Oleh Risnan Ambarita, Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak

Sejarah seperti cermin. Dari sebuah peristiwa yang terjadi, disusul peristiwa lain, dan terus berulang, lalu muncul sebuah kebudayaan. Ini kemudian membentuk sebuah karakter dari sekelompok orang yang terlibat dalam peristwa tersebut. Pada perjalanan waktu, hal ini dilanjutkan oleh generasi berikutnya, meski prakteknya tidak sama karena pergeseran pada proses kebudayaan itu sendiri.

Filosifis. Begitu Mangitua Ambarita, tetua adat di Sihaporas bercerita. Saya hanya diam mendengarkan, menganggut, sembari mencerna ucapan tetua yang tak mudah itu. Tapi, ucapannya benar-benar dalam.

Ia dan para leluhur telah mempersembahkan pada generasi, satu sejarah dan kebudayaan yang besar. Saya yakin ia melakukan itu atas nama cinta dan kepeduliannya pada budaya leluhur dan memastikan itu terwariskan pada saya dan orang-orang muda lainnya. Dan pada sekian tahun kemudian, di tempat yang sama, mungkin saya akan menjadi seperti Mangitua Ambariza. Duduk bercerita pada generasi penerus saya.

***

Masyarakat Adat Sihaporas merupakan suku Batak Toba yang bertempat di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara.

Masyarakat Adat Sihaporas yang terus menerus mewarisi ingatan leluhur. Ingatan yang diwariskan ini teraplikasi dalam praktek hidup sehari hari. Ingatan itu bisa kita lihat dalam falsafah hidup masyarakat adat batak. “Mardebata, maradat, maruhum, marpatik, martarombo, marpanghirimon, marpinompar’’ yang artinya bertuhan, beradat, bertitah, bertutur, berpengharapan, berketurunan.

Salah satu falsafah di atas, Mardebata mempunyai arti memiliki kepercayaan kepada Tuhan pencipta alam semesta atau disebut dalam bahasa batak Debata Mulajadi Nabolon. Sebelum agama dari luar masuk ke tanah Batak, Debata Mulajadi Nabolon, dia lah awal dan akhir yang menciptakan segala isi semesta. Oleh karena itu, Masyarakat Adat bBatak memperlihatkan hubungan yang dalam dan dekat kepada Sang Maha Pencipta.

Selain falsafah, dalam Masyarakat Adat Batak dikenal sebutan tona dan poda yang artinya pesan dan amanat, diberikan oleh leluhur sebagai pegangan yang dengan sendirinya menjadi identitas.

Dituturkan oleh tetua adat Mangitua Ambarita, salah satu keturunan ke delapan dari Ompu Mamontang Laut Ambarita, ia menceritakan sejarah asal mula desa sihaporas dalam sejarah singkat leluhur Masyarakat Adat Sihaporas, “Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas’’ yang berasal dari desa Ambarita, Kabupaten Samosir, generasi ke-9 dari sisilah Si Raja Batak.

Sekitar Tahun 1800-an ia merantau menyebrangi Danau Toba dari Pulau Samosir, menumpang Solu Bulung Sukkit (daun kecil mirip bentuk perahu) menuju ke arah tenggara, tepatnya di Desa Dolok Mauli. Kemudian dia pergi ke atas bukit dan ingin membuka kampung di dataran tersebut. Dalam perjalanan itu, pertama kali ia menemukan dua ekor ikan endemic, yaitu dekke sibahut (ikan lele) dan dekke haporas (ikan haporas/pora-pora). Hal itulah yang membuat dia memutuskan untuk menjadikan nama tempat pemukiman itu menjadi Desa/Huta Sihaporas.

Semasa hidupnya, Ompu Mamontang Laut Ambarita sebagai Tuan Sihaporas menyepakati “padan” atau sumpah untuk kesepakatan batas tanah dengan tiga raja di Simalungun, yakni Raja Siantar Marga Manik, Tuan Sipolha Marga Manik, dan Tuan Tanah Jawa Marga Sinaga.

Alkisah, satu peristiwa ajaib terjadi saat pertemuan empat raja berlangsung untuk menentukan batas-batas wilayah. Peristiwa Ajaib itu adalah legenda saat raja atau tuan berdoa kepada Debata Mulajadi Nabolon, seekor kerbau mengeras, berubah menjadi batu, lalu patah menjadi dua bagian. Kemudian dinamai dengan batu Sidua-Dua, sekaligus dijadikan perbatasan wilayah Tuan Tanah Jawa dan Tuan Sihaporas.

