PERNYATAAN SIKAP ALIANSI MASYARAKAT ADAT NUSANTARA (AMAN) RAKERNAS AMAN IV

     Nuwaning Ton Newilik Mam Sok Mam Waning Nan
(Dahulukan Perlindungan Hak Konstitusional Masyarakat Adat Sebelum Hukum Ditegakkan)

Pada tanggal 18 hingga 19 Maret 2015, telah dilakukan Rapat Kerja Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (RAKERNAS AMAN) ke-IV yang dihadiri oleh lebih dari 350 peserta dan peninjau terdiri dari unsur Pengurus Besar, Pengurus Wilayah, Pengurus Daerah, Pimpinan Organisasi Sayap, Badan-badan Otonom, Unit-Unit Kerja Khusus AMAN, dan undangan lainnya.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Pengurus Daerah AMAN Sorong Malamoi, Lembaga Masyarakat Adat Malamoi, dan seluruh masyarakat adat di Bumi Malamoi Sorong Papua Barat, serta dukungan Pemerintah Kabupaten dan Kota Sorong, dan Pemerintah Provinsi Papua Barat atas kesediaannya menjadi tuan rumah, dan secara keseluruhan telah ikut membantu kelancaran proses pelaksanaan RAKERNAS AMAN ke-IV ini.

Kami mencatat bahwa selama periode 2013 – 2015 perjalanan perjuangan gerakan masyarakat adat se-Nusantara yang diwadahi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan anggota sebanyak 2.244 komunitas adat tersebar dan terkonsolidasikan melalui struktur kerja Pengurus Besar, 21 Pengurus Wilayah, 107 Pengurus Daerah, 3 Organisasi Sayap, dan 3 Badan Otonom, telah diwarnai dengan berbagai peristiwa penting yang berpengaruh pada pencapaian tujuan dan cita-cita organisasi dan gerakan AMAN.

Sepanjang tahun 2013, peristiwa yang patut dicatat diantaranya lahir Nota Kesepakatan Bersama (NKB) 12 Kementerian/ Lembaga tanggal 12 Maret 2013 terkait percepatan pengukuhan kawasan hutan Indonesia yang diprakarsai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi sebagai hutan negara tetapi hutan yang berada di wilayah adat.

Memasuki tahun 2014, AMAN menandai ini sebagai tahun politik mulai dengan partisipasi politik AMAN dalam mendukung 181 calon legislatif masyarakat adat yang tersebar di wilayah dan daerah, hingga membangun komitmen politik pemenangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 2014. Di tahun yang sama ini pula Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menginisiasi suatu program nasional penyelidikan secara menyeluruh dan sistematis terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang disebut dengan “National Inquiry” dengan mengambil tema “Pelanggaran terhadap Hak-hak Masyarakat Adat di Kawasan Hutan”. Terkait dengan tanggungjawab Negara (Pemerintah) dalam memberikan perlindungan masyarakat adat adalah lahir UU Desa yang mengakomodir pembentukan Desa Adat; ditetapkannya Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Selanjutnya peluang penyelesaian konflik-konflik kehutanan dan lingkungan hidup mulai terbuka dengan dibentuknya Tim Pengaduan dan Penyelesaian Konflik Lingkungan Hidup dan Kehutanan (TP2LHK) yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada awal tahun 2015, yang melibatkan lembaga/organisasi masyarakat sipil termasuk AMAN ditunjuk sebagai salah satu tim Pengarah melalui keputusan ini. Begitupula dengan inisiatif yang muncul di beberapa Pemerintah Daerah dalam menerbitkan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat baik yang sudah ditetapkan maupun yang sedang berproses pembentukannya.

Terlepas dari capaian-capaian itu, komitmen pemerintah masih dirasa belum sepenuhnya mampu menjalankan amanat konstitusi UUD 1945 dalam mengakui dan melindungi masyarakat adat. Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) terbukti gagal disahkan oleh DPRRI Periode 2009-2014 yang pada periode selanjutnya RUU ini tidak dimasukkan ke dalam daftar RUU Prioritas tahun 2015 dan hanya ditempatkan sebagai salah satu RUU dalam daftar kumulatif terbuka. Selain itu, ditengah dinamika konflik hak masyarakat adat yang terus berlangsung keras di lapangan, Pemerintah justru kembali mengesahkan peraturan yang berpotensi mengkriminalisasi Masyarakat Adat yakni UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Selain dinilai bertentangan dengan pengakuan Negara atas eksistensi dan keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, UU P3H ini juga telah mengabaikan amanat konstitusi mengenai legalitas kawasan hutan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 45/PUU-IX/2011; dan ketentuan larangan atau pemidaan terhadap masyarakat yang hidup berada didalam dan atau sekitar kawasan hutan juga mengingkari Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor: 35/PUU-X/2012.

