Masyarakat Adat Nua Nea: Perbincangan di Teluk Ambon (I)
15 February 2016Jumat, 27 November 2015. Hari itu, saya merenungkan sesuatu sambil melihat sayap pesawat yang membawa saya menuju langit Pattimura dari tanah lampau Batavia dengan terik matahari yang menyengat di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Di atas ketinggian udara ini, terlintas di benak saya tentang alasan untuk apa kita terlahir? Tentang asal muasal dan juga hendak ke mana akan menuju. Saya berjalan ke mana arah angin membawa langkah. Memburu perbedaan yang menjadikan Indonesia bersatu dalam keberagaman. Ada satu kepuasan batin ketika melihat senyum anak-anak di pedalaman. Mungkin itu, entahlah mengapa Tuhan membawa saya ke negeri ini. Tak tahu bagaimana kebiasaan mereka, bagaimana cara mereka makan, di mana mereka mandi, bagaimana mereka menyembah sosok yang disebut Tuhan, dan lain-lain.
Beberapa hari yang lalu, 14 pemuda adat Nusantara belajar bersama dalam kegiatan pendokumentasian jejak sejarah leluhur dan menjejaki kawasan Gunung Gede Pangrango. Saya bersama pemuda adat dari Kalimantan Timur terpilih untuk live in di Komunitas Nuaulu di Pulau Seram, Kota Ambon, Maluku Tengah. Sebelum berangkat, tak terbersit sedikit pun untuk mencari tahu tentang komunitas yang tergabung sebagai anggota AMAN ini karena informasi terakhir yang saya dapatkan adalah kami harus sampai ke komunitas terlebih dulu untuk mendapatkan izin dari para tetua adat dan raja di Nuaulu. Bagi saya, ada makna yang menarik untuk mengunjungi tempat yang asing di mana saya tak perlu mencari tahu banyak hal dari internet sebelum pada akhirnya saya tiba dan memulai pencarian sendiri dari hal yang kosong.
Kami tetap meneguhkan hati untuk sampai ke Komunitas Adat Nuaulu.
Mencoba mengurangi insomnia perjalanan, saya memutuskan menonton film karya pemuda Suku Sasak tentang perjalanan seorang perempuan Sasak. Hal itu memberikan saya rindu akan tanah kelahiran sekaligus kisah para perempuan Sasak yang terbungkam.
Tedoq tangis gumi Sasak. Bande jari tutur kate leq semeton jari. Inaq Amaq semeton jari, tiang tunas maaf beleq beleq.
(Terbungkam tangis bumi Sasak Lombok. Memikul beban tetapi menjadi sebuah tutur kata indah kepada sanak saudara. Ibu dan bapak, saya mohon maaf sebesar-besarnya.)
Sebuah film dengan alur cerita tentang perempuan Sasak yang mencoba berbakti kepada orang tua, namun tak lepas juga membahagiakan orang lain di sekitarnya. Saya usap air mata dengan kerudung walau telah sekian kali menonton film ini. Filmnya pun terputus karena 15 menit lagi pesawat akan mendarat.
Saya tempel telapak tangan pada jendela pesawat. Saya gerakkan ke sana kemari telunjuk sambil melihat gumpalan awan. Sontak saya terkejut melihat awan yang seolah-olah memberi pesan. Percaya atau tidak, itu nyata. Jelas sekali awan itu terlihat seperti orang-orang yang sedang berkumpul. Laki-laki bersama seorang perempuan� saling berhadapan dan laki-laki dengan ikat kepala bersama banyak pasukan di belakangnya.
Puku 18.45 Wit, kami mendarat di Bandara Pattimura Ambon, lalu melanjutkan perjalanan menuju Kota Ambon dengan satu jam jarak tempuh mengitari Teluk Ambon yang dihiasi kilau lampu-lampu dari rumah masyarakat dengan tata ruang perumahan yang menumpuk hingga ke atas bukit.
Di tengah perjalanan, saya berbincang-bincang dengan sopir taksi Avanza. Banyak pertanyaan yang saya layangkan kepadanya. Seperti tentang morea, - belut raksasa yang terkenal itu - destinasi wisata, hingga kuliner di Ambon. Sampai pada akhirnya ia mempertanyakan maksud dan tujuan kami datang ke Ambon. Kami bilang bahwa kami hanya singgah di Kota Ambon.
Begini Percakapan antara supir dan saya.
Supir��� : Berapa hari Nona di Ambon? Saya���� : Kami hanya singgah di Ambon. Akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Seram. Sopir��� : Memang rencana ke Seram mau ke mana, Nona? Saya���� : Ke Amahai di Nua Ulu. Sopir��� : (Bapak supir langsung diam.) Saya���� : Bapak ada tahu informasi tentang Nua Ulu �kah? Sopir��� : Kalian ada penelitian ya di sana? Saya���� : Kami ada pendokumentasian komunitas (adat). Sopir��� : Ini saya su merinding Nona �e. Saya���� : Kenapa ? Sopir��� : Di sana tampa bunu bunu orang, Kakak. Kapala manusia dipenggal deng taru depan de pu rumah. Saya���� : Lalu ? Sopir��� : Kakak berani sakali �e ke sana! Seng takut �kah itu kapala dipenggal, balum lae di sana orang-orang seng pu agama �e.
Saya bertanya cukup di dalam hati. Benarkah hal seperti itu masih ada di Indonesia. Dan saya pun tersenyum saja sambil memotret Teluk Ambon sambil meyakinkan diri bahwa tujuan kami datang adalah sebagai saudara, bukan untuk terbunuh oleh pikiran negatif� tentang mereka.
Setiap orang adalah guru. Setiap tempat akan berkesan jika kau mengambil arti di dalamnya. Setiap tempat akan berkesan jika kau memberi arti pada mereka.
Semua tempat adalah sekolah. Semua tempat adalah belajar. Semua pengalaman adalah ilmu. Sumber : perbincangan-di-teluk-ambon-i