Dituding sebagai provokator saat pelaksanaan Sosialisasi Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Waduk Lambo di Desa Ulupulu, Kecamatan Nangaroro, Kabupaten Nagekeo pada Selasa, 22 September 2020 lalu, Siti Aisyah, Ketua Forum Penolakan Pengadaan dan PengukuranTanah (FP3T) Masyarakat Adat Ndora melaporkan camat Nangaroro, Gaspar Taka ke Polres Nagekeo. Siti Aisyah melaporkan kejadian tersebut pada Sabtu (10/10/2020) dengan didampingi kuasa hukumnya Daud P. Tambo, SH dan Nikolaus Bhuka, SH dari Persatuan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Siti Aisyah bersama kuasa hukumnya tiba di Mapolres Nagekeo pukul 11.30 WITa dan diterima oleh Kanit SPK “A”, AIPDA Muhamad Roja di ruang Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT). Dirinya pun mengantongi Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Polres Nagekeo bernomor : STPL / 91 / X / 2020 / NTT / Res Nagekeo. Dalam laporannya itu Siti Aisyah mengatakan dirinya tidak bisa tolerir dengan sikap dan pernyataan camat Nangaroro, yang saat itu bertindak sebagai moderator dalam forum rapat tersebut dengan menuding dirinya adalah provokator. Tak hanya menyatakan dirinya sebagai provokator, camat Nangaroro juga bangun dari tempat duduk sambil menunjukan telunjuk ke arahnya dengan nada penuh emosi. Ditemui di Polres Nagekeo, Siti Aisyah menuturkan perbuatan yang tidak menyenangkan dan merugikan dirinya di hadapan peserta forum rapat ini berawal dari sesi tanya jawab dimana dirinya hendak berbicara untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang terkena dampak pembanguan waduk Lambo. “Awalnya saya diizinkan untuk berbicara oleh moderator namun ketika saya maju dan mengambil mic untuk bicara menyampaikan aspirasi, ada bisikan masuk ke telinga moderator yang katanya saya belum mengisi daftar hadir sehingga saya tidak lagi diberikan mic untuk bicara,” tutur Siti. Siti menjelaskan seharusnya dirinya diizinkan untuk bicara dulu sebagai salah satu peserta forum sehingga duduk persoalan yang sesungguhnya bisa diketahui namun hanya persoalan daftar hadir lalu dirinya tidak diberi hak untuk berbicara maka tidak ada gunanya forum rapat tersebut diadakan. Ditambahkan aktivis masyarakat adat ini, sesungguhnya dirinya hendak berbicara membawakan aspirasi Forum Penolakan Pengadaan dan Pengukuran Tanah (FP3T) Masyarakat Adat Ndora yang telah mempercayakan dirinya untuk mewakili aspirasi mereka. “Saya hadir karena diundang secara resmi. Saya juga punya hak bicara seperti peserta lainnya. Dan saat saya maju itu pun saya hendak berbicara mewakili masyarakat terkena dampak yang bergabung dalam FP3T. Kenapa saya harus dijegal?,” jelas Siti Aisyah. Dengan peristiwa ini, pihaknya mengaku sangat kecewa dengan sikap dan pernyataan moderator yang menyudutkan dirinya dan berusaha menjatuhkan martabatnya di hadapan publik padahal sebagai moderator yang juga seorang camat semestinya lebih merangkul masyarakatnya untuk memberikan kenyamanan sehinga tercipta suasana aman dan damai dalam forum rapat tersebut. Lebih lanjut Siti mengungkapkan sikap dan tindakan moderator itu sangat merugikan dirinya dan FP3T sehingga mendorongnya untuk melaporkan kejadian tersebut ke Polsek Nangaroro pada 23 September 2020 dan pada Juma’t, 25 September 2020 dilakukan mediasi oleh Polsek Nangaroro untuk diselesaikan secara kekeluargaan namun proses mediasi ini ditolak Siti Aisyah sehingga pada hari Sabtu lalu pihaknya kembali melaporkan kejadian tersebut ke Polres Nagekeo untuk diproses secara hukum. Sementara itu, Nikolaus Bhuka, SH, Kuasa Hukum Siti Aisyah sesaat usai mendampingi korban dalam pemgambilan keterangan awal oleh penyidik Reskrim Polres Nagekeo menuturkan pihaknya akan terus melakukan pendampingan terhadap korban selama proses hukum kasus tersebut berjalan. Nikolaus meminta agar pihak penyelidik dalam menjalankan tugas penyelidikannya dapat menjalankan tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan dengan hukum acara pidana yang berlaku. “Mengingat dalam laporan tersebut adalah pejabat pemerintah dalam hal ini camat Nangaroro maka pihaknya sebagai kuasa hukum berharap polisi dalam menangani kasus tersebut tidak membeda – bedakan dan dapat memperlakukan semua orang sama di hadapan hukum atau azas equality before the law,” tutur Nikolaus Bhuka. Niko Bhuka memaparkan kasus yang menimpa masyarakat adat di wilayah Kabupaten Nagekeo bukan pertama kali terjadi namun sudah yang kesekian kalinya terjadi dan dilaporkan atau diadukan oleh Masyarakat Adat sebagai korban kepada pihak kepolisian namun faktanya hingga saat ini dari kasus – kasus yang dilaporkan atau diadukan tersebut tanpa ada kepastian dalam proses hukumnya. “Kita berharap kasus yang dilaporkan saat ini tidak menuai hal yang sama sebagaimana dalam penanganan kasus – kasus sebelumnya yang tidak ada kepastiannya sampai hari ini,” paparnya. Dia menegaskan jika dalam penanganan kasus ini masih ada perlakuan – perlakuan tidak adil dalam penanganannya termasuk ketidakpastian proses hukum kasus yang ada atau sengaja dibiarkan dan atau dihentikan maka pihaknya akan menempuh upaya – upaya hukum lainnya dengan melakukan pra peradilan kasus tersebut sebagai bentuk keberatan atau protes terhadap proses hukum yang ada dalam penyidikan atau penyelidikan. ***(Simon Welan, Infokom AMAN Nusa Bunga) --