Betang Ensaid Panjang: Rumah Pengetahuan Leluhur Terakhir yang Terancam Hilang
21 November 2024 Rikson KarundengOleh Rikson Karundeng
Sedikit lagi waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB. Sejumlah teruna berkumpul di rumah Hipolitus Januar Pogo. Mereka biasa menyapa akrab salah seorang pengurus AMAN Sintang itu dengan panggilan Bang Pogo. Ia sosok yang selalu mendukung gerakan pemuda adat di sana.
Sebelumnya, mereka sudah bersepakat untuk bersama-sama ke Dusun Rentap Selatan, Desa Ensaid Panjang, Kecamatan Kelam Permai, Sintang, Kalimantan Barat pada Minggu, 15 Januari 2023. Tujuan mereka adalah menjumpai Masyarakat Adat yang mendiami Rumah Betang, rumah adat Masyarakat Adat Dayak.
Natalia Kori meminta sahabat-sahabatnya bergegas. Pada jam satu siang, empat pemuda adat meninggalkan basecamp yang biasa jadi tempat berkumpul di Sintang. Timo, Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Sintang, bersama pengurus inti lainnya, yaitu Gusti, Pela, dan Kori, pergi dengan dua motor. Timo berboncengan dengan Kori dan Gusti bersama Pela. Dua lelaki berboncengan dengan dua sahabat perempuan.
Sepanjang jalan, ada resah yang berkecamuk. Mereka tak ingin satu-satunya Rumah Betang di Sintang itu, dibongkar karena bantuan pemerintah.
“Sungguh menyedihkan,” gumam Kori dalam hati. “Rumah tempat menyimpan pengetahuan kami harus hilang hanya karena bantuan pemerintah. Ini bukan bantuan, tapi penghilangan pengetahuan leluhur yang sangat penting, terutama bagi kami, generasi muda Dayak.”
Ia dan sahabat-sahabatnya bermaksud ingin melihat lagi aktivitas masyarakat di sana untuk mengetahui perkembangan terakhir kebijakan pemerintah dan sikap warga: apakah itu masih akan tetap di sana atau dipindahkan. Pemuda adat di Sintang bersepakat mendukung Masyarakat Adat agar itu tetap tinggal karena rumah adat tersebut menyimpan berbagai kearifan lokal.
Anak-anak adat di Sintang memang sudah sering berkunjung ke Rumah Betang Ensaid Panjang, termasuk Kori yang sudah beberapa kali datang untuk belajar berbagai warisan pengetahuan leluhur, seperti menenun dan menganyam. Di sana, ia melihat langsung bagaimana Masyarakat Adat – laki-laki dan perempuan maupun tua dan muda – berladang bersama. Begitu pun dengan para ibu yang menenun dan bapak yang menganyam. Anak-anak muda belajar dari dekat keterampilan itu dari para orang tua.
Kunjungan para pemuda adat ke Rumah Betang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Menikmati Kehangatan Rumah Betang
Satu jam memacu kendaraan sejauh kurang lebih 45 kilometer, Rumah Betang Ensaid Panjang sudah bisa terlihat. Bukit Rentap yang gagah seolah mengawasi pemukiman itu dari dekat. Jaraknya juga tak jauh dari Bukit Kelam, bukit monolit satu-satunya di dunia yang sungguh mengagumkan.
Usai memarkir sepeda motor, Kori dan sahabat-sahabatnya langsung menuju rumah dengan ukuran panjang 116 meter dan lebar 18 meter. Kayu-kayu setinggi hampir dua meter, menopang bangunan kayu yang semuanya dari alam.
Ada 28 pintu yang membagi 28 bilik rumah yang terlihat jelas dari depan. Para leluhur Masyarakat Adat Dayak, membangun rumah seperti itu bukan sekadar untuk melindungi penghuninya dari binatang buas atau berbagai bentuk ancaman. Ada pesan penting yang diwariskan untuk generasi selanjutnya: berbeda bukan penghalang. Mereka harus tetap hidup rukun dan damai, saling jaga persatuan, dan musyawarah untuk menghadapi segala hal.
Tangga dengan ukiran khas akan menyambut setiap tamu yang datang. Ruai (ruang bersama tanpa sekat yang memanjang dari ujung ke ujung) berada paling depan. Tampak ibu-ibu sedang menenun di area itu. Ada juga bapak-bapak yang tengah meraut.
