Oleh Infokom AMAN

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengecam Keuskupan Maumere yang telah mengkriminalisasi para pejuang Masyarakat Adat yang kini sedang  berjuang mempertahankan tanah adatnya.

Kecaman ini disampaikan oleh AMAN menyusul tindakan kuasa hukum PT Kristus Raja Maumere (PT Krisrama) yang telah melaporkan pembela Masyarakat Adat Jhon Bala ke Direktorat Kriminal Umum Polda Nusa Tenggara Timur pada 21 Maret 2025.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi mengatakan laporan kuasa hukum PT. Krisrama terhadap John Bala ini merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap pejuang Masyarakat Adat.  Rukka menduga upaya kriminalisasi ini dilakukan demi memuluskan perampasan tanah adat yang diklaim oleh Keuskupan Maumere melalui PT Krisrama. Sebab, selama ini John Bala aktif memberikan pendampingan hukum terhadap  Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage – Goban Runut yang wilayah adatnya dirampas oleh PT Krisrama.

Berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, disebutkan bahwa seorang advokat (penasehat hukum) tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana selama menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan.

Rukka mengatakan jika Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur benar-benar memahami hukum ini, harusnya laporan dari kuasa hukum PT Krisrama tidak perlu direspon. Polisi harus mengedepankan upaya-upaya persuasif untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Menurut Rukka, polisi perlu menghadirkan Kementerian ATR/BPN RI dalam mengatasi permasalahan ini karena mereka  yang bertanggung jawab atas konflik antara Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge dengan  PT. Krisrama.

“Konflik ini harus diselesaikan, jika tidak maka akan banyak Masyarakat Adat yang akan menjadi korban kriminalisasi, bahkan kekerasan,” kata  Rukka Sombolinggi pada Senin, 24 Maret 2025.


John Bala. Dokumentasi AMAN

Konflik antara Masyarakat Adat dengan PT. Krisrama telah berlangsung lama. Konflik ini bermula ketika perusahaan Belanda Amsterdam Soenda Compagni memperoleh Hak Erfpacht melalui perampasan tanah, namun dilegitimasi oleh Surat Keputusan Residen Timor en Onder Hoorigheden tertanggal 11 September 1912 No. 264 seluas ± 1.483 hektar untuk penanaman kapas dan kelapa, yang sesuai ketentuan saat itu berlaku hingga 1987 atau selama 75 tahun.

Perkebunan yang diperoleh dari penggusuran wilayah adat oleh perusahaan Belanda ini dijual sepihak kepada Aposttholishe Vicariaad van de Klaine Soenda Ellanden (perwakilan Gereja Katolik Roma di wilayah misionaris dan negara yang belum memiliki Keuskupan). Apostolik Vikariat mengembalikan sebagian tanah kepada pemerintah karena tidak produktif. Kemudian, Vikariat Apostolik Ende melalui Surat No. 981/V/56, tertanggal 16 Desember 1956, mengajukan permohonan kepada Pemerintah Swapraja Sikka untuk mengembalikan sebagian Hak Erpacht di Nangahale seluas ± 783 hektar.

Permohonan tersebut disetujui oleh Pemerintah Swapraja Sikka dengan Surat Keputusan tanggal 18 Desember 1956, No. 63/DPDS. Alasan pengembalian ialah karena bagian tersebut diperuntukan bagi pemukiman masyarakat dan diusahakan oleh masyarakat yakni dari batas sekarang di sebelah timur sampe dengan kantor Camat Talibura. Masyarakat setempat biasa menyebutnya Kampung Baru Watubaing Talibura.

Hal ini selaras dengan kebijakan pemerintah pada saat itu, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden 32 Tahun 1979 Tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.

Dimana dalam Pasal 4, diatur bahwa: Tanah- tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.

Dari fakta hukum ini, sesungguhnya Kementerian ATR/BPN tidak cermat ketika menerbitkan (Hak Guna Usaha) pada tahun 1989 seluas 879 hektar yang habis masa berlakunya pada Desember 2013 silam. Karena sejak tahun 2011 hingga 2019, Kementerian ATR/BPN sudah memasukannya ke dalam database tanah terlantar.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyebut  seharusnya hal ini segera ditindaklanjuti dengan menetapkannya sebagai tanah yang akan dikembalikan kepada Masyarakat Adat.

Dalam hal ini, Dewi Kartika menyoroti  penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) tahun 2023 yang sengaja dilakukan dengan melanggar hukum. Dikatakannya, penguasaan tanah adalah salah satu syarat memperoleh HGU, meski PT. Krisrama tidak menguasai tanah tapi BPN tetap mengeluarkan HGU. Lebih parahnya lagi, kata Dewi,  BPN sendiri tidak pernah berhasil melakukan pengukuran ulang atas bekas HGU PT. Krisrama.

“Dari sini, sepuluh bidang HGU PT. Krisrama sebenarnya dapat dicabut oleh Kementerian ATR/BPN,“ tandas Dewi Kartika.

Dewi menambahkan dari permasalahan ini, semestinya Menteri ATR/BPN RI membatalkan pemberian HGU PT. Krisrama yang diterbitkan dengan cara-cara yang melanggar hukum tersebut. Setelah itu, mengembalikan tanah-tanah itu kepada Masyararakat Adat Suku Goban dan Suku Soge.

“Menteri ATR/BPN harus segera mendistribusikan tanah-tanah terlantar yang luasnya mencapai 7 juta hektar itu untuk petani, Masyarakat Adat, nelayan dan perempuan demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di Nusa Tenggara Timur,” pungkasnya.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta
Tag : Nangahale