[caption id="attachment_3366" align="aligncenter" width="278"] sumber gambar: http://vovworld.vn/id-id/Berita/Presiden-Indonesia-Susilo-Bambang-Yudhoyono-menerima-Sekjen-ASEAN-Le-Luong-Minh/146962.vov[/caption] oleh Monica Kristiani Ndoen Euphoria, perasaan senang yang berlebihan, Pemilihan presiden (Pilpres) sudah mulai terasa sejak memasuki bulan Januari 2014. Berbagai pihak berspekulasi tentang siapa kandidat pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) yang akan diusung oleh partai masing-masing. Pilpres akan dilaksanakan pada bulan Juni 2014 mendatang, dan itu berarti bahwa masa jabatan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hanya tersisa kurang dari 3 bulan. Sisa waktu tersebut masih bisa digunakan SBY untuk setidaknya menepati janji-janji yang sudah diucapkan, yaitu akan memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat pasca putusan Mahkamah Konstitusi pada 16 Mei 2013. Pada tanggal 27 Juni 2013 SBY menghadiri Promoting Sustainability and Productivity in the Palm Oil and Pulp & Paper Sectors Workshop di Jakarta. Dalam pertemuan tersebut SBY menyampaikan bahwa MK 35/12 adalah momentum penting untuk pengakuan hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam. Pada saat itu pula, SBY berkomitmen akan memulai proses pendaftaran dan pengakuan hak kolektif masyarakat adat atas wilayah-wilayah adat di Indonesia. Namun janji dan semangat SBY tersebut terbantahkan ketika Permenhut P.62 disahkan pada 19 November 2013. Ada beberapa poin dalam P.62 yang mencederai semangat perjuangan masyarakat adat setalah keluarnya MK 35, yaitu : 1. Mengingkari status masyarakat adat (MA) sebagai subjek hukum di dalam Pasal 17 dan 18 P.62, ketentuan ini bertentangan dgn MK 35/2012. 2. Mengabaikan MK 45/2011 yangg mengkoreksi aturan tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan dan memanipulasi ps 81 UU No. 41/1999. 3. P.26 membatasi bukti klaim hak, sesuai dgn 3 komponen dalam P.26 yg mengurangi klaim hak MA yg tidak selalu punya komponen tersebut. 4. Syarat Berganda Pengakuan Hutan Adat, pembatasan ini melanggar prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945. 5. P.62 melestarikan cara pandang yang salah mengenai kawasan dan hutan negara dengan menyamakan keduanya, seperti pada ps 24A angka 3 P.62. 6. P.62 berpotensi pada semakin menguatnya ego sektor kehutanan dalam penyusunan legislasi daerah. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Sekjen-nya, Abdon Nababan, mendesak SBY untuk turun tangan dan memastikan kementerian tidak melakukan sesuatu yang dapat menghambat implementasi MK 35. Menurutnya, presiden bisa saja mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang inventarisasi, identifikasi, pendaftaran dan penyelesaian konflik wilayah adat dan menunjuk badan pelaksananya. Dalam hal ini tentu saja Kementerian Kehutanan (Kemenhut) tidak masuk hitungan, “Sumber masalah ada di Kemenhut, lalu diminta menyelesaikan masalah? Mana mungkin,” Tegas Abdon.