Orang Rimba sejak dulu telah mengenal aturan tentang kehidupan yang diwariskan secara turun temurun. Aturan itu dituangkan dalam undang-undang hukum adat, yakni Undang Pucuk Delapan Teliti Duabelas.

Undang Pucuk Delapan Teliti Duabelas dipegang teguh oleh para penghulu hingga sekarang dan ditaati oleh seluruh warga Suku Anak Rimba dengan mematuhi perintah dan larangan. Aturan adat tersebut berisi keutamaan, mencakup Empat di Atas, Empat di Bawah, dan Isi Teliti Duabelas.

Empat di Atas, antara lain menikam bumi (berzina dengan ibu kandung sendiri), mandi di depan cawon gading (berzina dengan saudara kandung), mancerak telok (berzina dengan anak gadis sendiri), dan melebung dalam (mengganggu rumah tangga orang).

Orang Rimba sangat takut melanggar aturan ini sebab pelanggaran terhadap salah satunya bisa dihukum mati. Penegasan aturan itu tercermin dari seloko adat (istilah adat) berbunyi �yang bermai mati dan yang tidak bermai mati.� Artinya, dengan melanggar aturan adat, maka hukumannya tetap mati dan tidak bisa ditebus dengan harta kekayaan dalam bentuk apa pun. Kesungguhan dalam penerapan aturan dimaksudkan agar tatanan sosial Orang Rimba tetap terjaga dan menjadi efek jera bagi yang lain, agar jangan sekali-kali melanggar aturan. Penerapan hukuman mati dilaksanakan dengan dua cara, yakni dipancung dan ditenggelamkan ke sungai. Penenggelaman dilakukan dengan cara mengurung pelanggar hukum adat ke dalam anyaman jala sampai terikat kencang, lalu membalut seluruh tubuh untuk kemudian diberikan kepada penghulu yang memberikan sebuah pisau dari timah. Penghulu akan berujar, �Kamu telah melanggar hukum adat yang dipegang teguh oleh seluruh penghulu, jadi seperti inilah yang kamu inginkan, jadi sekarang kami berikan senjato (senjata). Kalau bisa kamu memutus anyaman sangkar ini, maka kamu bebas dari hukum adat. Tetapi jika tidak, maka kamu akan tenggelam dalam lubuk yang dalam hanyut ke rantau yang panjang.�

Empat di Bawah, meliputi tabung racun (meracuni orang yang tidak punya salah, misalnya membubuhi racun pada minuman atau makanan); sio bakar (membakar rumah orang); tantang pahamut (menantang orang berkelahi tanpa sebab); dan amogram (mengancam orang dan menyatakan akan membunuhnya). Berbeda dengan Empat di Atas yang tidak bisa ditebus, aturan berupa Empat di Bawah masih bisa ditebus dengan harta berupa 180 lembar kain. Si Pelanggar harus menyerahkan tebusan dengan mengatakan, �Kami telah khilaf, maka terjadi seperti ini, melanggar adat yang dipegang teguh oleh seluruh penghulu. Jadi karena salah, kami ganti hutang, berduso (berdosa) kami ganti mati, dari pada terjun ke lubuk yang dalam dan hanyut ke rantau yang panjang, meresa dewe kami memang bersalah. Namun sebagaimana aturan yang dipegang teguh oleh para penghulu, maka inilah kami menebus jiwa kami dengan 180 lembar kain.�

Sementara itu, Isi Teliti Duabelas mencakup 12 aturan yang lebih spesifik. Keduabelas aturan tersebut terangkum pada penjelasan di bawah ini.

  1. Lembah baluh ditepung tawar artinya orang yang menyakiti fisik orang lain sampai meninggalkan bekas, sehingga wajib mengobatinya.
  2. Luka lukih dipampas artinya wajib membayar pampas dan ini terbagi dalam tiga jenis luka:
  3. Luka rendah yaitu luka yang dapat ditutupi dengan pakaian dan tidak parah. Pampasnya seekor ayam, segantang beras, selemak semanis, dan obatnya.
  4. Luka tinggi yaitu luka yang dapat merusak rupa, seperti muka, namun tidak parah. Pampasnya seekor kambing, 20 gantang beras, selemak semanis, dan biaya pengobatan (hilang hari).
  5. Luka sangat parah yaitu pampasnya sama dengan separuh bangun.
  6. Mati dibangun yaitu orang yang membunuh orang lain wajib membayar bangun, seperti seekor kerbau, 100 gantang beras, dan satu kayu kain.
  7. Samun yaitu perampokan yang terbagi ke dalam empat kategori:
  8. Samun gajah duman yaitu perampokan yang tidak bisa ditangkap, hanya dibuktikan dengan ada langau hijau. Siapa yang kuat pasti menang, siapa lemah pasti kalah.
  9. Samun sementi yaitu penyamun di batas hutan daerah pemukiman.
  10. Samun diadun duman yaitu perampokan dalam daerah perkampungan.
  11. Samun sakai yaitu segala bentuk penipuan yang merugikan harta benda orang.
  12. Salah makan dialihkan yaitu salah dikembalikan, salah pakai diluluskan (dilepaskan).
  13. Hutang kecil dibayar lunas, hutang besar dapat diangsur, tapi wajib dibayar.
  14. Golok gadai yaitu harta yang diborohkan (digadaikan) yang dijadikan agunan atas sesuatu hutang dan akan menjadi hak pemegang bila telah sampai waktu sesuai kesepakatan bersama.
  15. Memekik mengetam tanah, menggulung lengan baju, menyingsingkan kaki seluar (kain) yaitu menantang orang berkelahi. Kalau yang ditantang sederajat, maka hukumannya seekor ayam, segantang beras, dan sebuah kelapa. Kalau pimpinan, maka hukumannya seekor kambing, dan 20 gantang beras untuk dimakan bersama.
  16. Meminang di atas pinang, menawar di atas tawar yaitu meminang tunangan orang lain yang telah diikat perjanjian. Hukumannya menyerahkan seekor kambing dan 20 gantang beras.
  17. Berpagar siang, berkandang malam yaitu apabila kebun atau sawah seseorang dirusak atau dimakan hewan ternak orang lain, maka orang yang memiliki ternak mengganti yang dirusak atau dimakan ternaknya.
  18. Menempuh nan besawa, manjat nan rebak yaitu memasuki tempat-tempat terlarang, seperti rumah, toko, dan kamar yang tidak diizinkan oleh pemiliknya.
  19. Berlarian kawin keluar kampong yaitu kawin lari seperti pergi ke rumah pejabat dalam desa, ke rumah pejabat kecamatan atau luar kecamatan. Hukumannya adalah kawin dan bayar pada saat hajatannya. Kalau istri orang dibayar tebus talak/uang kesayangan dan dinikahkan setelah habis iddah talaknya dan istri itu turun dari rumah tidak membawa harta perhiasan dan harta lainnya.