Sekitar tahun 1913, penjajah Belanda meminjam tanah dari generasi kelima dari wilayah adat Sihaporas warisan Ompu Mamontang Laut Ambarita, yang teridiri atas hamparan tanah sekitar 2.049 hektar. Hal ini dikuatkan oleh peta Enclave Belanda yang terbit tahun 1916. Bentang wilayah adat Sihaporas terdapat dengan tiga nama yakni: Sihaporas, Sihaporas Bolon, dan Sihaporas Negeri Dolok. Sampai dengan saat ini, keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita sudah mencapai 12 generasi secara turun temurun di Desa Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Ritual Masyarakat Adat Sihaporas

Tujuh Ritual Adat

Selain warisan wilayah adat, Ompu Mamontang Laut Ambarita juga mewariskan tujuh ritual adat yang harus dilaksanakan oleh keturunannya di Huta Sihaporas. Ragam ritual itu merupakan cara komunitas Masyarakat Adat Sihaporas menghormati dan merawat keterikatan dengan Debata Mulajadi Nabolon, dengan leluhur, dan dengan para mahluk penguhuni yang terlihat maupun tidak terlihat.

Patarias Debata Mulajadi Nabolon adalah ritual pertama dari tujuh ritual yang diwariskan. Ini adalah pesta adat untuk memuji, memuliakan, dan menyampaikan persembahan kepada Sang Pencipta. Dengan diiringi musik tradisional gondang selama tiga hari dua malam, ritual ini digelar setiap empat tahun sekali.

Ritual kedua adalah Raga-raga Na Bolak Parsilaonan. Ini adalah ritual doa permohonan dan persembahan kepada leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita, dengan diiringi musik tradisional gondang, ritual ini juga digelar setiap empat tahun sekali.

Ritual ketiga adalah Mombang Boru Sipitu Suddut. Ini adalah ritual dia permohonan dan persembahan kepada Raja Uti dan Raja Sisingamangaraja. Ritual ini digelar selama satu hari tanpa diiringi gondang.

Ritual keempat adalah Manganjab. Ritual doa ini dilakukan untuk memohon kesuburan dan keberhasilan dalam usaha bertani, sekaligus memohon agar dijauhkan dari segala macam hama dan penyakit pada tanaman. Ritual ini diselenggarakan di ladang (perhumaan) sekali setiap tahun.

Ritual kelima adalah Ulaon Habonaran i Partukkoan. Ritual doa melalui leluhur atau habonaran dan Raja Sisingamangaraja ini digelar dengan tujuan untuk menjauhkan kampung dari segala macam mara bahaya dan penyakit.

Ritual keenam adalah Pangulu Balang Parorot. Ritual ini dilakukan untuk berdoa kepada Sang Pencipta Alam melalui penjaga kampung dan hadatuaon supaya penduduk kampung diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala bala.

Dan ritual ketujuh adalah Manjuluk. Ritual doa yang diselenggarakan sesaat sebelum mulai menanam ini dilakukan di gubuk atau ladang secara rutin.

Ketujuh ritual adat tersebut merupakan tradisi warisan yang tidak bisa terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari Masyarakat Adat Sihaporas, tetua adat Mangitua Ambarita mengatakan bahwa tradisi leluhur adalah identitas yang akan diwariskan secara turun-temurun ke generasi berikutnya. Oleh karena itu Masyarakat Adat Sihaporas tetap melaksanakan ritual adat sesuai dengan waktu yang ditentukan setiap tahunnya.

Perjuangan Sihaporas Melawan PT Toba Pulp Lestari

Kisah, sejarah, dan warisan leluhur di Sihaporas perlahan mulai terkikis dan teramcam sejak kehadiran PT Toba Pulp Lestari (PT TPL). Hutan adat mulai rusak, padahal hutan adat telah menjadi bagian dari kehidupan Masyarakat Adat Sihaporas. Menjadi sumber kebutuhan hidup dan ritual adat, sumber air minum rusak karena terkontaminasi pestisida perusahaan, Masyarakat Adat Sihaporas kehilangan wilayah adatnya, dan mengalami kriminalisasi dan intimidasi.

Bukan waktu yang sebentar bagi Masyarakat Adat Sihaporas untuk berjuang mempertahankan wilayah adatnya. Sejak tahun 1998 sampai saat ini, atau 25 tahun lamanya. Selama perjuangan sudah memakan lima orang korban Masyarakat Adat yang dipenjara oleh PT TPL karena bertani di tanahnya sendiri. Tak ada penyelesaian dari pihak pemerintah.

