AMAN, 26 September 2014. Sekjen AMAN Abdon Nababan, berpidato di Sidang Plenary III Konferensi Masyarakat Adat Sedunia pada 23 September 2014. Sidang Planery III itu membicarakan persoalan "Tanah, Wilayah dan Sumberdaya". Persoalan tanah, wilayah dan sumberdaya menjadi persoalan serius masyarakat adat di seluruh dunia. Tak jarang aktivis masyarakat adat harus mengorbankan nyawanya untuk mempertahankan tanah leluhurnya dari ekspansi perkebunan dan pertambangan milik pemodal besar. Pada awal September ini misalnya, Harian KOMPAS memberitakan, Edwin Chota bersama tiga pempimpin suku asli Ashanika tewas terbunuh di kawasan terpencil yang berbatasan dengn Brazil. Sebelumnya, menurut pempimpin regional suku Ashaninka Reyder Sebastian, sudah bertahun-tahun Edwin mendapatkan ancaman pembunuhan akibat aktivitasnya menentang pembalakan di wilayah hutan adat. Sudah enam tahun Chota berjuang melawan pembalakan di hutan-hutan milik masyarakat adat di Peru. Perjuangannya menjadi inspirasi bagi masyarakat adat di wilayah lainnya untuk mendapatkan kembali hutan yang menjadi sumber-sumber kehidupan mereka. Hampir di seluruh penjuru dunia, masyarakat adat menjadi penyelamat hutan dari keserakahan perusahaan yang ingin memaksimalkan keuntungan di sektor perkebunan skala luas atau pertambangan. Gigihnya masyarakat adat itu dikarenakan hutan adalah salah satu sumber kehidupannya. Mereka tidak bisa dipisahkan dari hutan. Rusaknya hutan berarti ancaman serius bagi kehidupannya. Riset World Resources Institute dan Rights and Resources Initiatives (2014) tentang Securing Rights, Combatting Climate Change yang melakukan penelitian di 14 negara berhutan di Amerika Latin, Afrika dan Asia memperlihatkan bahwa, negara yang memberikan hak hukum kepemilikan hutannya kepada masyarakat hukkum adat dan masyarakat lokal dapat mengendalikan deforestasi secara jauh lebih baik ketimbang jika kepemilikan hutannya dimiliki negara. Meskipun sudah terbukti bahwa masyarakat adat adalah penjaga kelestarian hutan, namun mereka justru mendapat perlakuan buruk. Di Peru, seperti di tulis di awal artikel ini, aktivis masyarakat adat dibunuh karena melawan pembalakan hutan di kawasannya. Perlakuan buruk terhadap masyarakat adat bukan hanya terjadi di Peru, di Indonesia perlakuan buruk terhadap masyarakat adat juga sering terjadi. Terusirnya mereka dari wilayah kelolanya itulah yang menjadi cikal bakal konflik berbasiskan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat adat, pemerintah dan perusahaan. Sebuah penelitian Rights and Resources Initiative yang berjudul “Global Capital, Local Concessions: A Data Driven Examination of Land Tenure Risk and Industrial Concessions in Emerging Market Economies” mengungkapkan bahwa sedikitnya 56.102 ha lahan adat di Kalimantan mengalami tumpang-tindih dengan konsesi perkebunan kelapa sawit. Masyarakat adat di negeri ini juga sering diusir dari wilayah-wilayah hutannya. Ekspansi perusahaan perkebunan dan tambang membuat mereka terpinggirkan dan akhirnya terusir dari hutan yang menjadi sumber-sumber kehidupannya. Data organsiasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, seperti ditulis sebuah media massa di Jakarta, hingga tahun 2010 tercatat ada 200 kasus atau konflik antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat adat.