
RUU Masyarakat Adat Masih Mandek Dalam Labirin Legislasi
28 Mei 2025 Berita Wulan Andayani PutriOleh Wulan Andayani Putri
Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat sudah 14 tahun mandek di DPR RI dan pemerintah, namun hingga kini belum ada tanda-tanda untuk disahkan.
Ketidakpastian ini memperpanjang derita Masyarakat Adat yang terus menghadapi ancaman penghilangan hak atas wilayah adat, intimidasi, hingga kriminalisasi.
Deputi II Sekjen AMAN Bidang Advokasi dan Politik Erasmus Cahyadi mengatakan inisiatif penyusunan RUU Masyarakat Adat telah dimulai sejak tahun 2006 oleh Koalisi Advokasi Masyarakat Adat, termasuk AMAN. RUU Masyarakat Adat ini selanjutnya dijadikan agenda prioritas oleh AMAN melalui Kongres Masyarakat Adat di Pontianak. Namun, akunya, sejak itu prosesnya terus berliku.
“Kalau dalam catatan AMAN, prosesnya sudah lebih dari 60 kali dikonsultasikan di tingkat region. Tapi proses politiknya mandek di DPR,” kata Erasmus dalam acara Diskusi Publik : 12 Tahun Putusan MK 35 & Kegentingan Pengesahan UU Masyarakat Adat di Jakarta pada Senin, 26 Mei 2025.
Erasmus menambahkan stagnasi ini kemudian mendorong AMAN untuk menempuh jalur judicial review terhadap Undang-Undang Kehutanan, yang menghasilkan putusan MK 35. Alih-alih menjadi pijakan kuat, pasca putusan MK 35 justru terjadi pembelokan.
“Menteri Kehutanan mengeluarkan peraturan, dimana hutan dikategorisasikan menjadi hutan negara, hutan adat, dan hutan hak. Ini kontradiktif dengan putusan MK yang justru memindahkan hutan adat ke dalam kategori hutan hak,” lanjutnya.
Erasmus menjelaskan kondisi ini berimplikasi pada stagnasi perlindungan hak-hak Masyarakat Adat. Ia menyebut sepanjang 2024, setidaknya terjadi 121 kasus kriminalisasi dan perampasan wilayah adat di 140 komunitas Masyarakat Adat. Sementara, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) juga mencatat, dari 26,9 juta hektar wilayah adat yang telah teregistrasi, hanya 14 % yang telah mendapatkan pengakuan. Sedangkan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru menetapkan hutan adat untuk 123 komunitas Masyarakat Adat seluas 221.648 hektar.
“Jauh di bawah luas wilayah yang terus dirampas: 2,8 juta hektar sepanjang 2024, naik dari 2,5 juta hektar di tahun sebelumnya,” ungkapnya.
Erasmus menegaskan Undang-Undang Masyarakat Adat adalah jalan keluar dari persoalan-persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat saat ini. AMAN menegaskan pengesahan RUU Masyarakat Adat adalah langkah mutlak yang harus segera diambil negara.
“Keberadaan Peraturan Daerah (Perda) tidak cukup melindungi hak Masyarakat Adat. Negara harus mensahkan RUU Masyarakat Adat,” imbuhnya.
Mendapat “Green Line” dari DPR
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI Martin Manurung menyatakan RUU Masyarakat Adat sudah mendapatkan "green line" dari Ketua DPR untuk dilanjutkan pembahasannya. Ia mengajak berbagai pihak untuk mengkonsolidasikan dukungan non-parlemen agar proses legislasi bisa terhubung dengan kekuatan politik di parlemen.
“Kita sudah sepakat dari sisi kebutuhan Undang-Undang Masyarakat Adat, itu sudah final. Undang-Undang ini dibutuhkan (Masyarakat Adat),” ujarnya.
“Tidak boleh ada Masyarakat Adat yang terzalimi dan terlanggar haknya,” sambungnya.
Diskusi publik 12 tahun putusan MK.35 dan kegentingan pengesahan RUU Masyarakat Adat, Sushi Matsu 26/05/2025
Perubahan Paradigmatik
Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yance Arizona menekankan perlu ada perubahan paradigmatik dalam penyusunan RUU Masyarakat Adat. Ia menyebut selama ini diskursus RUU Masyarakat Adat terlalu fokus pada pengakuan, yang justru memberi diskresi terlalu besar kepada negara.
“Ke depan perlu lebih ditekankan aspek perlindungan yang menuntut tanggung jawab pemerintah dalam melindungi segenap bangsanya, termasuk Masyarakat Adat,” ujarnya.
Menurut Yance, Masyarakat Adat merupakan bagian dari kelompok rentan yang dilindungi dalam Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN HAM), karenanya pembahasan RUU Masyarakat Adat seharusnya dipimpin oleh Kementerian Hukum dan HAM, bukan oleh Kementerian Dalam Negeri yang selama ini menggunakan pendekatan korporatis.
Yance berpendapat bahwa model pengakuan hukum selama ini yang bertumpu pada Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Kepala Daerah, harus diganti dengan sistem registrasi yang sederhana, seperti prosedur pembuatan KTP. Dengan demikian, katanya, data resmi mengenai keberadaan Masyarakat Adat dapat menjadi dasar perlindungan hak atas tanah, hutan, pendidikan, dan kebudayaan.
Yance menambahkan penyusunan RUU Masyarakat Adat sebaiknya menggunakan metode omnibus agar mampu menyelesaikan tumpang tindih regulasi sektoral yang mengatur Masyarakat Adat di berbagai Undang-Undang.
Pentingnya Pengakuan
Siti Rakhma Mary dari Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat menggarisbawahi pentingnya menempatkan pengakuan sebagai dasar utama dalam perlindungan hak Masyarakat Adat.
“Pengakuan itu tetap menjadi hal yang terpenting. Perlindungan tanpa pengakuan tidak akan bisa berjalan dengan baik dan maksimal. Harus diakui terlebih dahulu hak Masyarakat Adat atas teritorinya,” tegasnya.
Siti Rakhma mencontohkan kasus wilayah adat yang telah dikapling dalam konsesi korporasi: pengakuan tetap harus diberikan kepada komunitas, dan wilayah adat harus dikembalikan kepada Masyarakat Adat. Selanjutnya, apabila Masyarakat Adat menginginkan korporasi keluar dari wilayahnya, maka pemerintah harus mengeluarkannya. Namun, bila mereka menghendaki keberadaan korporasi tetap ada, maka prinsip Persetujuan atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan (FPIC) harus dijalankan secara ketat.
Bagi Siti Rakhma, pengakuan wilayah adat dan perlindungan investasi tidak boleh dicampur adukkan. Ia juga menekankan pentingnya mengatur mekanisme restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi dalam RUU Masyarakat Adat sebagai bentuk pemulihan atas kehilangan dan kerugian yang selama ini dialami Masyarakat Adat.
***
Penulis adalah staf Infokom PB AMAN