Warga kampung Muara Tae, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur tetap menolak menjual tanah leluhur mereka kepada PT Munte Waniq Jaya. Hingga Jumat (21/2), mereka bertahan di lokasi sengketa dengan cara berkebun dan membuat pondok untuk tempat berteduh. Konflik di wilayah adat Muara Tae mencuat kembali sejak Kamis (20/2). Sengketa wilayah adat Muara Tae bermula pada Mei 2012, ketika Bupati Kutai Barat Ismail Thomas menerbitkan Surat Keterangan tentang Tapal Batas. Ismail menetapkan wilayah adat Muara Tae sebagai bagian kampung Muara Ponaq. Bermodalkan SK it, masyarakat Kampung Muara Ponaq dan Kenyanyan bermaksud menjual tanah kepada PT Munte Waniq Jaya Perkasa, perusahaan sawit yang keberadaannya di sana telah lama ditolak. Sejak kedatangannya, PT Munte Waniq Jaya melakukan aktivitas penggusuran yang mengabaikan hak-hak masyarakat adat Muara Tae. Lebih dari 4300 hektare tanah terancam dirampas, padahal itulah sumber penghidupan utama masyarakat. PT Munte Waniq Jaya berdalih bahwa mereka telah mengikuti semua prosedur yang ada dan berhak melakukan aktivitas di wilayah tersebut. Masrani, mantan kepala kampung Muara Tae yang tahun lalu diberhentikan secara sepihak oleh Bupati, menyampaikan penyesalannya dan menegaskan penolakan masyarakat Muara Tae terhadap aktivitas perkebunan sawit di wilayah adat Muara Tae. “SK Bupati ini jelas sangat politis dan memihak pihak perusahaan,” katanya. ____