Di tengah ketiadaan Undang-undang Masyarakat Adat, kondisi Masyarakat Adat saat ini seperti anak kecil yang baru lahir. Tanpa sehelaipun perlindungan dari serbuan investor yang menginvansi wilayah Adat. RUU Masyarakat Adat dan RUU Omnibus Law sebelum disahkan menjadi UU sama-sama masuk dalam program legislasi nasional tahun ini. RUU Masyarakat Adat sudah dua periode DPR RI dibahas, namun gagal sampai tahap pengesahan. Sedangkan RUU Omnibus Law dibuat dengan sangat cepat bahkan dinilai tergesah-gesah dalam pengesahannya, sehingga menimbulkan banyak kontroversi. Undang-Undang Omnibus Law memang sudah disahkan, namun tidak memiliki legitimasi karena dibuat tanpa partisipasi Masyarakat Adat serta bertentangan dengan mandat Konstitusi Negara Republik Indonesia. Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi mengatakan “Undang- undang Omnibus Law yang baru disahkan, tidak hanya bicara soal urusan tenaga kerja, tapi juga memastikan investor untuk lebih leluasa masuk dan merampas wilayah adat dan diberikan karpet merah ditengah ketidakpastian kapan Undang-undang Masyarakat Adat disahkan”. Dari sisi proses maupun isinya, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) jelas MENOLAK UU Cipta Kerja yang sangat merugikan Masyarakat Adat, diantaranya: Dalam proses pembentukan : 1. Tidak pernah ada konsultasi dan dialog dengan Gerakan Masyarakat Adat. Ini berarti bahwa UU Cipta Kerja telah dibahas tanpa partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Padahal partisipasi rakyat termasuk Masyarakat Adat dalam pembentukan hukum adalah hal yang esensial dalam negara demokrasi. 2. Pembahasan yang super cepat dan dilakukan secara diam-diam telah menunjukkan sikap tidak etis DPR dan Pemerintah, dengan memanfaatkan situasi pandemi Covid-19 untuk membatasi ruang pemantauan dan partisipasi masyarakat dalam pembentukan hukum. UU Cipta Kerja Bertentangan dengan UUD 1945 dan Hukum HAM, dan juga anti demokrasi: 1. UU Cipta Kerja jelas bertentangan dengan penghormatan UUD 1945 terhadap Masyarakat Adat. Ini dibuktikan dengan hapusnya ketentuan di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup yang mengecualikan aktivitas perladangan dengan cara membakar sebagai ekspresi kebudayaan dan kearifan lokal Masyarakat Adat. Penghapusan pasal pengecualian tersebut dari UU PPLH jelas menunjukkan sikap anti terhadap Masyarakat Adat yang menjalankan kearifan lokal dan budayanya dalam mengelola wilayah adat. Penghapusan pengecualian tersebut jelas merupakan pengingkaran dan pelanggaran terhadap UUD 1945 khususnya Pasal 28I ayat (3). 2. Sikap anti demokrasi ditunjukkan oleh UU Cipta Kerja yang menghapus keharusan untuk mendapatkan persetujuan DPR RI dalam melakukan pelepasan Kawasan hutan. Padahal DPR adalah representasi rakyat termasuk Masyarakat Adat. Sebelumnya UU Kehutanan mengatur keharusan tersebut di dalam Pasal 19 UU Kehutanan, yang oleh RUU Cipta Kerja dihapus. Memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah adat : 1. Memang ada klausul yang menyatakan bahwa Ijin di atas wilayah adat baru bisa diberikan jika telah ada persetujuan antara Masyarakat Adat dan investasi. Tapi aturan ini tidak akan berjalan karena faktanya prosedur pengakuan Masyarakat Adat kembali diserahkan kepada kebijakan sektoral (KEMEN LHK, KEMAN ATR, KKP, KEMENDAGRI) yang berbelit- belit, sangat sektoral, dan saling mengeliminasi. 