Pada 27 November 2013, Lembaga Adat Batanghari melakukan musyawarah dengan Pemerintah Kabupaten Batanghari, Suku Anak Dalam, dan Kapolres Batanghari untuk mencari solusi persoalan konflik agraria dengan PT Asiatic Persada (PT AP). Hasil keputusan musyawarah tersebut adalah menetapkan anggota tim Verifikasi warga Suku Anak Dalam Wilayah Bathin Bahar di areal konflik HGU PT AP. Musyawarah tersebut menghasilkan tugas tim sebagai berikut:

  1. Menetapkan kesepakatan hak marga Bathin Bahar
  2. Verifikasi penduduk Suku Anak Dalam dan petani di wilayah konflik agraria PT AP, PT Damar Tulen, dan PT AMPS.
  3. Pemanggilan semua kelompok yang berada di wilayah konflik.
  4. Dalam kepemimpinan adat Suku Anak Dalam Bathin Bahar tidak mengenal ketemenggungan, melainkan Depati/Patih.
  5. Mengusulkan pembubaran Koperasi Sanak Mandiri.
  6. Membentuk tim verifikasi penelusuran nenek Empat Puyang Delapan.
  7. Tim bekerjasama dengan kelompok-kelompok dan pemangku adat.
  8. Menempatkan Suku Anak Dalam sesuai dengan hak wilayah adatnya masing-masing berdasarkan ikrar adat Bathin Bahar.
  9. Kerjasama tim selama sepuluh hari, dapat ditambah sesuai kebutuhan.
Pada 1 Desember 2013, terbit selebaran dan himbauan dari Tumenggung Sembilan Bilah (Herman Bashir) yang terdiri dari 30 orang mengatasnamakan Suku Anak Dalam melakukan kesepakatan kepada PT AP dan tim penyelesaian konflik dari kabupaten untuk mengosongkan rumah yang berada di areal konflik, namun masyarakat Suku Anak Dalam menolak himbaun tersebut karena Tumenggung Sembilan Bilah (Herman Bashir) merupakan tumenggung palsu dan kaki tangan PT AP. Pada 7 Desember 2013 sekitar pukul 09.00 WIB, aparat gabungan kepolisian/Brimob, TNI, dan satpam PT AP melakukan perusakan dan penggusuran rumah-rumah Suku Anak Dalam yang berada di Dusun Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Seluruh rumah di areal itu dirusak dan dirubuhkan, harta-harta benda mereka dirusak dan sebagian diambil aparat, serta hewan-hewan peliharaan seperti ayam dan anjing ditembaki oleh aparat keamanan. Pada 7 Desember 2013 pukul 13.00 WIB, Dusun Padang Salak rata dengan tanah. Masyarakat Suku Anak Dalam ketakutan dan mengungsi ke sekitar Desa Bungku. Sejak 10 Desember 2013 hingga sekarang, Suku Anak Dalam mengungsi di pendopo Kantor Gubernur Jambi untuk menuntut keadilan dari negara. Ringkasan Kasus Kekerasan yang Dialami oleh Suku Anak Dalam Ilustrasi Sumber-sumber penghidupan (ruang kelola) masyarakat, di antaranya sektor hutan, kebun, dan laut, ternyata tidak mudah diakses. Karena dalam kondisi objektifnya, selain masyarakat, ada pula pihak-pihak lain yang sama-sama memiliki kepentingan yang sama di sektor tersebut. Pihak-pihak selain masyarakat tersebut banyak didominasi oleh kelompok-kelompok industri swasta dan ada juga dari pemerintah yang tergabung dalam badan usaha milik negara (BUMN). Pemerintah, yang berkewajiban berperan aktif dalam kepastian atas terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial, dan Budaya terhadap masyarakat, justru telah abai dalam menjalankan kewajibannya. Selain justru menjadi salah satu saingan masyarakat dalam mengelola sumber-sumber penghidupan, pemerintah juga telah memberikan izin-izin penguasaan industri swasta yang dalam pelaksanaannya telah merebut sumber penghidupan massyarakat. Dari maraknya perizinan pengelolaan sumber penghidupan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk industri swasta, tidak banyak di antaranya telah memunculkan konflik agraria antara pihak industri swasta dengan masyarakat. Konflik sumber daya alam dan agraria sepanjang tiga tahun terakhir menyita perhatian publik Jambi mengingat intensitas ledakannya yang cukup sering. Ada kecenderungan yang cukup kuat, konflik yang dulu bersifat laten berubah menjadi manifes. Banyak konflik yang mulanya terjadi secara diam-diam, tiba-tiba meletus ke permukaan. Perubahan tren konflik tersebut merata di Provinsi Jambi. Kita bisa simak peristiwa yang masih hangat terjadi akhir-akhir ini, yaitu penggusuran paksa oleh pihak PT AP dan aparat keamanan. Kondisi Terkini Kondisi yang terjadi terkait dengan peristiwa yang dialami oleh Suku Anak Dalam adalah pembiaran dan upaya untuk melarut-larutkan proses konflik yang dialami oleh Suku Anak Dalam dan PT AP. Lahan yang saat ini tengah bersengketa disepakati bersama oleh seluruh pihak yang terkait sebagai wilayah status quo. Status wilayah tersebut disepakati dengan semangat akan adanya penyelesaian terhadap konflik yang terjadi. Namun dalam pelaksanaannya, proses tersebut terkesan tidak dilakukan serius. Kondisi ini menjadi salah satu dampak penyebab sikap Suku Anak Dalam melakukan kegiatan pemanenan di wilayah perkebunan kelapa sawit yang sebelumnya disepakati sebagai wilayah yang berstatus quo. Dari sikap Suku Anak Dalam yang melakukan kegiatan pemanenan tersebutlah menjadi argumentasi bagi kejadian atau peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat terhadap Suku Anak Dalam. Dalam kasus tersebut, Suku Anak Dalam tidak sepenuhnya menjadi pihak yang dipersalahkan, karena di satu sisi, kita juga harus bersikap kritis terhadap pemerintah daerah terkait lambatnya penyelesaian konflik yang terjadi.

Writer : |