
Koalisi Keadilan Tempayung Tuntut Kepala Desa Syachyunie Dibebaskan
07 Mei 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Sejumlah organisasi masyarakat, mahasiswa dan perwakilan Masyarakat Adat yang tergabung dalam Koalisi Keadilan untuk Tempayung menggelar aksi solidaritas di depan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah pada Selasa, 6 April 2025.
Massa aksi menuntut Kepala Desa Syachyunie yang sedang menempuh proses banding dibebaskan dari segala jeratan hukum karena tidak mempertimbangkan realitas sosial dan adat yang menjadi konteks utama perkara.
Agung Sesa selaku juru bicara koalisi mengatakan tuntutan ini didasarkan pada keyakinan bahwa proses hukum yang dijalani oleh Kepala Desa Tempayung Syachyunie sarat dengan kekeliruan prosedural dan cacat pembuktian. Agung meminta majelis hakim yang mengadili perkaranya di tingkat banding untuk membebaskan Syachyunie dari segala jerat hukum karena mencederai asas keadilan.
“Atasnama keadilan, kami minta Kepala Desa Tempayung Syachyunie dibebaskan,” kata Agung Sesa saat menggelar aksi damai di Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah, Palangka Raya, Selasa (6/5/2025).
Agung menyebut ada tujuh point penting yang mereka soroti dalam perkara kriminalisasi Syachyunie ini.
Pertama, penuntut umum dianggap tidak memberikan tanggapan substansial terhadap pleidoi penasihat hokum. Penuntut umum hanya mengulang dakwaan tanpa menyentuh substansi pembuktian.
Kedua, klaim kerugian perusahaan PT Sungai Rangit hanya didasarkan pada testimoni internal tanpa melibatkan kantor Akuntan Publik atau kantor Jasa Penilai Publik, yang dinilai tidak memenuhi standar pembuktian pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Ketiga, substansi perkara dinilai sebagai sengketa perdata dan mengandung unsur prejudicieel geschil karena status hukum lahan adat belum terselesaikan. Namun keberatan ini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Keempat, tindakan yang didakwakan merupakan hasil ritual adat kolektif masyarakat. Tapi hanya Kepala Desa yang diproses secara hukum. Hal ini dinilai bertentangan dengan asas penyertaan pidana dalam Pasal 55 KUHP.
Kelima, hakim dan jaksa menolak pengakuan Masyarakat Adat dengan alasan administratif bahwa Desa Tempayung tidak terdaftar di BRWA. Koalisi menegaskan pengakuan Masyarakat Adat tidak bergantung pada satu lembaga tersebut secara eksklusif.
Keenam, meskipun hakim mengakui motif sosial terdakwa dalam membantu masyarakat menyampaikan aspirasi pembagian plasma, hal tersebut tidak dijadikan alasan pemaaf atau pendorong penerapan keadilan restoratif.
Ketujuh, dalam salinan putusan, hakim mencantumkan nama saksi ahli yang tidak pernah hadir atau disebut dalam proses penyidikan dan persidangan. Hal ini dinilai sebagai bentuk peradilan sesat.
“Tujuh poin ini menjadi catatan penting yang patut dipertimbangkan sebagai dasar untuk membebaskan Kepala Desa Syachyunie dari segala jerat hukum,” kata Agung Sesa.
Aksi solidaritas di depan Pengadilan Tinggi Kalimantan Tengah. Dokumentasi AMAN
Vonis Enam Bulan Penjara
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalan Bun di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah menjatuhkan vonis enam bulan penjara terhadap Kepala Desa Tempayung Syachyunie pada Selasa, 25 Maret 2025.
Vonis ini menuai kecaman dari berbagai elemen masyarakat yang menilai putusan majelis hakim tersebut sebagai bentuk ketidakadilan hukum.
Gregorius Daeng dari tim penasihat hukum Kepala Desa Tempayung Syachyunie menegaskan keputusan hakim tidak berpihak pada keadilan.
“Kita kecewa dengan putusan majelis hakim yang tidak berpihak pada keadilan,” tegasnya.
Gregorius menilai putusan majelis hakim dipaksakan dan sarat muatan politis. Mereka juga menyoroti sejumlah kejanggalan selama proses peradilan, termasuk sikap hakim yang dinilai cenderung selalu membela ahli serta saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.
Menurutnya, hal ini semakin memperkuat penilaian koalisi masyarakat bahwa kasus ini hanyalah salah satu dari sekian banyak upaya sistematis untuk membungkam perlawanan Masyarakat Adat terhadap dominasi korporasi perkebunan sawit.
"Kasus ini adalah contoh bahwa yang tidak melanggar hukum pun bisa dipaksakan menjadi pelanggaran," pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Tengah