Thomson Ambarita salah satu warga adat yang telah dipenjarakan akibat mempertahankan tanah adat, tak pernah berhenti memperjuangkan tanah warisan leluhurnya. “Warisan leluhur akan tetap diperjuangkan sampai kapan pun karena wilayah adat yang dirampas sangat berperan penting sebagai ruang hidup Masyarakat Adat Sihaporas dan keberlanjutan ritual yang di wariskan oleh leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita,” ujarnya.

Saat ini sekitar 1.500 hektar wilayah adat Sihaporas masuk di dalam konsesi PT TPL. Di atas luas hamparan tersebut merupakan merupakan tempat tumbuhnya berbagai tanaman herbal untuk keperluan ritual adat.

Peran pemuda adat juga sangat aktif dalam perjuangan melawan PT TPL. Hitman Ambarita, Ketua Pengurus Kampung Sihaporas Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) mengatakan selama ini sudah banyak kerusakan yang dilakukan perusahaaan terhadap wilayah adat Sihaporas.

“Merampas wilayah adat kami, mengkriminalisasi orang tua kami. Kami selaku keturunan leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita akan tetap menjaga dan melestarikan wilayah adat warisan leluhur, termasuk kelestarian alam dan kelangsungan tradisi yang akan kami lanjutkan nantinya,” kata Hitman.

Opung Rosna Boru Bakkara, perempuan adat yang sudah berusia sekitar 75 tahun, mengalami kehidupan di Sihaporas sebelum perusahaan datang merampas wilayah adat. Ia menceritakan kehidupan Masyarakat Adat sangat sejahtera. Masih banyak pohon pohon yang berbuah untuk menjadi makanan hewan, tanaman endemik masih lestari, dan untuk ramuan ritual juga masih mudah didapatkan.

Potret Perempuan Adat Sihaporas

Opung berkisah, pada masa lalu, Masyarakat Adat Sihaporas tidak susah untuk Bertani. Tanah Sihaporas masih subur tanpa menggunakan pupuk kimia dan kompos sama sekali, hanya mengandalkan humus hutan tetapi sudah menghasilkan panen yang melimpah.

Selain bertani, pencaharian Masyarakat Adat Sihaporas sebagian dari hutan. Para lelaki akan pergi ke hutan untuk mencari rotan, dianyam dijadikan keranjang. Bambu diolah untuk dijadikan tampi, dan kayu pilihan dijadikan gagang cangkul untuk dijual kepasar. Sedangkan para perempuan akan menganyam dengan bahan bayon untuk dijadikan tikar dan tas rajut (Sihombal) dan tandok. Kini, semua ketersediaan bahan baku tersebut sudah hampir punah bahkan sudah sulit ditemukan di hutan. Tanah mulai tandus, bertani pun semakin sulit karena, air kotor. Dan entah apa lagi dampaknya di waktu mendatang ketika aktivitas PT TPL terus menerus dilakukan di wilayah adat Sihaporas.

Jonny ambarita salah satu anggota Masyarakat Adat Sihaporas menjelaskan hingga saat ini Masyarakat Adat Sihaporas terus mempertahankan wilayah adat sebagai bentuk perlawanan. Merehabilitasi wilayah adat dengan menanami berbagai jenis tanaman pohon. Aren, Durian, Kemiri, Alpukat, Nangka, Jengkol, Petai, dll. Juga tanaman pangan dan bertani untuk meningkatkan perekonomian. Jagung, padi, ubi, cabai, jah, tomat, sayur-sayuran, dll.

Di tengah kerasnya perjuangan selama bertahun, Masyarakat Adat Sihaporas masih menyisakan harapan tentang tanah yang kembali subur dan hutan yang kembali hijau. Demi masa depan Masyarakat Adat, demi generasi yang akan datang, dan demi keselamatan ekosistem.

***

Pembangunan gubuk untuk tempat musyawarah adat

Jonny mendirikan sebuah gubuk di satu titik wilayah adat yang merupakan titik lokasi bekas perkampungan leluhur Buntu Pangaturan Sihaporas. Sebagaimana sejarah yang ia terima secara turun temurun, perkampungan Buntu Pangaturan merupakan salah satu tempat bersejarah Ompu Mamontang Laut Ambarita untuk pertemuan sekaligus tempat bermuyawarah bersama Raja Siantar dan Tuan Sipolha, Tuan Gorak dan Tuan Tanah Jawa di Simalungun.

“Sampai kapan pun, tanah warisan ini akan kami pertahankan demi kelangsungan hidup kami dan demi keberlanjutan tradisi yang diwariskan oleh leluhur Ompu Mamontang Laut Ambarita,” kata Jonny.