Dari Kota Manado melintasi Kabupaten Minahasa menuju Amurang ibu Kota Kabupaten Minahasa Selatan lalu ke Motoling dari Desa Lompad-Baru menuju Picuan. Komunitas Tountemboan Motoling-Picuan adalah komunitas yang bermukim di sana sudah sejak 238 tahun lalu. Awalnya sebagai garis pertahanan menjaga perbatasan di Sungai Ranoiapo. Kurang lebih 600 Kepala Keluarga mewarisi kekayaan alam berupa tanah yang subur dan kandungan mineral (emas). Kehidupan sehari hari mereka adalah bertani hortikultura dan membuat gula enau dan minuman keras hasil penyulingan dari pohon enau. Akses jalan dari Desa Lompad Baru atau dari Desa Wanga ke komunitas ini berbatu dan berlumpur ketika musim penghujan tiba. Pada tahun 1991 komunitas ini melakukan penambangan emas dalam skala kecil untuk kebutuhan sendiri. Untuk memenuhi persyaratan penambangan, komunitas memohonkan ijin kepada Kementerian Pertambangan seluas 1.338,80 Ha. Permohonan itu dijawab dengan Ijin No: 673.K/20.01/DJP/1998 tentang Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Setahun kemudian pemerintah mengeluarkan larangan penambangan rakyat karena lokasi penambangan tersebut akan diserahkan pada investor. Padat tahun 2010, investor yang bernama PT. SumberEnergi Jaya/ SEJ bersama pemerintah desa atas surat perintah pemerintah Kabupaten mengadakan pertemuan bersama masyarakat menyampaikan rencana penambangan mereka. Tidak lama kemudian pada bulan Februari 2010, pihak Polres Minahasa Selatan dibantu satuan Brimob datang ke komunitas Picuan untuk melakukan penertiban penambangan rakyat.Tindakan ini tidak diterima oleh komunitas Picuan melakukan aksi penghadangan dan tetap menolak kehadiran PT.SEJ. Berbagai upaya perusahaan bekerjasama dengan aparat kepolisian dan pemerintah kabupaten untuk memenangkan penguasaan lokasi tersebut, dilakukan penangkapan warga dengan tuduhan penambangan illegal sampai pemaksaan menerima keberadaan PT.SEJ. Puncaknya pada 20 April 2012 ketika pihak kepolisian Resort Minahasa Selatan mendatangi Komunitas Picuan untuk menangkap Yance Kesek seorang warga komunitas Picuan dengan tuduhan penambangan illegal. Batas kesabaran warga Komunitas Picuan berakhir , mereka membakar 8 unit kendaraan yang digunakan oleh aparat kejaksaan dan kepolisian. Memuncaknya amarah warga komunitas selain karena akumulasi tindakan perusahaan yang menekan warga beberapa waktu lalu, dipertajam lagi dengan tindakan aparat. Sebanyak lebih kurang 40 personil bersenjata lengkap melepaskan tembakan untuk memaksa komunitas menyerahkanYance Kesek. Aparat kemudian mengisolasi Komunitas Picuan, jika tokoh-tokoh pejuangnya keluar wilayah, mereka akan ditangkap. Namun masalah tidak berhenti ketika komunitas meminta pertanggung jawaban dua orang warganya yang telah disuap perusahaan untuk melakukan pembohongan publik tetapi tidak memenuhi undangan tersebut, rumah kedua warga yang terima suap itu dirusak. Keduanya kemudian melapor ke polisi atas perusakan rumah mereka. Kepolisian bertindak, mengirim 700 personil bersenjata lengkap menerobos pemukiman komunitas Picuan dari dua arah yaitu Lompad dan Wanga. Warga komunitas tidak tinggal diam, mereka menghadang terobosan aparat dan melakukan perlawanan. Oleh kepolisian dijawab dengan tembakan langsung dan mengenai lengan kanan Hautri Marentek serta paha kiri Leri Sumolang. Pada tanggal l4 Juni 2012 sekelompok personil polisi yang mabuk minuman keras berteriak menantang warga komunitas untuk berkelahi namun ditegur oleh warga. Teguran tidak diindahkan bahkan semakin beringas membuang tembakan dan menghampiri rumah warga untuk mencari para lelaki warga komunitas Picuan. Dalam peristiwa ini jatuh korban yaitu Frenki Aringking tertembak di kepala dan Fredi Kawulur, Ventje Sumangkut, Fredy Lendodianiaya. Hingga kini Frenki Aringking cacat seumur hidup, tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Ini lanjutan dari peristiwa sebelumnya 5 Juni 2012 dimana Denny Lumapow kena tembak di bagian perut. Demikian rentetan peristiwa yang dialami komunitas Picuan mempertahankan haknya, ungkap Joice Winowoda danAlfrits Lumiu. Rangkaian peristiwa kekerasan yang menimpa komunitas Picuan adalah harga yang harus dibayar demi mempertahankan haknya atas sumberdaya mineralnya. Menyadari keterdesakan tersebut pada tanggal 17 Oktober 2012 diadakan Musyawarah Komunitas yang dihadiri Tetua Komunitas, Aparat Desa dan Tokoh Masyarakat bersepakat untuk melakukan pemetaan wilayah adat untuk kepentingan klaim wilayah guna memperoleh kepastian hukum. Musyawarah ini dihadiri oleh Pengurus Wilayah AMAN sebagai mandataris Komunitas Tountembon Motoling-Picuan adalah anggota AMAN. Lewat pemetaan terbersit sebuah harapan dan kegiatan advokasi memposisikan keberadaannya untuk memulihkan trauma komunitas atas penindasan dan pengorbanan yang telah terjadi, karena mempertahankan haknya. (***MatulandiSupit)

Writer : |