Oleh Apriadi Gunawan, Nesta Makuba, Sepriandi

Enam orang saksi dihadirkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dalam sidang lanjutan gugatan terhadap Presiden dan DPR RI di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, pada Kamis 14 Maret 2024.

Para saksi mengaku kecewa karena RUU Masyarakat Adat yang telah diajukan AMAN sejak tahun 2009 hingga kini urung atau tidak kunjung disahkan. Akibatnya, komunitas Masyarakat Adat di seluruh Nusantara mengalami dampak buruk.

AMAN mencatat sejak tahun 2014, telah terjadi 301 kasus perampasan wilayah adat seluas 8,5 juta hektar dan 678 orang Masyarakat Adat dikriminalisasi karena mempertahankan wilayah adat.

“Ini sudah darurat dan RUU Masyarakat Adat ini harus menjadi perhatian untuk segera di sahkan,” kata Abdon Nababan saat memberikan kesaksian di PTUN Jakarta, Kamis (14/3/2024).

Abdon Nababan pernah menjabat Sekretaris Jenderal AMAN dua periode pada tahun 2007-2017. Ia menjadi saksi pertama yang memberikan keterangan di PTUN Jakarta.

Abdon mengatakan sudah lama mengawal proses bergulirnya RUU Masyarakat Adat ke DPR RI. Ia mengaku telah mendorong RUU Masyarakat Adat sejak Kongres Masyarakat Adat Nasional Tahun 1999. Saat itu, peserta Kongres Masyarakat Adat meminta pemerintah menerbitkan produk hukum bagi keberlangsung Masyarakat Adat.

Abdon dalam kesaksiannya di persidangan menjelaskan bahwa keinginan ini sudah pernah disampaikan kepada Presiden Joko Widodo. Dikatakannya, dalam kesepakatan awal sebenarnya Presiden Joko Widodo sudah menyepakati akan mengawal dan mengesahkan RUU Masyarakat Adat bersama-sama DPR RI. Tapi, janji tersebut hanya janji kosong yang di goreng kesana-kemari tanpa ada kepastian bagi nasib jutaan Masyarakat Adat.

“Kami sangat kecewa dengan Presiden, janji tinggal janji, kasus perampasan wilayah adat di Masyarakat Adat terus bertambah bahkan semakin parah,” tegas Abdon.

Abdon menyebut RUU Masyarakat Adat ini sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) sejak 2010 hingga sekarang. Namun, negara terkesan membenturkan kepentingan Masyarakat Adat dengan agenda politik kelompok tertentu.

Abdon mengingatkan bahwa keberadaan Masyarakat Adat sejak awal sudah diakui oleh negara melalui UUD 1945. Namun, RUU Masyarakat Adat harus tetap disahkan oleh negara. Agar tidak ada lagi kriminalisasi dan perampasan hak-hak Masyarakat Adat.

Saksi lain Effendy Buhing dari Komunitas Masyarakat Adat Laman Kinipan, Dayak Tomun, Kalimantan Tengah memberi kesaksian bahwa dirinya pernah ditangkap ketika sedang mempertahankan kedaulatan Masyarakat Adat atas tanah, hutan dan wilayah adat. Ia dituduh mencuri buah kelapa sawit. Namun, Effendy Buhing mengaku tidak gentar sehingga perjuangan ini akan terus dilakukan hingga UU Masyarakat Adat disahkan.

“Demi Masyarakat Adat, undang-undang ini harus disahkan agar tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan,” kata Effendy dalam kesaksiannya di PTUN Jakarta.

Pada kesempatan ini, Effendy melaporkan beberapa kasus yang menimpa Masyarakat Adat hingga perusakan wilayah adat di kampungnya. Padahal, wilayah adat mereka pernah diverifikasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemudian, status hukum Masyarakat Adat di kampungnya sudah didaftarkan lengkap dengan syarat-syaratnya.

“Kami sudah daftarkan kepada pemerintah, tapi kami dipimpong ke sana-ke sini, termasuk sama sekretaris daerahnya,” imbuhnya.

Effendy berharap UU Masyarakat Adat segera disahkan sehingga mereka tidak lagi di pimpong dan status komunitas Masyarakat Adat dapat diakui oleh negara di atas kedaulatan wilayah adatnya.

Dukung Perjuangan AMAN

Pengurus Harian AMAN Jayapura Benhur Wally mendukung penuh upaya perjuangan pengesahaan RUU Masyarakat Adat yang saat ini sedang bergulir di PTUN Jakarta. Benhur berharap pemerintah jangan menutup mata soal penderitaan yang dialami Masyarakat Adat di tanah air. Menurutnya, berbagai kasus perampasan wilayah adat dan kriminalisasi yang terjadi selama ini merupakan bom waktu yang akan meledak jika tidak diakomodir oleh pemerintah saat ini .

“Pemerintah harus buka diri, menerima Masyarakat Adat sebagai bagian penting pilar kebangsaan dalam memperjuangkan dan mempertahankan NKRI sebagai induk rumah bersama,” kata Benhur Wally pada Jum’at, 15 Maret 2024.

Benhur mengkritik pemerintah yang kerap menggunakan simbol budaya pakaian adat, yang notabene milik Masyarakat Adat. Tetapi, tidak melihat aspek sisi kemanusian dalam melindungi Masyarakat Adat.

“Masyarakat Adat jangan dijadikan objek simbol kenegaraan saja, tetapi dalam prakteknya nol besar,” tegasnya.

Hal senada disampaikan oleh Dewan AMAN Nasional (Damanas) Region Sumatera, Def Tri Hardianto bahwa negara harus segera merampungkan pengesahan RUU Masyarakat Adat. Sebab, sejak lama negara terkesan mengabaikan kepentingan Masyarakat Adat.

"Negara harus serius menanggapi kepentingan Masyarakat Adat ini. Undang-Undang Masyarakat Adat ini harusnya sudah lama disahkan," kata Def Tri.

Menurutnya, AMAN telah mempersiapkan segala kebutuhan terkait pengesahan RUU Masyarakat Adat, termasuk mengenai naskah akademik. Sehingga tidak ada alasan bagi pemerintah dan DPR untuk menunda-nunda pengesahan UU Masyarakat Adat ini.

“Sudah waktunya pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-Undang Masyarakat ini. Sebab, ini menyangkut kepentingan dan kedaulatan hak-hak Masyarakat Adat,” tandasnya.

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Papua (Nesta) dan Bengkulu (Sepriandi).

Tag : Masyarakat Adat DPR RI PTUN Presiden AMAN