Masyarakat Adat Dayak Bahau Miliki Rempah Seribu Manfaat : Dari Penyedap Rasa hingga Pengharum Jenazah
21 November 2025 Berita Andreas Ongko Wijaya HuluiOleh Andreas Ongko Wijaya Hului
Masyarakat Adat Suku Dayak Bahau di Kecamatan Long Hubung, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur memiliki kekayaan rempah yang punya banyak manfaat. Rempah yang berasal dari daun-daunan ini bentuknya memanjang dan agak lebar, banyak tumbuh liar di sekitar hutan.
Masyarakat Adat Bahau Busang menyebut rempah dari potongan daun itu sebagai “Ketukung Langau atau Ketukung Buuq”. Rempah ini biasa juga disebut bumbu seribu manfaat karena bisa dimanfaatkan dalam berbagai olah masakan Suku Dayak Bahau.
Wangi harum menyeruak dari dapur rumah seorang Masyarakat Adat di pinggir sungai Mahakam, Kampung Long Hubung. Aroma wangi itu memenuhi seisi rumah panggung berbahan kayu khas Suku Dayak Bahau milik Devung.
Perempuan berusia 45 tahun ini ternyata sedang merebus beberapa potong daging babi yang dibelinya dari tetangga. Namun aroma semerbak tadi bukan berasal dari daging babi yang dimasak, tetapi dari beberapa potong daun yang direbus bersama daging babi tersebut.
Devung menyebut bumbu seribu yang berasal dari potongan daun Ketukung Langau ini biasa dicampur dalam masakan rebusan babi, rebusan ikan sungai, daun tumbuk pucuk singkong, dan sayur bening.
“Ada rasa dan aroma khas kalau kita pakai Ketukung Langau ini dalam masakan,” kata Devung saat ditemui di rumahnya pada akhir bulan Oktober 2025 lalu.
Ia menambahkan aroma Ketukung Langau ini tajam kalau sudah bercampur dengan masakan, mengalahkan bumbur dapur lainnya.
“Hampir seluruh orang Dayak di Mahakam Ulu pakai Ketukung Langau untuk campuran masakan,” imbuhnya.
Devung menjelaskan Ketukung Langau dapat diolah dengan dua cara yakni dikeringkan terlebih dahulu kemudian diremas-remas lalu dicampur ke dalam masakan. Bisa juga setelah dipetik dari pohonnya langsung dicampurkan ke dalam masakan.
“Tapi kalau mau aromanya lebih kuat, mesti dikeringkan terlebih dahulu,” sarannya.
Devung menerangkan jika dikeringkan tidak boleh kena matahari langsung, karena aroma daunnya akan berkurang. Dianjurkan pengeringannya secara alami di tempat yang teduh. Proses pengeringan seperti ini bisa makan waktu seminggu atau sebulan.
“Tergantung selera kita saja, bagaimana mau mengolahnya. Bisa dikeringkan dahulu atau dipetik dari pohonnya langsung kemudian langsung dicampur ke dalam masakan yang kita buat supaya lebih segar,” paparnya.

Salah satu pohon rempah yang tumbuh di hutan sekitar pemukiman Masyarakat Adat Dayak Bahau. Dokumentasi AMAN
Memiliki Banyak Manfaat
Devung mengatakan jenis rempah satu ini memiliki berbagai manfaat. Selain menjadi penyedap masakan, rempah ini juga punya manfaat yang tak biasa. Salah satunya ada di dalam pengetahuan orang-orang Dayak Tonyoi/Tunjung yaitu rempah satu ini menjadi pengharum alami bagi mayat. Pengetahuan ini ada di kalangan Suku Dayak Tonyoi Asa yang ada di Kabupaten Kutai Barat.
Jauh sebelum mengenal pengharum mayat berbahan kimia, Suku Dayak Tonyoi mengenal Teniiq sebagai salah satu cara untuk memberikan aroma harum pada mayat. Hal ini diungkapkan oleh Rina, salah seorang tokoh Masyarakat Adat di Kampung Geleo Baru, Kecamatan Barong Tongkok, Kabupaten Kutai Barat.
Perempuan berusia 49 tahun ini menjelaskan bahwa pada saat upacara adat pengangkatan tulang belulang sanak keluarga yang telah meninggal atau yang disebut Marau Lah, biasanya mayat yang baru di kubur selama 1 atau 2 tahun masih ada sisa daging-dagingnya yang menempel di tulang mayat dan beraroma agak tidak sedap. Untuk menghilangkan bau tak sedap itu dipakai batang teniiq.
“Caranya kita ambil batang, bukan daunnya. Kemudian batang itu dipukul-pukul atau dilepehkan. Kalau sudah dilepehkan batangnya baru dicampur dengan air kelapa gading, lalu disatukan dalam wadah khusus,” ujarnya.
“Air campuran tadi kemudian dimandikan pada mayat atau tulang yang sudah kita angkat sebelumnya. Gunanya untuk menghilangkan bau atau aroma yang kurang sedap pada mayat,” imbuhnya sembari menambahkan praktik ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu hingga sekarang.
Namun, akunya, praktik semacam ini sudah jarang ditemukan pada masa sekarang. Hal ini disebabkan karena sudah ada pengharum kimia sehingga teniiq menjadi tergantikan.
Korneles, 48, Masyarakat Adat dari kampung Geleo Asa menambahkan penuturan Rina bahwa teniiq sekarang ini digunakan untuk campuran masakan pucuk singkong dan rebusan daging babi.
Diakuinya, penggunaan Teniiq di kalangan Suku Dayak Tonyoi Asa telah mulai berkurang. Korneles menduga hal ini disebabkan oleh terputusnya pengetahuan generasi yang lebih dahulu kepada kaum yang lebih muda.
“Harapan saya sebagai orang tua supaya generasi muda mau belajar jenis rempah yang digunakan oeh orang tua dahulu. Supaya pengetahuan itu tidak putus begitu saja,” ujarnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Timur