Tempat itu terkenal dengan produksi berbagai jenis anyaman dan kain tenun. Ibu-ibu menghasilkan tenun ikat dan bapak-bapak biasa membuat bubu serta menganyam tikar dan beragam produk kerajinan lain.
Sebelum memasuki bilik baruah (ruang khusus dari tiap keluarga) semua akan melewati telok yang lantainya lebih rendah. Setelah melewati pintu, di dalam akan terlihat bilik serambi yang digunakan untuk tidur dan paling belakang ada bilik tingkat yang berfungsi sebagai dapur. Setiap bilik dipisahkan oleh lembaran papan yang tersusun rapi.
Rumah betang itu dihuni oleh 32 kepala keluarga. Ramai, tapi hangat. Setiap pintu tertulis nama kepala keluarganya. Jadi, jika berkunjung, mudah mengenali tempat dan siapa penghuninya. Mereka akan menyapa siapa pun yang datang, bahkan membuka pintu rumah dan hati mereka jika ada yang hendak menginap.
Warga Tolak Renovasi Rumah Betang
Tujuan utama Kori dan sahabat-sahabatnya, adalah untuk mengetahui perkembangan terakhir kebijakan pemerintah dan sikap warga terkini. Karena itu, mereka lebih dahulu mencari kepala dusun.
“Warga di sini sepakat untuk tetap tinggal. Kami tidak mau dipindahkan,” kata Ricardo Sembay, Kepala Dusun Rentap Selatan.
Kori dan pengurus inti BPAN Sintang merasa sedikit lega saat mendengar ucapan itu.
Pemerintah diketahui bermaksud merenovasi Rumah Betang mereka dengan cara memindahkan ke rumah petak, di mana hanya ada satu kepala keluarga di dalam satu rumah. Tapi, warga menolak, apalagi rumah yang akan dibangun tidak akan cukup untuk mereka. Ukurannya kecil.
“Ada pikiran, ini Rumah Betang satu-satunya yang ada di Kabupaten Sintang. Mereka sudah bertahun-tahun menempati Rumah Betang ini. Kehidupan mereka juga dianggap sudah cukup di tempat ini,” kata Kori.
Potret Rumah Betang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Menurut anggota Dewan Pemuda Adat Nusantara Region Kalimantan itu, alasan prinsip mengapa warga ingin tetap bertahan, adalah karena adat istiadat. Rumah Betang adalah rumah turun-temurun, di mana adat istiadat diwariskan dan dipelihara.
“Jika mereka pindah, otomatis suasana akan berubah. Adat dan aturan hidup bersama di Rumah Betang, pasti akan hilang. Tradisi yang biasa diberlakukan secara bersama dan tanggung jawab bersama di kampung, akan terancam hilang,” tegasnya.
Usai menerima kabar baik, Kori dan sahabat-sahabatnya mulai bertanya tentang kondisi kehidupan masyarakat ke kepala dusun tersebut. Mereka juga ingin mengetahui persoalan-persoalan lain yang sedang dihadapi.
“Sekarang ‘kan lagi musim berladang. Jadi, kita ingin tahu sejauh mana kondisi ladangnya, kondisi padinya, apa kesulitan saat berladang, aktivitas mereka kini apa saja,” jelas Kori.
Dari situ, mereka yakin bahwa masyarakat masih tetap baik-baik saja. Tak ada masalah dengan ladang, aktivitas berlangsung seperti biasa. Hanya saja, ada masa tanam yang bergeser. Biasanya, Januari mereka sudah panen, tapi kini ada yang belum panen dan masih harus bersih-bersih ladang.
“Agak telat karena perubahan iklim. Buah-buahan juga tidak menentu karena dampak perubahan iklim saat ini. Tapi, intinya, mereka baik-baik saja. Malah dari menenun mereka bisa meraup keuntungan yang cukup lumayan untuk menghidupi keluarga,” ungkap Kori.
Belajar Menenun dari Para Ibu
Usai mendengar keluh-kesah penghuni Rumah Betang Ensaid Panjang soal rencana renovasi dan pembongkaran tempat tinggal mereka, Kori dan sahabat-sahabatnya pun berkeliling untuk belajar tetang berbagai hal di tempat itu. Kori memilih untuk belajar menenun.