Aturan adat Orang Rimba memang tegas dan begitu detil untuk hal-hal tertentu. �Penerapan hukuman tidak boleh menyimpang dari apa yang telah dijalani oleh leluhur. Jangan sampai orang salahnya ringan menjadi salah berat karena tidak teliti dalam menjatuhkan hukuman,� ungkap Tumenggung Betaring usai menjelaskan perihal aturan adat.

Sementara mengenai struktur lembaga adat, Suku Anak Rimba mengenal hierarki yang terdiri dari tiga lapis, yaitu paling tinggi adalah Jenang, di bawahnya adalah Tumenggung, dan pada level di bawah Jenang dan Tumenggung terdapat Depati, Menti, Tengganai, Anak Dalam, dan Debalang.

Jenang adalah adalah orang yang dipercaya Orang Rimba sebagai penghubung dengan orang luar. Jenang ditunjuk oleh mereka melalui kesepakatan para penghulu. Secara struktural, Jenang berada pada struktur tertinggi, tapi hanya untuk urusan eksternal. Sementara urusan ke dalam, Tumenggung-lah yang memegang jabatan tertinggi. Jenang tidak berhak mengambil keputusan tanpa persetujuan Tumenggung. Sedangkan perangkat adat lain di bawah Tumenggung, ada Depati yang memegang jabatan sebagai kepala kampung dan berhak memutuskan perkara, sehingga jika terjadi persoalan, tidak bisa langsung ke Tumenggung. Selain Depati, ada Tengganai yang bertugas untuk menghitung tamu yang masuk, mengurus Orang Rimba ketika ada yang melahirkan, sakit, dan meninggal; Anak Dalam bertugas mengurus masalah kepemudaan; Mangku untuk hal-hal khusus terkait adat; dan Debalang Batin bertugas sebagai pengamanan.

Kini struktur lembaga Suku Anak Rimba telah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Alasan dari perubahan ini adalah karena Tumenggung yang ada di Air Hitam sudah tidak bisa lagi menjangkau kelompok lain di Kedasung dan Mengkekal, sehingga Suku Anak Rimba Bukit Duabelas kini memiliki tiga Tumenggung, Depati, Menti, Anak Dalam, dan Mangku. Tetapi pemimpin tertinggi tetap berada di Ketumenggungan Air Hitam. Mekanisme pengambilan keputusan berlandaskan atas musyawarah mufakat antara para penghulu.

Dalam sebuah komunitas masyarakat adat tentunya tidak akan lepas dari ritual. Suku Anak Rimba dikenal dengan adanya ritual mengucap syukur ketika musim buah di mana buah-buahan telah matang dan melimpah. Ritual ini dilakukan setiap tahun di tempat khusus yang bernama Tana Berdewo.

Ketika sakit mereka juga melakukan ritual penyembuhan Besale. Besale dilakukan dengan maksud untuk membersihkan jiwa yang dirasuki roh-roh jahat. Jika ada anggota keluarga pada Suku Anak Rimba yang sakit, mereka meyakini bahwa dewa sedang menurunkan malapetaka. Itulah sebabnya ritual harus diadakan secara khusus untuk memohon ampun kepada dewa agar kesialan yang ada pada diri seseorang dibuang.

Sementara untuk perkawinan, juga memiliki ritual sendiri yang diisi dengan tari-tarian. Tarian Orang rimba dinamakan Tari Elang. Biasanya tarian ini diperagakan pula untuk menyambut tamu kehormatan.

Orang Rimba tidak mengubur orang yang mati ke dalam tanah. Mereka membuatkan rumah di atas pohon yang disebut Rumah Pesagon. Setiap tahun tempat penyimpanan jasad ini dikunjungi oleh keluarga. Namun dengan adanya beberapa kepala keluarga yang membuka diri dan berinteraksi dengan orang luar serta memeluk agama monoteisme, seperti Islam dan Kristen, maka tradisi menyimpan anggota keluarga yang telah mati di atas pohon sudah hampir tidak lagi dilakukan.

-Ali Syamsul-

Sumber : kelembagaan-dan-hukum-adat