Oleh Samsir

Gunung Bente Bae merupakan benteng besar bekas penjajahan Belanda. Lokasinya sangat jauh. Kita butuh waktu dua jam perjalanan untuk sampai ke benteng besar ini. Jalan terdekat bisa ditempuh melalui desa Lemo, Kecamatan Bungku Utara, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Di tempat ini, kita akan menemukan sebuah Desa Salubiro yang dihuni oleh Suku Taa Wana. Desanya berada diketinggian 550 MDPL.

Untuk bisa sampai ke desa Salubiro, kita perlu tenaga extra karena area jalanan yang dilewati begitu ekstrem, penuh batu cadas. Kita juga harus melewati 20 anak sungai kecil dan besar. Bahkan, kendaraan roda empat (mobil) tidak mampu menembus desa ini. Hanya kendaraan roda dua yang bisa menembusnya.

Kepala Desa Salubiro Sofyan Pandjo mengatakan desa yang dipimpinnya ini dihuni Masyarakat Adat Suku Taa Wana. Jumlahnya sekitar 1.400 jiwa.

Sofyan menerangkan sebagian besar Suku Taa Wana hidup dari hasil pertanian. Mereka menanam padi, berkebun coklat, damar dan nilam.

“Hasil dari pertanian ini yang menjadi tumpuan hidup mereka (Suku Taa Wana) sehari-hari,” kata Sofyan saat ditemui di desa Salubiro belum lama ini.

Sofyan menambahkan dalam kesehariannya, Masyarakat Adat Suku Taa Wana tidak terlepas dari tradisi. Syukurnya, kata Sofyan, tradisi dan budaya Suku Taa Wana masih tetap terjaga kelestariannya hingga saat ini. Misalnya, tradisi panen raya atau biasa disebut Pra yang dilaksanakan setahun sekali. Sofyan menerangkan tradisi panen raya ini biasanya ditandai dengan potong ayam atau potong babi, kemudian darahnya disemburkan ke lumbung padi sebagai bentuk rasa syukur.

Kemudian, sebut Sofyan, ada juga tradisi Nia atau pengobatan dalam bentuk ritual Momago. Sebelum tradisi NIA dilaksanakan, biasanya ada makan bersama. Kemudian, gong dan gendang dimainkan dengan diiringi tari-tarian.

Selain itu, Suku Taa Wana juga punya tradisi orang meninggal. Setelah prosesi penguburan jenazah, ada dibuatkan acara yang diberi nama Mata. Sofyan menyebut Mata ini acara duka. Keluarga yang ditinggalkan membuat rumah dari kayu yang jauh dari pemukiman. Selanjutnya, makan bersama dan melantunkan pantun-pantun semalam suntuk. Setelah waktu menunjukan pukul 04.00 atau 05.00 pagi, rumah kayu tersebut dicincang dengan sebilah parang sampai rata dengan tanah sambil berteriak, menangis sebagai bentuk rasa kehilangan.

Selanjutnya, Suku Taa Wana juga punya tradisi menolak bala atau biasa disebut Mantambo Uba. Sofyan menjelaskan tradisi ini dilakukan ketika hama menyerang tanaman, maka Masyarakat Adat Suku Taa Wana akan berdiri di ujung jalan kampung dengan niatan agar hama tersebut menjauh dari perkebunan mereka.

Sofyan menyebut itulah sejumlah tradisi yang hingga kini masih dijalankan oleh Masyarakat Adat Suku Taa Wana.

"Tradisi dan budaya itu masih kami jaga sampai saat ini sebagai bentuk eksistensi Masyarakat Adat Suku Taa Wana,” ucap Sofyan yang juga Dewan AMAN Daerah Taa Wana.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sulawesi Tengah

 

Writer : |
Tag : Tradisi Masyarakat Adat Taa Wana Sulawesi Tengah