Oleh Samuel Moifilit

Raja Ampat yang dikenal sebagai “Surga di Tanah Papua” terancam dieksploitasi oleh sejumlah perusahaan tambang menyusul banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah dikeluarkan oleh pemerintah di kawasan itu.

Kondisi ini dikhawatirkan akan merubah Raja Ampat yang dikenal kaya akan biodiversitas daratan dan bawah laut menjadi kawasan bisnis pertambangan nikel yang hanya menguntungkan oligarki.

Ketua Pengurus Daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara  (BPAN) Moi Maya, Elon Salomo Moifilit meminta pemerintah tidak gegabah mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan di Tanah Papua, terutama Raja Ampat. Elon mengingatkan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat dibawah kepemimpinan Bupati Orideko Iriano Burdam dan Wakil Bupati Mansyur Syahdan  tidak mengulangi kesalahan pemerintahan sebelumnya yang cenderung mengutamakan kepentingan segelintir pihak dengan mengorbankan Masyarakat Adat dan kelestarian lingkungan.

Elon mengatakan seharusnya pemerintah mengedepankan kebijakan yang berpihak kepada Masyarakat Adat serta menjaga ekologi Raja Ampat yang selama ini dikenal sebagai "Surga di Tanah Papua".

“Raja Ampat bukan hanya destinasi wisata bahari dunia, tetapi juga memiliki ekosistem yang sangat sensitif terhadap eksploitasi industri ekstraktif,” kata Elon Salomo pada Sabtu, 8 Maret 2025.

Elon menyayangkan beberapa pulau di kawasan Raja Ampat saat ini telah dibebani Izin Usaha Pertambangan Nikel.

Beberapa pulau tersebut adalah pulau Gag yang hampir seluruh pulau dan perairannya masuk dalam area eksploitasi tambang PT Gag Nikel dengan luas konsesi 13.136 hektar (6.060 hektar daratan dan 7.076 hektar lautan). Sementara, luas daratan pulau Gag hanya 6.500 hektar.

Pulau Kawei di Distrik Waigeo Barat, IUP diberikan kepada PT Kawei Sejahtera Mining seluas 5.922 hektar sejak 2013 hingga 2033.

Kepulauan Waigeo dikuasai PT Anugerah Surya Pratama dengan IUP 9.365 hektar dan tambahan 1.167 hektar di Pulau Manuram.

Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele “dikuasai” Perusahaan PT Mulia Raymond Perkasa yang telah mengantongi IUP seluas 2.194 hektar. Perusahaan ini mulai melakukan survei serta pengambilan sampel sejak September 2024.

Elon Salomo menilai kehadiran perusahaan tambang di sekitar wilayah Raja Ampat ini telah memicu reaksi keras dari Masyarakat Adat. Dikatakannya, Masyarakat Adat menolak  kehadiran industri tambang di Raja Ampat karena bisa merusak lingkungan, memicu konflik sosial, serta mengancam mata pencaharian masyarakat yang selama ini bergantung pada sektor perikanan, pertanian, dan pariwisata.

"Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami menolak eksploitasi yang mengorbankan Masyarakat Adat dan menghancurkan lingkungan," tegas Elon Salomo.

Ketua PD BPAN Moi Maya memegang spanduk yang bertuliskan "Tolak PSN di Tanah Papua". Dokumentasi Istimewa

Elon mendesak Pemerintah Kabupaten Raja Ampat segera mencabut seluruh izin usaha pertambangan nikel dan industri ekstraktif lainnya yang beroperasi di kawasan wisata bahari Raja Ampat.

Warga Kampung Menolak Tambang

Penolakan terhadap tambang nikel semakin menguat di Raja Ampat, terutama dari warga kampung Manyaifun yang saat ini terancam oleh operasional  PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP).

Salah seorang pemuda lokal bernama Boby Jaga, pemilik Saudori Homestay menegaskan kehadiran industri tambang akan merusak ekosistem serta mengganggu mata pencaharian masyarakat.

"Kami telah lama hidup dari sektor pariwisata, perikanan, dan pertanian. Jika pulau-pulau kami diberikan kepada perusahaan tambang, maka ekologi dan kehidupan sosial masyarakat akan hancur," tegasnya.

Bahkan, imbuhnya, kehadiran PT MRP telah memicu konflik horizontal antar warga  kampung Manyaifun yang menolak dan menerima aktivitas pertambangan.

Pernyataan Sikap

Baru-baru ini, Gerakan Masyarakat Waigeo Barat (WAIBAR) mengeluarkan pernyataan tolak aktivitas pertambangan nikel. Pernyataan ini sebagai bentuk perlawanan dari dua Distrik dan 12 Kampung yaitu Distrik Waigeo Barat Daratan: Mutus, Bianci, Waisilip, Selpele, Salio dan  Distrik Waigeo Barat Kepulauan: Manyaifun, Meosmanggara, Meosarar, Gag, Saukabu, Pam, Saupapir.

Mereka menandatangani surat pernyataan sikap menolak perusahaan tambang sembari meminta Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Pemerintah Propinsi Papua Barat Daya dan Pemerintah Kabupaten Raja Ampat untuk mencabut semua izin tambang nikel.

Kemudian, mereka minta UNESCO dan Pemerintah Pusat untuk melindungi Raja Ampat sebagai Global Geopark Dunia.

Boby Mambraku, salah seorang warga Raja Ampat menyatakan Masyarakat Adat menolak industri tambang karena tidak sejalan dengan status Raja Ampat sebagai ikon wisata dunia. Mereka juga menolak narasi pertambangan akan membawa kesejahteraan, karena pengalaman di banyak daerah lain menunjukkan bahwa masyarakat lokal justru menjadi korban eksploitasi.

"Masyarakat Adat Raja Ampat siap mempertahankan tanah leluhur dari ambisi ekspansi industri tambang. Kami menolak tambang,” tandasnya seraya mendesak pemerintah untuk berpihak kepada Masyarakat Adat dan menjaga warisan alam yang telah menjadikan Raja Ampat sebagai "Mutiara Dunia di Timur Indonesia".

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sorong, Papua Barat Daya

Writer : Samuel Moifilit | Papua
Tag : Moi Sorong Raja Ampat