Dua Dekade Pengabaian Hak Politik Masyarakat Adat
18 Februari 2019 Berita Yayan HidayatPEMILU ADALAH instrumen politik paling sahih dari negara yang bersepakat dengan demokrasi. Sebuah mekanisme yang menjamin rotasi kekuasaan dapat berjalan dengan adil dan legitimate, serta bertumpu pada kedaulatan demos (rakyat). Pertanyaannya, seberapa penting menjamin pemilu yang adil? Dalam hampir semua kasus, pilihan atas sistem pemilu tertentu memiliki pengaruh mendalam bagi masa depan kehidupan politik di negara bersangkutan. Dalam realitanya, sistem pemilu seringkali abai terhadap hak asasi, hanya bertumpu pada kepentingan politis jangka pendek. Terjebak pada perspektif universal dan prosedural namun menegasikan substansi. Selama dua dekade terakhir, Masyarakat Adat menjadi korban dari sistem pemilu yang abai terhadap hak asasi. Pilihan atas desain pemilu gagal beradaptasi dengan realitas sosio-kultural yang tumbuh dan berkembang. Ibarat jatuh tertimpa tangga, Masyarakat Adat menjadi korban dua kali. Korban dari ganasnya agresi pembangunan, dan kini mereka harus merelakan hak politiknya diretas oleh sistem yang diskriminatif. Dekade Pengabaian Studi yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), menyimpulkan tiga hal yang menjadi persoalan hilangnya hak politik Masyarakat Adat dalam pemilu. Pertama, alasan kultural. Pranata hukum adat yang melekat pada kehidupan Masyarakat Adat secara turun-temurun seringkali tak selaras dan justru kontradiktif dengan ketentuan administratif untuk terlibat dalam pemilu. Kedua, konflik tenurial dan ketidakpastian wilayah administratif. Salah satu syarat untuk terlibat dalam Pemilu adalah kepastian wilayah administratif atau domisili. Sementara, Masyarakat Adat sangat rentan kehilangan wilayahnya akibat tak kunjung hadir perlindungan hukum dan pengakuan dari negara. Hal tersebut seringkali memunculkan konflik berkepanjangan dan membuat mereka terusir dari wilayahnya. Konflik tenurial ternyata berimplikasi terhadap hilangnya hak politik Masyarakat Adat. Ketiga, sebaran geografis yang sulit dijangkau. Dalih yang dipakai oleh negara dan penyelenggara pemilu adalah kesulitan menjangkau Masyarakat Adat yang tinggal di pelosok dan pulau-pulau kecil – jauh dari pusat administratif. Tiga simpulan ini jika diuji realitanya dengan pelaksanaan pemilu dua dekade kebelakang. Kita mulai dengan Pemilu 1999, pesta demokrasi pertama pasca runtuhnya otoritarianisme orde baru. Sebagian kalangan percaya, bahwa pemilu masa reformasi adalah mekanisme pengambilan keputusan paling demokratis. Tingkat partisipasi mencapai 92,7 persen, tertinggi kedua setelah Pemilu 1955. Pemilu 1999 menganut sistem periodic list yakni sistem pendaftaran pemilih hanya dilakukan setiap kali hendak menyelenggarakan pemilihan umum. Pemilu masa ini juga menganut prinsip voluntary registration, bahwa memilih adalah hak setiap warga negara, pemilih dapat memilih untuk mendaftar atau tidak dalam daftar pemilih. Wajib menunjukkan kartu tanda kependudukan atau bukti diri lainnya yang sah sebagai syarat administratif dalam menggunakan hak pilih. Realitasnya, prosedural administrasi tersebut justru menegasikan hak. Masyarakat Adat diretas hak politiknya dalam memilih karena kepercayaan yang mereka anut. Masa ini, negara tak mengakui agama kepercayaan yang dianut oleh Masyarakat Adat. Implikasinya, mereka tak dapat mengurus identitas kependudukan sebagai syarat dalam menggunakan hak pilih dalam pemilu. Hal ini merupakan manifestasi dari nilai adat yang kontradiktif dengan logika administrasi pemilu. Polemik ini mengkristal menjadi status quo hingga pelaksanaan Pemilu 2004, tanpa ada solusi untuk menjamin Masyarakat Adat penganut agama kepercayaan dapat menggunakan hak pilihnya. Akibat persoalan privat, mereka harus merelakan hilangnya hak politik mereka sebagai warga negara. Pemilu 2009, persoalan yang dihadapi Masyarakat Adat masih sama. Parahnya, desain pemilu kali ini tak ramah terhadap penyandang tuna aksara. Sementara, dominan Masyarakat Adat yang jauh dari akses pendidikan rentan menyandang tuna aksara. Secara teknis, desain surat suara dalam Pemilu 2009 tak menampilkan foto kandidat, hanya nomor dan nama. Tentu hal ini memunculkan kegamangan bagi pemilih penyandang tuna aksara, seiring