  mengalami kerugian yang sangat besar akibat dampak dari pembangunan Bendungan Intake Sepaku. Dikatakannya, banyak tanaman mati di sekitar pekarangan rumah mereka akibat tergenang banjir.

Sibukdin mengakui warga telah mengajukan ganti rugi atas tanaman yang mati tersebut, namun tidak sesuai harapan. Sibukdin mencontohkan untuk tanaman buah langsat ditawari ganti rugi Rp 350.000 per pohon. Sementara, sebutnya, pohon langsat menjadi sumber penghasilan mereka selama ini.  Jika dijual ke pasar, 1 kilogram harganya  Rp 10.000 hingga Rp 15.000.

“Ganti ruginya tidak wajar, padahal jika buahnya dijual bisa menghasilkan setiap musim buah. Pemerintah tidak melihat itu, mereka hanya mengukur satu pohon mati, padahal satu pohon saja mati itu bisa membunuh kami,” imbuh Sibukdin.

Tokoh Masyarakat Adat Benuo Balik Sepaku, Atim menambahkan dirinya sempat bersitegang dengan pihak Intake Sepaku karena tidak mengukur kerugian yang dialami warga komunitas. Dikatakannya, sejatinya banyak tanaman milik warga komunitas yang mati akibat banjir, tapi pihak Intake Sepaku hanya menghitung satu pohon langsat saja. Atim menimpali harga ganti rugi tanaman mati yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai harapan warga.

“Satu karung buah langsat bisa menghasilkan Rp 200.000, sementara ganti rugi satu pohon yang mati hanya dihargai Rp 600.000.  Ini jauh dari harapan warga,” katanya.

Menolak Dipindah

Komunitas Masyarakat Adat Benuo Balik Sepaku menjadi salah satu perkampungan yang ingin dipindah oleh pemerintah akibat adanya pembangunan IKN. Namun, Masyarakat Adat menolak untuk dipindahkan dari kampungnya.

“Berapa pun nilai yang akan diberikan kepada kami, tetap saja Masyarakat Adat tidak ingin dipindah karena pemukiman sepaku ola adalah bagian sejarah suku balik,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur

Writer : Isnah Ayunda | Kalimantan Timur
Tag : IKN Suku Balik