Oleh Maruli Simanjuntak

Masyarakat Adat Sihaporas di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara yang menjadi korban kekerasan PT Toba Pulp Lestari (TPL) angkat bicara setelah sebulan lebih kasus penyerangan  yang menyebabkan puluhan Masyarakat Adat terluka tidak ditangkap pelakunya oleh aparat penegak hukum.   

Luka fisik yang mereka alami perlahan sembuh, tetapi sebagian besar para korban yang mengalami kekerasan masih trauma. Mereka mendesak aparat penegak hukum segera menangkap para pelaku kekerasan TPL agar tidak semena-mena diatas penderitaan Masyarakat Adat. 

Putri Ambarita, salah seorang korban yang ikut menyaksikan kebiadaban petugas keamanan TPL saat menyerang Masyarakat Adat Sihaporas pada 22 September 2025. Ia masih gemetar setiap kali mengingat peristiwa berdarah yang hampir merenggut nyawa keluarganya tersebut.

Putri bercerita pagi itu sekira pukul 08.00 Wib, Masyarakat Adat tengah bersiap beraktivitas di sekitar posko perjuangan Masyarakat Adat LAMTORAS-Sihaporas.  Tiba-tiba, rombongan petugas keamanan TPL dengan mengendarai mobil mendatangi mereka. Jumlah mereka sekira 150 orang, dilengkapi dengan tameng dan perlengkapan pengamanan.

Putri masih ingat saat itu dirinya bersama beberapa perempuan adat mencoba bertanya apa maksud dan tujuan mereka mendatangi Masyarakat Adat. Mereka bilang hendak menanam, tapi di sekitar daerah itu sudah ada tanaman Masyarakat Adat : kopi, kacang, jahe, cabai.

“Ini sumber hidup kami, jangan diganggu,” tutur Putri dengan suara bergetar.

Petugas keamanan TPL tidak peduli terhadap penjelasan Masyarakat Adat. Mereka berusaha merusak tanaman Masyarakat Adat Sihaporas. Tapi, saat Masyarakat Adat  meminta pihak perusahaan menunjukkan surat tugas resmi. Tak ada satu pun yang memperlihatkannya. Seorang pria yang ditengarai komandan keamanan  TPL bernama Rocky Tarihoran, langsung memberi perintah : “Bersiap.... Dorong!”

Seruan itu langsung memicu kekacauan. Barisan perempuan adat yang berdiri di depan didorong hingga terjatuh. Putri yang mencoba mendokumentasikan kejadian tersebut menjadi sasaran kekerasan.

“Saya melihat sendiri, orang tua kami dipukuli dengan kayu rotan dan pentungan.  Ada yang ditendang dari belakang hingga jatuh dan dipukuli. Kami hanya minta mediasi, tapi malah diserang. Mereka melempari kami dengan batu dan menyiram air dari tangki,” kenangnya sembari menambahkan dalam peristiwa tersebut ibunya sempat dihadang oleh Rocky Tarihoran.

Dalam peristiwa ini, Putri dan seorang mahasiswa IPB Feny Siregar, juga dituduh sebagai provokator hanya karena merekam semua kejadian. Rocky Tarihoran berusaha merampas telepon genggam Putri agar semua rekaman bisa dihapus.  Tapi, Putri berhasil mempertahankannya.

Menjelang siang hari,  sekitar pukul 12.00 Wib terjadi serangan kedua dari petugas keamanan TPL. Menurut Putri, serangan kali ini lebih brutal.

“Adikku Dimas, penyandang disabilitas, sedang di dalam rumah. Kami dengar teriakan bakar.. bakar. Batu dilempar, dinding dipukul. Saya dan ibu berlari menyelamatkan Dimas yang tak bisa berjalan dan sulit bicara. Saat kami menggendongnya keluar, kami justru dipukul dan didorong hingga jatuh. Dimas pun dipukul hingga kepalanya robek,” ungkap Putri sambil menahan air mata dalam acara konferensi pers di Medan pada Senin, 27 Oktober 2025.

Mangittua Ambarita, tokoh adat LAMTORAS-Sihaporas, menyebut peristiwa 22 September hanyalah puncak dari konflik panjang yang telah berlangsung lebih dari dua dekade sejak 1998.

Mangittua menjealskan perjuangan Masyarakat Adat Sihaporas berawal dari penetapan sepihak wilayah adat mereka sebagai kawasan hutan negara, yang kemudian dikonsesikan kepada PT Toba Pulp Lestari. Sejak itu, sebutnya, benturan antara Masyarakat Adat dan perusahaan TPL terus berulang.

Pada tahun 2002, Mangittua menjadi korban kriminalisasi. Ia dipenjara karena mengelola tanah warisan orang tuanya. “Anak saya sampai putus sekolah waktu itu,” kenangnya.

