Oleh Rikson Karundeng

Sarasehan dengan tema “Pendidikan Adat: Menemukan Akar, Memastikan Masa Depan Masyarakat Adat Berdaulat, Mandiri, dan Bermartabat” yang digelar di Kampung Hobong, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua pada Rabu (26/10/2022), ramai dihadiri peserta dari berbagai komunitas Masyarakat Adat di Nusantara. Beragam apresiasi mengalir. Metode sarasehan jadi perhatian.

"Sarasehan pendidikan adat memang sangat menarik dan tentu sangat penting karena ini terkait dengan sebuah kesadaran tentang hilangnya tradisi pengetahuan leluhur yang sesungguhnya menghidupkan. Kemudian, terkait semangat untuk kembali mengangkat pengetahuan itu untuk dijadikan pegangan dalam menghadapi tantangan globalisasi yang selama ini begitu kuat menggerus tadisi adat kita," kata Kharisma Kurama, Ketua BPH Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Utara, usai sarasehan digelar.

Menurutnya, sekolah adat menjadi salah satu cara efektif untuk menggali dan memperkuat atau tetap menjaga pengetahuan tradisi para leluhur yang luar biasa.

"Sekolah adat itu luar biasa. Program penting yang harus tetap didorong oleh AMAN. Apresiasi untuk kesadaran dan semangat para pemuda yang menjadi penggagas dan penggerak. Apresiasi juga buat sarasehan ini dan metode-metode menarik yang dipraktikkan dalam sarasehan ini," ucap Kharisma.

Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh adat Papua asal Kampung Hobong, yakni Dorince Mehue. Diakuinya bahwa metode yang digunakan sepanjang sarasehan, sangat menarik.

"Saya mengikuti dari dekat sarasehan pendidikan adat ini, sangat menarik. Metode yang digunakan juga sangat menarik. Semua bisa terlibat dan tidak menjenuhkan," ujarnya.

 

Proses diskusi dalam sarasehan tentang pendidikan adat. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Jhontoni Tarihoran, salah satu fasilitator yang memandu jalannya sarasehan, menjelaskan bahwa metode sarasehan yang digunakan, dinilai menarik karena keseluruhan proses yang menggunakan beragam metode dan membuat seluruh peserta bisa mengeluarkan pikiran, pendapat, dan analisisnya.

"Sarasehan ini menarik karena pendidikan adat (adalah) sesuatu yang sudah dijalankan dan dihidupi oleh para pemuda. Kedua, fasilitator menggunakan metode-metode partisipatif, sehingga semua bisa terlibat mengeluarkan pendapat dan pikiran," kata Jhontoni yang terlihat sangat aktif bersama belasan fasilitator lainnya selama sarasehan berlangsung.

"Metode-metode yang digunakan memang membuat semua harus bicara memberikan pendapatnya. Tidak menjenuhkan karena peserta tidak hanya jadi pendengar, tapi bergotong-royong (secara) pemikiran, didorong, dibangun ruang, sehingga bisa bicara aktif, ide-ide mereka bisa disalurkan," jelas Jhontoni yang juga dikenal sebagai Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) periode 2015-2018.

Sarasehan tersebut diawali dengan penjelasan soal prinsip-prinsip sekolah adat, sejarah lahirnya prinsip-prinsip tersebut, kemudian berbagi pengetahuan dengan metode “akuarium” yang menghadirkan sejumlah pemantik. Mereka yang turut hadir dalam sarasehan tersebut, antara lain Sri Tiawati, inisiator dan penggerak Sekolah Adat Punan Semeriot; Josua Wajong, penggerak Sekolah Adat Tou Mu’ung Wuaya;  Origenes Monim, Kepala Sekolah Adat Hobong dan Direktur Yayasan Pengembangan Sekolah Adat di Kabupaten Jayapura; Plorentina Dessy Elma Thyana, penggerak Sekolah Adat Arus Kualan; Hery Yogaswara, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional yang meneliti sekolah-sekolah adat di Indonesia; serta Michelin Sallata, penggerak sekolah adat yang juga Ketua Umum Barisan Pemuda Adat Nusantara.

Sarasehan dalam rangkaian Kongres Masyarakat Adat Nusantara Keenam (KMAN VI) itu membahas tentang berbagai inisiatif pemuda adat untuk terlibat aktif dalam melindungi dan mengelola wilayah adatnya secara lestari. Itu pula dimulai dengan Gerakan Pulang Kampung yang memanggil para pemuda adat yang berada di perkotaan, untuk kembali ke kampung atau komunitas Masyarakat Adatnya dengan bekal pengetahuan dari para tetua. Para pemuda adat membangun kampung untuk memastikan masa depan Masyarakat Adat. Sarasehan itu juga mendiskusikan isu krisis iklim yang berpotensi mengancam masa depan umat manusia.

***

Penulis adalah jurnalis sekaligus penggerak sekolah adat.

Writer : Rikson Karundeng | Sulawesi Utara
Tag : KMAN VI BPAN Pemuda Adat