2. Dengan demikian, ketiadaan status hukum sebagai akibat dari tidak bekerjanya prosedur pengakuan itu akan berakibat pada perampasan wilayah adat secara massif untuk kepentingan investasi. Ini diatur misalnya di Pasal 22 (Isu Kelautan). Anehnya, UU Omnibus Law hanya memberikan sanksi administrative bagi pemanfaatan usaha di Laut tanpa ijin usaha (Pasal 16A). Meningkatkan Ancaman Kriminalisasi Terhadap Masyarakat Adat: 1. Di dalam Pasal 69, UU Cipta Kerja menghapus pengecualian bagi Masyarakat Adat untuk berladang dengan cara membakar sebagaimana sebelumhya telah diakui di dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2. Dari data yang dirilis oleh AMAN, bersama PPMAN dan YLBHI jumlah kasus kriminalisasi Masyarakat Adat sepanjang tahun 2019 saja, berjumlah 63 kasus. Mayoritas dikenakan Pasal 108 Jo 69 UU Nomor 41 Tahun 1999 terkait peladangan lokal, kebakaran hutan dan lahan. Artinya UU Cipta kerja dibangun tanpa mempertimbangkan hak asasi manusia Masyarakat Adat yang mana hak-hak itu telah diakui dalam berbagai instrument hukum nasional dan internasional. UU Cipta Kerja Menggelar Karpet Merah Kepada Investasi: 1. Ijin HGU 90 tahun. Ini artinya wilayah adat yang dirampas hanya baru ada kemungkinan untuk kembali ke Masyarakat Adat setelah 90 tahun. Perlu hampir 2 generasi lamanya. 2. UU Cipta Kerja hanya memberikan sanksi administrative kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin usaha (Pasal 82A). Dunia usaha yang melanggar Perijinan berusaha dan persetujuan pemerintah hanya dikenakan sanksi administrative. Pendek kata, tidak ada sanksi pidana kepada dunia usaha yang melakukan usaha tanpa ijin atau yang melakukan pelanggaran terhadap ijin usahanya. 3. Pelaku usaha yang menggunakan (merampas) wilayah adat tanpa persetujuan Masyarakat Adat hanya diberikan sanksi administrative (tidak ada sanksi pidana). Ini diatur dalam Pasal 22 cluster Sistem Budidaya Pertanian. UU Cipta Kerja Mengancam Kebijakan Perlindungan Masyarakat Adat yang telah Ada : 1. Selama ini telah banyak Perda di Kabupaten/Kota, Provinsi yang memberikan pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Keberadaan berbagai Perda itu terancam dicabut oleh pemerintah melalui kewenangan yang diberikan oleh UU Cipta Kerja jika keberadaan Perda-perda tersebut menghambat kewenangan pemerintah pusat dalam merubah kawasan hutan menjadi kawasan usaha dan dengan alasan menghalangi investasi. 2. Selain itu, kewenangan Pemerintah Daerah dalam memberikan ijin juga dihapus. Ini artinya ruang pengawasan masyarakat terhadap proses perijinan semakin tertutup. Juga prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan menjadi tertutup. 3. Selain itu kewenangan untuk mencabut Perda ini pun bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pencabutan perda dan PP harus dilakukan dengan putusan Mahkamah Agung. UU Cipta Kerja Menghabisi Pekerjaan Tradisional Masyarakat adat: 1. UU Cipta Kerja ini juga berbahaya bagi Masyarakat Adat yang menjalankan pekerjaan tradisionalnya. Hal ini terjadi karena UU Cipta Kerja secara umum mengatur kemudahan berinvestasi salah satunya melalui penyederhaan perijinan. Sementara di sisi lain proses pengakuan Masyarakat Adat masih diserahkan kepada kebijakan sektoral yang berbelit belit dan saling mengeliminasi. 2. Di tengah ketidakjelasan instrumen pengakuan masyarakat adat, maka penyederhaan ijin untuk investasi sama saja dengan mempercepat penghilangan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat dan secara umum mempercepat hilangnya penguasaan dan hak Masyarakat Adat atas ruang hidupnya. Padahal pekerjaan tradisional ini adalah salah satu hak yang diakui oleh Konvensi ILO 111 yang juga telah diratifikasi oleh Negara Indonesia. Download Siaran Pers ----------------SELESAI---------------------- Keterangan tentang Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dapat dilihat di www.aman.or.id Kontak Media : 1. Rukka Sombolinggi (Sekjen AMAN), Hp: 0812-1060-794 2. Erasmus Cahyadi (Deputi II Sekjen AMAN), Hp: 0812-8428-0644