itu tidak ada regulasi yang menjamin aksesibilitas dan kemudahan tuna aksara dalam memilih. Persoalan ini juga tak kunjung menemukan solusi hingga Pemilu 2014 dan Pemilu 2019. Bahkan, penyelenggaraan pemilu kali ini berlangsung dengan syarat administrasi yang begitu ketat, hingga menegasikan hak politik banyak orang. Pemilu 2019, wajib menunjukkan KTP elektronik (e-KTP) sebagai syarat mutlak menggunakan hak pilih dalam pemilu, benar-benar tidak membuka ruang bagi pemilih yang tak memiliki e-KTP. Syarat ini memunculkan ragam persoalan baru bagi Masyarakat Adat. Pertama, hilangnya hak politik Masyarakat Adat dalam kawasan hutan. Kemendagri menegaskan tidak akan memberikan kartu identitas kependudukan kepada Masyarakat Adat dalam kawasan hutan negara, kecuali jika Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan izin pelepasan kawasan hutan. Kebijakan sektoral ini juga turut mengebiri hak politik Masyarakat Adat. Sementara, AMAN menemukan ada 777 komunitas Masyarakat Adat yang berada dalam kawasan hutan, dengan populasi mencapai 3,2 juta jiwa. Di antaranya, sebanyak 1,6 juta Masyarakat Adat belum memiliki KTP-el dan tidak terdaftar sebagai pemilih. Mereka dibatasi oleh kebijakan sektoral untuk turut memilih pemimpin dan anggota parlemen yang mereka inginkan dalam Pemilu 2019. Kedua, masih adanya diskriminatif terhadap para penganut Agama/Kepercayaan di Masyarakat Adat untuk dicatatkan dalam administrasi kependudukan. Padahal Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor : 97/PUU-XIV/2016 tentang yudicial review Undang-Undang Administrasi Kependudukan, telah membolehkan para penganut aliran kepercayaan untuk mencantumkan keyakinannya pada kolom agama di Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP elktronik). Perlakuan diskriminatif tersebut membuat Masyarakat Adat penganut Agama/Kepercayaan terhambat dalam mendapatkan layanan dasar, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, yang juga berdampak pada hilangnya hak politik mereka dalam Pemilu. Ketiga, desain surat suara dalam Pemilu 2019 masih tidak aksesibel terhadap Masyarakat Adat penyandang tuna aksara. Persoalan yang sebetulnya berlangsung sejak Pemilu 2009, tanpa ada solusi. Temuan sementara ini ada 1.400 pemilih Masyarakat Adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan yang menyandang tuna aksara gamang dalam menggunakan hak pilihnya. Apalagi, hingga kini regulasi yang menjamin aksesibilitas tuna aksara dalam memilih tak kunjung dihadirkan. Mereka yang ingin berpartisipasi, akhirnya kembali terhambat karena persoalan administrasi. Memaknai Ulang Demokrasi Kakunya defenisi terhadap demokrasi berimplikasi terhadap pemaknaan yang keliru terhadap penyelenggaraannya. Demokrasi kerap dijalankan sebagai sistem yang ‘tunggal’ dan administratif, karena dibayang-bayangi oleh aspek legal-formal dan standar-standar yang wajib dipatuhi. Sehingga, yang terjadi justru demokrasi mengalami dekontekstualisasi. Ia jauh dari konteks yang berkembang dalam masyarakat. Dalam bayangan negara, yang diperlukan untuk berdemokrasi adalah adanya kepatuhan pada serangkaian standar formal, entah seperti apa operasionalnya. Dari cara berpikir ini, maka kita berdemokrasi demi mematuhi standar formal, bukan demi penghormatan terhadap hak asasi manusia. Simplifikasi demokrasi sekadar sebagai persoalan prosedur kepemiluan telah memelesetkan demokrasi menjadi proses pemberian legitimasi kekuasaan elit dominan. Demokrasi dibajak elite, jauh dari demos (rakyat). Demokrasi harus tumbuh secara bottom-up dengan menyesuaikan kebutuhan demos, bukan justru sebaliknya, bersifat top-down dan menegasikan realitas sosio-kultural yang berkembang. Reduksi demokrasi pada sekedar sebuah standar formal adalah mengaburkan nilai dan potensialitas demokrasi. Redefenisi patut dilakukan untuk mengembalikan makna demokrasi kepada khitah-nya. Dari apa yang terjadi pada Masyarakat Adat sepanjang dua dekade, memberikan kesimpulan bahwa negara abai terhadap hak politik Masyarakat Adat. Polemik berlangsung tanpa ada itikad baik negara untuk mengakomodir. Tak salah jika kita menganggap bahwa justru negara lah yang melanggar hak asasi manusia. Oleh: Yayan Hidayat Staf Direktorat Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat – PB AMAN