Oleh Tim Infokom AMAN

Rapat Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RPB AMAN) ke XXXV telah berakhir di komunitas Masyarakat Adat Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur pada Kamis, 12 Juni 2025.

Berakhirnya rapat tahunan yang berlangsung selama tiga hari ini ditandai dengan lahirnya  pernyatan sikap yang diberi nama : Resolusi Saga.

“Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk mengatur dan mengurus diri sendiri berdasarkan identitas budaya dan nilai-nilai luhur kami”

“Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk menjaga keamanan, ketertiban dan keseimbangan hidup bersama dengan alam dan masyarakat lainnya”.

“Kami, Masyarakat Adat Nusantara, mewarisi hak untuk mengendalikan, mengelola dan memanfaatkan tanah dan segala kekayaan alam lainnya di dalam wilayah adat kami”

Resolusi Saga ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia serta seluruh Menteri Kabinet Merah Putih Republik Indonesia ini menjadi cermin atas penderitaan Masyarakat Adat Nusantara yang telah menjadi korban dari perampasan wilayah adat, kriminalisasi dan kekerasan tanpa henti dari negara.

Perampasan wilayah adat telah berdampak mengerikan bagi Masyarakat Adat, termasuk diantaranya Masyarakat Adat Ohongana Manyawa di Maluku Utara, Masyarakat Adat Pocoleok, Masyarakat Adat Suku Soge, suku Tukan, dan suku Goban di Flores, Cek Bocek di Sumbawa, Kuala Begumit dan Sihaporas di Sumatra Utara, Masyarakat Adat Moi Sigin, Suku Marind di Papua, Dayak Meratus di Kalimantan Selatan, Masyarakat Suku Baliq di Kalimantan Timur, Masyarakat Adat Suku Pagu di Maluku Utara, Masyarakat Adat Goiso Oinan di Pulau Sipora-Mentawai, Kasepuhan Cicarucub di Banten, dan Masyarakat Adat di berbagai tempat lainnya.

Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi menyebut sejak 2014, setidaknya 11, 7 juta hektar wilayah adat telah dirampas, yang diikuti dengan pemberangusan berbagai sistem sosial-politik, ekonomi dan budaya Masyarakat Adat sebagai akibat dari anutan pembangunan negara yang rasis, diskriminatif, menguras dan bernafaskan kekerasan. Anutan pembangunan yang merampas dan merusak ini semakin kuat karena disokong dengan ketertundukan Indonesia ke dalam berbagai mekanisme Internasional seperti perubahan iklim, just transition, SDG’s dan berbagai perjanjian ekonomi politik internasional yang melahirkan hukum sebagai alat melegitimasi perampasan wilayah adat lebih lanjut.

“Kekerasan terhadap Masyarakat Adat serta kriminalisasi terhadap perjuang Masyarakat Adat telah menjadi pola yang dipakai negara untuk menghentikan sikap kritis dan penolakan Masyarakat Adat terhadap berbagai agenda pembangunan yang merusak,” tuturnya.

Rukka menambahkan hanya dalam waktu 6 (enam) bulan di tahun 2025,  telah terjadi 120 kekerasan dan perampasan di wilayah adat, serta mengkriminalisasi sedikitnya 25 warga dan pejuang Masyarakat Adat dengan menggunakan peraturan-peraturan yang tidak adil diantaranya: Mikael Ane di Manggarai, Sorbatua Sialagan dan Djoni Ambarita di Sumatra Utara, 8 orang warga Masyarakat Adat Suku Soge dan Goban, Afrida Erna Ngato di Maluku Utara, Antonius Toni, Anton Johanis Bala di Sikka-Flores.

“Para pejuang Masyarakat Adat ini telah dan sedang mendapatkan berbagai bentuk ancaman dan upaya kriminalisasi untuk menghentikan perjuangan Masyarakat Adat,” sebutnya.

Rukka mengingatkan bahwa hak Masyarakat Adat telah diakui, dihormati dan dilindungi hukum nasional dan Internasional, antara lain sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 18 B (2) dan Pasal 28 I  (3) Amandemen Kedua UUD 1945, Pasal 6 (1) dan Pasal 6 (2) UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,

Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat.

Atas dasar ini, AMAN menyampaikan pernyataan sikap dan tuntutan kepada segenap lembaga penyelenggara negara, baik di tingkat Nasional maupun Daerah untuk:

  1. Segera HENTIKAN segala bentuk perampasan wilayah adat untuk berbagai agenda pembangunan yang merusak termasuk yang proyek-proyek yang diberi label sebagai Proyek Strategis Nasional;
  2. Segera HENTIKAN kekerasan dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat dan pejuang-pejuang Masyarakat Adat yang mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat termasuk hak atas wilayah adat;
  3. Kepolisian Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia untuk bertindak netral dan mengedepankan prinsip hak asasi manusia termasuk perlindungan terhadap Masyarakat Adat dalam menjalankan tugas dan kewenangannya;
  4. Menegaskan pengakuan, perlindungan dan penghormatan atas keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat melalui pembentukan Undang-Undang Masyarakat Adat, dan segera mencabut Undang-Undang yang mendiskriminasi Masyarakat Adat, diantaranya UU Mineral dan Batu Bara, UU KSDHAE, dan UU Cipta Kerja.
  5. Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia untuk segera membentuk dan melaksanakan kebijakan daerah yang mengakui, menghormati, dan melindungi Hak Masyarakat Adat.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta
Tag : Resolusi Saga