Peristiwa serupa berulang pada 2019, ketika dua warga ditangkap dan dipenjara setelah menghadang penanaman eukaliptus. Tahun 2024, lima warga diculik pada dini hari dan diserang oleh orang berpakaian preman. Satu diantaranya masih menjalani proses hukum hingga kini.

“Kami tidak pernah berhenti memperjuangkan hak kami. Kalau ada pihak yang menentang perjuangan ini, mereka patut diduga menjadi alat perusahaan untuk melemahkan kami,” tegas Mangittua.

“Sejak dulu hingga sekarang, kami hanya berhadapan dengan satu hal — klaim sepihak kawasan hutan negara dan aktivitas PT TPL,” imbuhnya.

Mersy Silalahi, perempuan adat Sihaporas, menggambarkan dampak paling nyata dari serangan TPL kepada Masyarakar Adat Sihaporas pada 22 September lalu: hilangnya sumber penghidupan Masyarakat Adat.

“Sejak penyerangan itu, seluruh sumber penghidupan kami lumpuh. Kebun kami itu dapurnya hidup kami. Di sanalah kami menanam kopi, kacang, ubi, padi, dan sayur-sayuran — semua sumber pangan kami dan anak-anak. Sekarang semua dikuasai TPL dan kami tidak bisa lagi masuk,” ujarnya dengan nada sedih.

Bagi Mersy, kebun bukan sekadar tanah untuk menanam, tetapi ruang hidup dan kedaulatan perempuan adat.

Ia menjelaskan bahwa perempuan di Sihaporas berperan besar dalam siklus kehidupan pertanian — dari menanam, memanen, hingga menjual hasil bumi untuk kebutuhan rumah tangga dan biaya sekolah anak.

"Setelah kebun kami dirampas, yang paling dulu merasakan lapar itu kami perempuan dan anak-anak. Kami kehilangan segalanya, bukan hanya kebun, tapi juga harga diri sebagai perempuan adat,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Korban kekerasan TPL pada penyerangan 22 September 2025. Dokumentasi AMAN

Temuan Tim Advokasi

Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) melaporkan 14 kasus penyerangan 22 September 2025 ke polisi. Laporan mencakup 9 kasus penganiayaan dan 5 kasus perusakan dan pembakaran rumah serta kendaraan milik warga. Semua laporan telah naik ke tahap penyidikan, dan para pelapor telah menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Kejaksaan Negeri Simalungun.

Namun proses hukum diwarnai kejanggalan. Ketika masyarakat kembali ke lokasi sehari setelah serangan, puing-puing rumah dan kendaraan yang dibakar telah hilang.

Pada 8 Oktober 2025, polisi melakukan olah TKP dan menemukan tiga sepeda motor masyarakat terkubur tiga meter di bawah tanah. Dua hari kemudian, olah TKP lanjutan menemukan mobil milik Giovani Ambarita juga dalam kondisi terbakar dan dikubur sekitar 40 meter dari lokasi aslinya.

Audo Sinaga, kuasa hukum dari TAMAN, menilai temuan itu memperkuat dugaan adanya upaya sistematis untuk menghilangkan barang bukti.

“Kami menduga kuat ada upaya sengaja dari pihak Toba Pulp Lestari untuk menghilangkan barang bukti dan menghambat penyelidikan,” tandasnya sembari meminta Polres Simalungun segera menuntaskan penyidikan dan bersikap adil atas laporan Masyarakat Adat.

Suasana saat penyerangan TPL, sejumlah sepeda motor milik Masyarakat Adat dirusak pada 22 September 2025. Dokumentasi AMAN

Pengabaian Negara Terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat

Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran menyatakan kasus Sihaporas adalah cerminan dari minimnya perlindungan negara terhadap Masyarakat Adat. Menurutnya, yang terjadi di Sihaporas bukanlah konflik biasa.

“Ini akibat dari pengabaian negara terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan pemberian izin korporasi tanpa mempertimbangkan sejarah dan keberadaan masyarakat di sana,” tegansya.

Jhontoni menegaskan AMAN bersama berbagai organisasi masyarakat sipil telah melakukan langkah-langkah koordinatif untuk menanggapi serangan itu: mulai dari pendampingan hukum, advokasi ke Ombudsman RI, hingga laporan ke Komnas HAM dan pihak kepolisian.

“Kami terus mendorong penyelesaian yang berkeadilan, bukan kekerasan. Kami ingin negara hadir dengan cara yang benar, bukan membiarkan rakyatnya terus disakiti,” ujarnya.

Jhontoni juga menekankan perlawanan Masyarakat Adat Sihaporas telah menginspirasi banyak komunitas Masyarakat Adat lain di Tano Batak. Mereka berani berdiri mempertahankan tanah, dan itu menjadi simbol keteguhan bagi seluruh Masyarakat Adat di kawasan Danau Toba.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Maruli Simanjuntak | Tano Batak, Sumatera Utara
Tag : Sumatera Utara Korban Kekerasan TPL Sihaporas