Jakarta, www.aman.or.id- Hari ini, sekitar 2000-an massa yang berasal dari 65 organisasi memperingati Hari Perempuan Internasional setiap tanggal 8 Maret. Mereka bergabung dalam Gerakan Bersama Perempuan Tuntut Ruang Hidup Demokratis, Sejahtera, Setara, dan Bebas Kekerasan. Peringatan ini diawali dengan aksi berjalan kaki sejak pukul 12.00-15.00 wib, mulai dari dari Patung Kuda hingga Taman Aspirasi, yang berada di depan Istana Kepresidenan di Jakarta. Lini Zurlia selaku juru bicara peringatan Hari Perempuan Internasional 2019, menjelaskan tujuan peringatan ini sebagai ruang yang luas bagi perempuan untuk menyampaikan suaranya, diluar dari agenda politik elektoral yang tidak memberikan ruang bagi pemenuhan hak-hak perempuan untuk menuntut ruang hidup yang demokratis, sejahtera dan setara. Lebih lanjut Lini juga menyebutkan di dalam tema-tema orasi yang diangkat, terdapat isu Perempuan Adat yang penting disuarakan karena mengalami kekerasan struktural yang dilakukan oleh negara. “Apa yang diangkat di dalam orasi-orasi, ada banyak tadi, tapi kita memang komite tersendiri menyiapkan dalam persoalan untuk membungkus 8 persoalan. Jadi sepanjang aksi hampir semuanya soal itu, soal perempuan dan pendidikan, soal bagaimana cuti hari bagi perempuan pekerja, kemudian ruang laktasi yang nyaman juga, soal bagaimana perampasan lahan dan ruang hidup bagi petani perempuan, bagi perempuan adat dilakukan dan disponsori oleh negara,” tegas Lini. Isu suara Masyarakat Adat dengan lantang disuarakan oleh Sarinah Yanci Pardede, yang mewakili PEREMPUAN AMAN, dari atas mobil komando yang memimpin aksi ribuan massa, dengan menuntut pengesahan RUU Masyarakat Adat sebagai janji pemerintahan Jokowi-JK kepada Masyarakat Adat di seluruh nusantara. “Orasinya tadi kita memberitahukan ke pada kawan-kawan, bahwa kita bersama-sama di sini menuntut keadilan dan kesetaraan gender, kemudian saya mengatakan kepada perempuan supaya berjuang siapapun yang jadi pemimpin, siapun yang jadi presiden, siapapun yang duduk jadi DPR, janji mereka harus kita tagih pengesahaan RUU Masyarakat Adat, Pengesahaan RUU PKS, dan kita tetap berjuang mengawal itu sampai RUU Masyarakat Adat dan PKS tetap disahkan,” jelas Yanci. Lebih lanjut Yanci menjelaskan bahwa kasus perampasan tanah adat yang marak terjadi berdampak buruk secara langsung kepada Perempuan Adat, perempuan adat dituntut untuk bisa menghidupi keluarganya dari hasil pertanian, perkebunan atau membuat kerajinan baik rotan yang berasal dari hutan adat. Tetapi setelah terjadinya perampasan tanah, memaksa mereka menjadi buruh ditanah adat sendiri. Kesempatan aksi besar ini digunakan oleh PEREMPUAN AMAN untuk menyuarakan isu Masyarakat Adat, agar masyarakat luas mengetahui bahwa Masyarakat Adat sebenarnya juga korban ketidakadilan dari berbagai rezim pemerintahan yang telah memimpin negara ini. Eka Hindrati-Infokom PB AMAN

Writer : Eka Hindrati | Jakarta