
Ritual Adat Pepaosan : Mengembalikan Mata Air Yang Hilang
04 September 2025 Berita Mohamad HajaziOleh Mohamad Hajazi
Masyarakat Adat Segale Anyar Paer Pujut menggelar ritual adat Pepaosan untuk mengembalikan mata air yang hilang akibat perubahan iklim di Desa Segala Anyar, Kecamatan Pujut, Kabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Ritual yang dihadiri para tetua adat ini digelar bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Desa Segala Anyar ke-28 pada Sabtu, 30 Agustus 2025. Ritual ini diyakini bisa mendatangkan kembali mata air yang hilang.
Ritual Pepaosan dilaksanakan pada malam hari sampai larut malam untuk mengharapkan restu leluhur. Pagi harinya, setelah matahari terbit pada pukul 08.00 dilanjutkan dengan menanam pohon beringin yang dipercaya bisa mendatangkan kembali mata air yang hilang.
Masyarakat Adat percaya bahwa mata air yang hilang merupakan respon dari alam atas rusaknya hutan dan hilangnya pohon yang mampu mendatangkan air untuk sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.
Ritual diawali dengan membaca kitab kuno sasak. Masyarakat Adat menyebutnya ritual "Maos atau Pepaosan" yang berarti membaca kitab kuno sasak yang ditulis di daun lontar dengan menggunakan aksara jejawan.
Ketua Adat Desa Segala Anyar Lalu Kesumejayadi mengatakan dahulu, banyak sekali mata air yang bisa ditemukan di sekitar wilayah adat. Tapi sekarang, mata air tersebut telah hilang. Kesumejayadi menyebut satu per satu mata air yang hilang seiring perubahan iklim yang terjadi di kampungnya.
“Mata air Diwe Butih, mata air Sume, mata air Boke sudah hilang, ketiga sumber mata air tersebut sudah tidak ada lagi ditemukan saat ini akibatnya sumur warga menjadi kering,” ungkap Kesumejayadi usai ritual.
Kesumejayadi menyayangkan hilangnya sumber mata air tersebut. Sebab, dulu mata air ini menjadi sumber kehidupan sehari-hari bagi warga.
Atas dasar itulah, kata Kesumejayadi, Masyarakat Adat menggelar ritual Pepaosan. Prosesi ritual ini sangat sakral, dilakukan sebelum menanam pohon yang tepat untuk mendatangkan kembali sumber mata air yang hilang. Kesumejayadi menyebut biasanya dalam ritual Pepaosan dibacakan suatu permohonan agar sumber mata air yang hilang datang kembali sehingga tanah dan pohon yang ditanam menyatu tumbuh subur.
Embung atau waduk di desa Segala Anyar kering akibat hilangnya mata air. Dokumentasi AMAN
Tidak Selaras Musim Dengan Penanggalan Tradisional
M. Yakum selaku Tetua adat Pujut mengungkap kekhawatirannya akan fenomena perubahan iklim yang terjadi akhir-akhir ini. Pria yang akrab dipanggil Puk Tuan Yakum ini menjelaskan rasa khawatirnya itu didasari tidak selarasnya musim dengan penanggalan tradisional hingga fenomena-fenomena alam yang menjurus ke gambure dunie ( dunia yang tidak menentu).
"Tumbuhan yang biasa kita gunakan jadi penanda musim kini sudah hilang, sehingga lamban laun dunia akan hilang keseimbangannya. Ini lah yang akan mengakibatkan musim tak menentu," ungkap Puk Tuan.
Ia menambahkan musim yang tidak menentu ini merupakan jawaban atas apa yang telah dilakukan oleh manusia.
“Alam telah memberikan jawaban atas apa yang diperbuat oleh manusia di muka bumi ini,” tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Barat