Sebanyak lima orang Masyarakat Adat Dayak di Kecamatan Sebuku, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara masih dalam tahanan polisi dan kejaksaan. Mereka masih ditahan dengan tuduhan mencuri sawit perusahaan, walaupun gelombang protes Masyarakat Adat dan elemen organisasi masyarakat lainnya terus mengalir menuntut pembebasan mereka. Pada 6-7 April 2021, masyarakat Sebuku, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Pasukan Merah dari Ormas Tariu Borneo Bangkule Rajakng, menduduki kantor dan dua pabrik PT KHL (Karangjuang Hijau Lestari), yang telah melaporkan warga masyarakat adat ke Polres Nunukan. Senin (12/4/2021), sejumlah elemen mahasiswa di Tanjung Selor, ibukota Kalimantan Utara, juga berunjuk rasa mempertanyakan sejumlah kebijakan lingkungan hidup yang diubat Pemrprov Kaltara. Mereka pun menuntut pembebasan warga Dayak Abagag di Sebuku yang ditahan polisi. Yohanes, Ketua Pengurus Wilayah (AMAN) Kaltara pun turun aksi saat pendudukan kantor PT KHL. Ia mengatakan, saat ini sudah ada dua puluh orang yang dilaporkan ke Polres Nunukan sejak Desember 2020 lalu. Lima orang di antaranya sudah ditangkap. Satu di antaranya di tahanan jaksa dan empat orang lainnya di tahanan Polres Nunukan. “Dua orang atas nama Kual dan Abetman mereka didampingi oleh pengurus Adat Kecamatan Sebuku dan Kepala Desa Kunyit, dengan maksud ingin bernegosiasi dengan Kapolres, karena Ibunya Abetman ini jatuh sakit gara-gara kepikiran anaknya dilaporkan dan jadi tersangka, namun di perjalanan mereka justru langsung ditahan,” ujar Yohanes melalui pesan Whatsapp, Senin (12/4/2021) malam. Menurut Yohanes, kasus ini terjadi karena konflik lahan antara masyarakat Sebuku dengan PT KHL yang telah berlangsung lama tak pernah selesai. Ini bermula pada tahun 2004, saat tanah masyarakat yang belum selesai ganti ruginya, perusahaan tetap beroperasi. Lalu, lanjut Yohanes, pada 2009, masyarakat menuntut penyelesaian kasus lahan mereka. “Namun tetap tak digubris oleh pihak manajemen KHL. Jawaban orang lapangan kepada masyarakat, nanti kalau sawitnya sudah berbuah, dipanen saja Pak. Dan sawit-sawit tersebut dirawat oleh masyarakat,” jelas Yohanes. Ia menambahkan, sejak panen perdana pada 2016 masyarakat pun memanen hasil kebun itu karena mereka merasa haknya belum diselesaikan. Peemanenan terus berlangsung hingga 2020. Namun, pada Desember 2020, perusahaan mulai melaporkan kasus pencurian oleh masyarakat dari lima desa di Sebuku. Padahal menurut Yohanes, hampir seluruh wilayah adat dan kampung mereka masuk dalam izin PT KHL. [video width="640" height="352" mp4="http://www.aman.or.id/wp-content/uploads/2021/04/WhatsApp-Video-2021-04-12-at-20.37.45.mp4"][/video]

Video aksi Masyarakat Adat di depan Kantor PT. KHL pada tanggal 06 April 2021. Dok: PW AMAN KalTara

Selain berunjuk rasa, sebelumnya berbagai upaya dialog sudah dilakukan untuk membebaskan masyarakat yang ditahan itu. Yohanes kata, pada 11 Februari 2021, mereka mengikuti hearing di DPRD Nunukan. Kemudian mereka juga pernah menghadiri pertemuan yang difasilitasi Wakil Menteri (Wamen) ATR/BPN, Surya Tjandra di kantor bupati Nunukan, pada 23 Maret 2021. Menurutnya, saat itu Wamen juga memyampaikan ke Kapolres Nunukan agar kasus itu segera dihentikan dengan cara dimediasi. Menurutnya, Wamen juga berjanji akan berkoordinasi gubernur dan Kapolda Kaltara. Namun, hingga detik ini, solusi bagi Masyarakat Adat di Sebuku belum diperoleh. Malahan, pasca demonstrasi, pihak AMAN dan TBBR yang giliran didatangi polisi. “Saya ditanya, berapa anggota yang ikut ke Nunukan. Saya jawab saya sendiri. Saya wajib dampingi komunitas anggota AMAN. TBBR ditanya struktur pengurus tingkat provinsi sampai kecamatan,” beber Yohanes. **Budi Baskoro