“Saat jalan, bertemu ibu-ibu, tanya-tanya, bahkan coba belajar langsung. Mereka mengajarkan bagaimana menenun, mengikat juga. Ternyata, itu pakai hitungan hingga menghasilkan motif,” ucap Kori dengan riang.
Untuk menghasilkan beragam motif yang indah, benang harus dihitung jumlahnya dan diikat dengan tali. Itu juga kemudian mengapa disebut tenun ikat. Kemudian, benang yang telah diikat, dicelupkan pada pewarna kain selama kurang lebih satu jam.
Kori kemudian paham, menenun tenun ikat tidak semudah yang terlihat. Ibu-ibu terlihat santai sebab sudah melakoni aktivitas itu sejak lama. Mereka mewarisinya dari para tetua, belajar sejak kecil, dan mempraktikkannya secara langsung.
“Awalnya aku melihat ibu yang dengan mudah dan santainya. Mereka melakukan proses tenun dengan cara tarik ulur benang, angkat, masukan papan sebagai pengapit. Eh, setelah aku coba, ternyata papan yang digunakan lumayan berat. Terus, benang yang digunakan banyak sekali. Salah sedikit memasukkan papan untuk mengapit benang, bisa berdampak fatal. Kata ibunya, tidak boleh salah. Kalau ada yang salah, nanti harus ulang lagi dari awal. Wah, ribet dan sulit ternyata,” kata Kori.
Sebuah pekerjaan yang terlihat hanya dilakukan sambil duduk dan mengandalkan gerakan tangan, tapi ternyata mempunyai tingkat kesulitan yang tinggi bagi mereka yang tidak biasa mengerjakannya. Sangat dibutuhkan ketelitian mata dan konsentrasi untuk setiap proses pengerjaannya.
“Butuh waktu berminggu-minggu untuk menyelesaikan satu kain tenun. Maka dari itu, wajar jika harga jualnya mahal. Jadi, kalau kita berkunjung dan hendak membelinya, jangan ditawar, ya! Ditambah lagi, kain tenun di sini mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Setiap motif memiliki arti dan makna,” ungkap Kori.
Tenun ikat dari Suku Dayak Rumah Betang Ensaid Panjang sering dibuat dalam bentuk syal dan kumbu (selimut). Orang biasa mengenal produk mereka dengan nama Tenun Ikat Sintang.
Motif-motifnya pun khas. Ada motif pucuk rebung (bambu muda). Ada motif lingkar kubu yang bentuknya seperti pakis.
“Motif-motif alam pokoknya. Motif-motif ini sudah biasa mereka kerjakan karena sudah dilakukan sejak lama dan diwariskan turun-temurun. Itu ciri khas kain tenun mereka,” terang Kori.
Di Sintang, kini hanya ada dua kampung yang masyarakatnya masih menenun. Dua-duanya penghasil tenun ikat, salah satunya di Rumah Betang Ensaid Panjang.
Belajar menenun di Rumah Betang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Komitmen Pemuda Adat
Sore segera beradu bersama malam. Kori dan sahabat-sahabatnya harus kembali ke rumah masing-masing. Kabar baik telah dikantongi, namun gelisah masih tetap berkecamuk. Mereka ingin mendapat kepastian bahwa pemerintah tak membongkar “rumah pengetahuan” itu.
”Kegelisahan kami, kami tidak mau Rumah Betang dipindah atau dibongkar. Kalau pemerintah mau memberikan bantuan, bangun saja Rumah Betang yang baru. Jangan rusak Rumah Betang itu! Bagaimanapun, itu satu-satunya Rumah Betang yang masih asli. Dari dinding, tiang, semuanya masih utuh seperti sediakala ketika dibangun,” kata Kori.
Para pemuda adat Sintang yakin jika Rumah Betang Ensaid Panjang hilang, masyarakat akan beranjak dari situ, budaya mereka, kebudayaan khas Sintang juga akan hilang.
“Tradisi dan pengetahuan kami tersimpan di Rumah Betang ini. Cara hidup yang merupakan tradisi turun-temurun Sintang, ada di sini. Kalau mereka tinggal terpisah, pasti tidak lagi akan hidup bersama sebagai masyarakat komunal,” tandasnya.
