The Rights and Resources Initiative (RRI), sebuah koalisi global untuk memajukan reformasi penguasaan dan kebijakan hutan, meluncurkan sebuah kajian baru yang menyoroti kelambatan pengakuan hak masyarakat adat dan komunitas lokal atas tanahnya walau telah ada komitmen verbal dari pemerintah dan korporasi, Rabu (5/2). Kajian ini menganalisis kondisi di 33 negara yang secara total mewakili 85 persen hutan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah, termasuk Indonesia. Berikut beberapa hal tentang Indonesia di laporan tersebut: Apakah negosiasi tujuan-tujuan pembangunan pasca-2015 akan menjadi sebuah instrumen kendali demokrasi atas sumber daya alam? Negosiasi-negosiasi telah menunjukkan janji yang berarti, namun target-targetnya masih belum ditentukan. Panel Tingkat Tinggi PBB yang menggunakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Pasca-2015 menyetujui perunya sebuah target kuat tentang hak atas tanah. Panel tersebut - terdiri atas Perdana Menteri Inggris David Cameron, Predisen Liberia Ellen Johnson Sirleaf, dan Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono - menyatakan telah menempatkan penekanan khusus atas hak perempuan atas tanah dan properti. Gelombang kemenangan legal: Hukum semakin berpihak pada kita Pada Mei 2013, Mahkamah Konstitusi Indonesia membatalkan klaim kepemilikan pemerintah atas hutan adat. Kemenangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini mengakui hak masyarakat adat atas tanah hutan dan menjelaskan perbedaan antara hutan milik-negara dan hutan adat. AMAN telah menentang bagaimana pemerintah telah membagi-bagi hutan adat kepada korporasi-korporasi untuk perkebunan dan pertambangan. Mahkamah Konstitusi menegakkan bahwa “anggota-anggota masyarakat adat memiliki hak untuk ... menggunakan tanah untuk memenuhi kebutuhan personal dan keluarganya.” Kementerian Kehutanan di Jakarta menerima keputusan ini. Namun para aktivis khawatir bahwa pemerintah-pemerintah daerah, yang menikmati otonomi yang kuat, mungkin meremehkan keputusan itu dengan cara membuat deklarasinya sendiri mengenai apa yang dimaksud sebagai tanah adat. Karenanya, AMAN mendeklarasikan niatnya untuk memetakan sekitar 40 juta hektare hutan adat hingga 2020, dan hingga 2013 telah memetakan hampir tujuh juta hektare. Gerakan Populer: Krisis tanah membentuk ulang politik Perkara tanah menonjol di banyak agenda politik nasional pada 2013, ditampilkan di kampanye-kampanye pemilihan di Kamboja, India, Indonesia, Nepal, dll. Pada Mei 2013, Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono memperpanjang moratorium dua tahun untuk konsesi baru yang melibatkan pembukaan hutan-hutan utama. Dalam hitungan minggu, perusahaan-perusahaan pembalakan dan perkebunan membuat janji-janji “untuk mengakhiri deforestasi” dan bertanggung jawab terhadap hak komunitas atas tanah. Tetapi keraguan tetap ada. Presiden Yudhono akan mengakhiri masa jabatannya dan ini dianggap kekalahan, dengan sedikit kekuatan dalam menghadapi otonomi wilayah yang semakin kuat. Sangat tidak jelas mengenai apakah ada pencapaian yang akan dilanjutkan setelah masa jabatannya selesai. Laporan lengkapnya dapat dilihat di tautan ini (Bahasa Inggris). ____

Writer : |