
Masyarakat Adat Bulusu Rayo di Tengah Krisis Iklim dan Akses Air Bersih
04 September 2025 Berita Albertha SiskaOleh Albertha Siska
Perubahan iklim kian nyata. Curah hujan berintensitas tinggi memicu banjir, sementara suhu panas yang semakin ekstrem menyebabkan kekeringan di banyak wilayah. Dampak ini dirasakan langsung oleh Masyarakat Adat saat ini di berbagai penjuru Nusantara, termasuk komunitas Masyarakat Adat Bulusu Rayo di Desa Kelising, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara.
Hidup berdampingan dengan alam, Masyarakat Adat Bulusu Rayo mengalami perubahan musim yang berbeda dari sebelumnya. Cuaca terasa lebih panas, hujan tidak menentu. Hal ini mempengaruhi kondisi sungai yang menjadi sumber utama kehidupan mereka. Air bukan sekadar kebutuhan jasmani, tetapi juga penghubung antara manusia dan alam, antara generasi kini dan yang akan datang. Namun, sumber kehidupan itu kini mulai tidak bersahabat akibat kerusakan lingkungan.
Keresahan semakin terasa karena akses air bersih terbatas. Pemukiman yang berjarak jauh dari kawasan adat dan hutan membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air. Mereka bergantung pada air hujan, sebab sungai Sekatak yang ada di kampung mulai tercemar. Kini, mereka terpaksa membeli air untuk kebutuhan sehari-hari seperti minum dan memasak. Sebuah ironi, mengingat mereka hidup di tanah leluhur yang dahulu kaya sumber daya.
Yuwag, salah seorang tetua adat Bulusu Rayo, mengaku beberapa bulan terakhir ini merasakan perubahan cuaca yang signifikan. Dikatakannya, sekarang ini jauh lebih panas, tapi ada juga hujan.
“Panas sebentar, lalu hujan sebentar, begitu terus. Air sungai pun jarang jernih. Kalau dulu, biarpun hujan deras, sungai tetap jernih. Sekarang hujan sedikit saja sudah keruh,” katanya pada Senin, 25 Agustus 2025.
Yuwag mengatakan di tengah derasnya arus perubahan iklim global, Masyarakat Adat menghadapi dampak yang paling nyata. Perubahan musim yang tak menentu, curah hujan yang tidak teratur, dan panas menyengat mengganggu keseimbangan alam yang selama ini dijaga oleh Masyarakat Adat.
“Meski memiliki pengetahuan lokal dalam melindungi hutan dan menjaga sumber air, perubahan iklim yang semakin ekstrem membuat kearifan itu tidak lagi sepenuhnya mampu menahan laju krisis,” terangnya.
Memanfaatkan Air Hujan
Alung, seorang pemuda Bulusu Rayo yang juga bagian dari pemerintahan desa, menyampaikan hal yang sama.
“Kondisi sekarang berbeda. Sedikit hujan saja air sungai cepat naik dan keruh. Kalau dulu, jarang begitu. Sungai tidak mudah keruh walau pun hujan,” ujarnya.
Alung menerangkan bahwa saat ini mereka belum punya akses air bersih. Pemerintah desa sedang mengusahakannya.
Sementara menunggu bantuan dari pemerintah desa, sebutnya, Masyarakat Adat terpaksa memanfaatkan air hujan atau sungai, meski air sungainya tercemar akibat aktivitas perusahaan di hulu. Ada juga Masyarakat Adat yang terpaksa membeli air untuk kebutuhan sehari-hari.
Alung menambahkan banyak Masyarakat Adat kini yang berkebun di sekitar wilayah adat. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, imbuhnya, berkebun juga dilakukan agar hutan adat tidak dianggap sebagai “hutan tidur” oleh pihak-pihak yang ingin menguasainya.
Alung menerangkan krisis iklim juga meninggalkan jejak di kawasan hutan. Perubahan suhu, curah hujan tak menentu, serta eksploitasi melalui penebangan liar, perkebunan, dan pertambangan membuat ekosistem hutan berada dalam ancaman serius.
“Hutan yang dahulu dikenal sebagai penyangga kehidupan, kini semakin rentan. Perubahan iklim memicu pergeseran habitat satwa, memaksa satwa meninggalkan wilayah asal, sementara beberapa jenis tumbuhan kesulitan beradaptasi terhadap cuaca ekstrem,” terangnya.
Alung mengakui hal ini turut dirasakan oleh Masyarakat Adat Bulusu Rayo. Hutan yang dahulu menjadi lumbung kehidupan dan sumber penghasilan keluarga, kini makin sulit diakses akibat krisis iklim, pembalakan, dan alih fungsi lahan.
Air sungai Sekatak keruh. Dokumentasi AMAN
Mengganggu Keseimbangan Ekosistem
Yalik, anggota Masyarakat Adat Bulusu Rayo yang sehari-hari bekerja sebagai petani mengungkapkan kesulitan tersebut.
“Sekarang mau ambil kayu sudah jauh, harus masuk ke dalam hutan berhari-hari. Begitu juga ikan, harus ke hulu sungai baru dapat banyak. Daun nipah untuk atap, obat-obatan, semua semakin jarang. Kadang butuh dua sampai tiga hari mencari, baru ketemu, itupun sedikit,” katanya dengan nada lirih.
Yalik menambahkan satwa yang dulu mudah ditemui, kini semakin jarang. Satwa-satwa tersebut telah kehilangan habitat dan berpindah ke dekat pemukiman hingga mengancam kebun dan ladang milik warga.
“Beberapa tahun terakhir, ladang padi banyak diganggu monyet dan landak. Sepertinya karena hutan sudah dirusak perusahaan, habitat satwa hilang, jadi mereka mendekat ke kebun masyarakat,” jelasnya.
Yalik mengatakan hal ini yang menyebabkan mereka menolak izin Hutan Taman Industri (HTI) di wilayah adat. Tujuannya untuk melindungi hutan agar tetap bisa dikelola untuk berkebun dan berladang.
Dikatakannya, Masyarakat Adat yang selama ini menggantungkan hidup pada kekayaan hutan merasakan langsung dampak perubahan itu. Bahan pangan, kayu, rotan, hingga tanaman obat yang dulu melimpah kini semakin terbatas.
Kondisi ini, tidak hanya mengganggu keseimbangan ekosistem tetapi juga mengancam keberlangsungan budaya dan kearifan lokal yang erat kaitannya dengan pemanfaatan hutan.
“Jika tidak ada langkah penyelamatan, generasi mendatang hanya akan mengenal kekayaan hutan lewat cerita dan dongeng,” tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Utara