Kori mengisahkan kalau di Rumah Betang Ensaid Panjang, mereka sempat menemui dan mendengar keluh seorang ibu lanjut usia. Ia dengan tegas menolak rumah mereka dibongkar.
“Ia sudah tinggal sendiri. Anak dan cucunya sudah berkeluarga dan tidak bersamanya. Kalau dia disuruh pindah ke rumah yang satu buah itu, ia akan sendiri. Tak ada teman. Kalau di Rumah Betang, tinggal buka pintu, keluar, ada banyak saudara di situ. Ia pasti tidak akan merasa kesepian karena rasa kekeluargaan di tempat itu telah membuatnya damai dan tak pernah merasa kesepian,” tutur Kori.
Para pemuda di Dusun Rentap Selatan juga memiliki keyakinan yang sama dengan pemuda adat lain di Sintang. Jika Rumah Betang hilang, hilanglah tradisi, hilanglah pengetahuan. Misalnya, tradisi dan aturan-aturan adat yang harus selalu dipegang, tidak boleh dilanggar di Rumah Betang. Kalau hilang, otomatis aturan yang menyimpan nilai hidup itu, akan hilang.
“Misalnya, pengunjung yang datang dari pintu kiri, dia tak bisa langsung turun di pintu kanan. Itu melanggar aturan. Itu etika, sopan santun, kata orang tua. Itu dianggap tidak bagus kalau tidak mau singgah walau sejenak dan bertegur sapa. Rumah ini mau mengajarkan setiap orang untuk bisa berkomunikasi dengan baik, membangun hubungan yang baik dengan siapa pun,” terang Kori.
Pengetahuan dan tradisi di Rumah Betang, sangat kaya. Anak muda yang tidak tahu apa-apa tentang tradisi Dayak, belum tahu tentang bagaimana menenun, bagaimana menganyam, bagaimana filosofi hidup yang tersimpan dalam kerajinan dan praktik hidup leluhur Dayak itu, menjadikan Rumah Betang Ensaid Panjang sebagai tempat belajar.
“Seperti anak-anak sekarang, banyak yang tak bisa menganyam, tidak bisa menenun, kita datang ke Rumah Betang ini, bisa langsung belajar dari ahlinya. Dahulu, itu tradisi pengetahuan yang umum bagi Masyarakat Adat Dayak di Sintang, tapi sudah mulai hilang. Yang tertinggal hanya di tempat ini. Mereka masih bisa menjaganya,” ujar Kori.
Sintang dihuni oleh beragam Suku Dayak. Kori misalnya, ia berasal dari Dayak Lebang. Saudara-saudaranya di Rumah Betang Ensaid Panjang, Dayak D’sah. Mereka beda, tapi masih satu rumpun Dayak Ibanik.
Walau berbeda, mereka memiliki keyakinan yang sama. Rumah Betang Ensaid Panjang adalah harapan bagi anak-anak Dayak untuk belajar tentang tradisi, budaya, filosofi, dan nilai hidup yang diwariskan para leluhur. Bukan hanya mereka yang tinggal di tempat itu, tapi juga anak-anak Dayak lain di Sintang.
“Rumah Betang ini adalah harapan besar kami. Kami sudah berkumpul bersama para pemuda adat di Sintang, kami sama-sama mendorong agar komunitas ini bisa tetap tinggal di sana. Satu-satunya Rumah Betang, ikon kita, tempat anak-anak Dayak bisa belajar mengenal jati diri Dayak Sintang,” tegas Kori.
Anak-anak muda Sintang sepakat akan tetap berkomitmen untuk menjaga agar Rumah Betang Ensaid Panjang bisa tetap berdiri. Berbagai upaya dilakukan untuk tetap memotivasi warga agar tetap tinggal di situ. Banyak pihak yang turut mendukung mereka.
“Harapannya, kita bisa tetap konsisten. Karena, bagaimanapun tempat belajar paling nyaman untuk kita anak-anak muda, ya di sini. Banyak anak kota kalau libur juga ke sini untuk belajar banyak hal. Pengetahuan yang tidak didapatkan di sekolah, bisa didapatkan di sini,” ucap Kori penuh asa.
***
Penulis adalah jurnalis Masyarakat Adat dari Minahasa, Sulawesi Utara.