Atas penetapan UU P3H ini, AMAN tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan telah mengajukan permohonan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan kini tinggal menunggu putusannya. Ironisnya, disaat masih berlangsungnya proses persidangan perkara konstitusi Pengujian UU P3H di MKRI, pihak Pemerintah selaku Termohon dalam perkara ini justru tetap terus melakukan penggusuran dengan berbagai kekuatan terhadap komunitas masyarakat adat yang hidup berada di dalam dan sekitar kawasan hutan. Jelas sekali Pemerintah tidak memahami urgensi uji konstitusionalitas yang terkait dengan penegakan konstitusi sebagai hukum dasar dalam memberikan kepastian dan keadilan bagi setiap warga Negara.

Dua contoh kasus yang muncul selama persidangan Judicial Review UU P3H berlangsung yakni: Pertama, penggusuran 10 rumah milik warga komunitas adat Marga Dawas oleh sekitar 300 personil tim gabungan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan, Dishut, dan Polda pada tanggal 8 Oktober 2014, setelah sebelumnya dilakukan penangkapan terhadap 6 warga komunitas Marga Tungkal Ulu dan Marga Dawas dengan tuduhan merambah kawasan Suaka Margasatwa Dangku; dan Kedua, pembakaran 233 pondok dan pembabatan kebun kopi milik warga komunitas adat Ngkiong Manggarai Timur Prov. Nusa Tenggara Timur oleh tim gabungan BKSDA NTT yang terjadi antara Januari hingga Februari 2015. Kasus kedua ini dilakukan setelah pada Desember 2014 warga komunitas adat Colol (tetangga dekat komunitas Ngkiong) menyampaikan keterangan selaku saksi di muka persidangan perkara konstitusi Uji Materi UU P3H, yang menerangkan bahwa sejak wilayah adat mereka ditetapkan sebagai hutan lindung, sudah 26 orang warga adat Colol ditangkap, 6 orang meninggal dunia dan 27 orang cacat permanen karena ditembak, 51 pondok semi permanen hancur, berikut peralatan pertanian, dan harta benda lainnya ikut dimusnahkan. Dua kasus ini hanya sebagian kecil dari terus meningkatnya angka konflik yang dihadapi masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara.

Situasi demikian menunjukkan bahwa Pemerintah masih bersikap mendua terhadap keberadaan hak masyarakat adat. Di satu sisi, menunjukkan respon positif terhadap tuntutan-tuntutan masyarakat adat melalui beberapa kebijakan dan program aksi, tetapi di sisi lain pemerintah masih melanggengkan kekerasan, pemaksaan, dan diskriminasi terhadap masyarakat adat. Kami berpandangan bahwa Pemerintah masih mewarisi penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, mengesampingkan tanggungjawab utama perlindungan dan jaminan Negara bagi pemajuan hak-hak konstitusional masyarakat adat.

Oleh sebab itu, kami Aliansi Masyarakat Adat Nusantara menyatakan:

1. Mendesak Pemerintah Indonesia dan Partai-Partai Politik untuk mendukung dan menginstruksikan kepada anggota DPR-RI agar memastikan masuknya Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat (RUU PPHMA) ke dalam daftar RUU Prioritas dan disahkan pada tahun 2016, serta mendesak kepada Pelapor Khusus Masyarakat Adat di PBB untuk datang dan mendesak Pemerintah RI untuk segera mengesahkan RUU PPHMA;

2. Mendesak Presiden sebagai kepala pemrintahan negara RI untuk meminta maaf kepada masyarakat adat dan memulai proses rekonsiliasi dengan membebaskan korban kriminalisasi khusus 166 orang yang telah diserahkan kepada sekretaris cabinet serta mendesak Presiden RI untuk segera mengeluarkan Keputusan Presiden tentang Pembentukan Satuan Tugas (SATGAS) Masyarakat Adat, dengan mengutamakan keterwakilan langsung dari masyarakat adat;

3. Mendesak Presiden RI untuk segera merealisasikan 6 (enam) prioritas utama kebijakan perlindungan dan pemajuan hak–hak masyarakat adat yang menjadi komitmen/janji politik dalam visi misi dan program aksi Presiden dan Wakil Presiden RI terpilih;

4. Mahkamah Konstitusi RI untuk mengeluarkan putusan yang berkeadilan, memberikan kepastian dan jaminan perlindungan bagi hak masyarakat adat terhadap permohonan Uji Materill atas UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan) usul dicabut;

5. Mendesak Presiden RI untuk mengeluarkan instruksi kepada TNI dan Polri untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan, pemaksaan, dan tidak melibatkan diri dan/atau menarik personil pengamanan TNI dan Polri dalam konflik hak masyarakat adat terkait tanah, wilayah dan sumberdaya alam di wilayah-wilayah Masyarakat Adat, dan melaksanakan penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku kejahatan di sektor pertanahan ”mafia tanah” dan kehutanan yang merampas hak-hak masyarakat adat, serta secara khusus untuk menghapuskan stigma separatisme OPM di Papua karena terus memicu kekerasan dan konflik di Papua;

6. Mendesak Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat untuk memfasilitasi percepatan terbentuknya AMAN Wilayah dan AMAN Daerah di tanah Papua.

7. Kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota untuk memberikan dukungan penuh dalam pelaksanaan Kongres AMAN tahun 2017 di Kampung Secanggang Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara;

8. Mendesak Pemerintah untuk mengkaji ulang kebijakan pemberian izin usaha yang wewenangnya dimiliki Gubernur/Bupati, mencabut ijin Hak Guna Usaha (HGU), HPH, izin tambang dan kawasan-kawasan industri lainnya serta mencabut peraturan perundang – undangan serta pemberian izin yang merugikan masyarakat adat seperti Pasal 162 UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, yang kesemuanya berada di wilayah adat di nusantara yang melanggar hak dan terus melakukan kekerasan terhadap masyarakat adat, serta mendesak pemerintah untuk menindak atau menghukum pelaku usaha yang masih beroperasi di lapangan meskipun ijinnya sudah dicabut;

9. Mendesak Presiden RI untuk segera mengeluarkan Instruksi Presiden tentang percepatan pengakuan wilayah adat sesuai dengan MK 35.

10. Mendesak Pemerintah Daerah dan Partai-Partai Politik untuk mendukung dan menginstruksikan kepada anggota DPRD agar melaksanakan inisiatif penyusunan Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat;

11. Mendesak Mendagri untuk merevisi pelaksanaan Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, untuk memastikan keterlibatan penuh masyarakat adat.

12. Mendesak Pemerintah untuk menghentikan diskriminasi terhadap penganut kepercayaan/agama leluhur nusantara dan segera membuat kebijakan yang mengakui penganut kepercayaan/agama leluhur nusantara;

13. Mendesak Presiden RI untuk mempertahankan kebijakan tentang moratorium pemberian ijin konsesi di atas kawasan hutan dengan memperkuat instrument hukum tentang moratorium, dan melakukan evaluasi terhadap moratorium yang sudah berjalan;

14. Mendorong dan mendesak hadirnya Pemerintah dalam penyelesaian konflik internal antara komunitas adat dengan komunitas lainnya yang diakibatkan oleh misalnya exodus, atau persoalan lainnya yang menyebabkan terjadinya konflik horizontal yang diselesaikan berdasarkan kearifan masyarakat adat;

15. Mendesak Pemerintah untuk membentuk hakim ad hoc dalam menyelesaikan kasus-kasus agraria dan masyarakat adat, dan menjadikan hukum adat sebagai sumber hukum yang digunakan dalam penyelesaian kasus-kasus masyarakat adat;

16. Menyerukan kepada seluruh anggota komunitas adat, pengurus, dan penggerak masyarakat adat di seluruh pelosok nusantara untuk menyalurkan hak politiknya dalam Pemilu Kepala Daerah serentak yang dimulai tahun 2015 kepada calon-calon yang berkomitmen mendukung dan memperjuangkan pengakuan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Kami tekankan agar Pemerintah Republik Indonesia untuk memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan segera mengambil langkah-langkah positif untuk memastikan pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Dan kami nyatakan siap bekerjasama untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.

Ditetapkan di:
Malaumkarta, Bumi Malamoi
Kabupaten Sorong – Papua Barat

Pada Tanggal:
18 – 19 Maret 2015

Tindakan internal atas Resolusi/Rekomendasi Rakernas AMAN IV:

1. PB AMAN segera mengirimkan dan memastikan diterimanya resolusi dan rekomendasi (pernyataan sikap) AMAN kepada Pemerintah cq. Presiden RI dengan tembusan kepada seluruh Lembaga Pemerintah Pusat yang terkait, Pemerintah Provinsi, Kabuaten/Kota, dan seluruh Pengurus Wilayah dan Daerah AMAN;
2. Semua pengurus AMAN ditingkat PB, PW, dan PD untuk bersama-sama mengawal pelaksanaan resolusi dan rekomendasi yang disampaikan AMAN;
3. Membentuk Tim untuk bertanggungjawab secara khusus dalam pengawalan pelaksanaan resolusi dan rekomendasi yang disampaikan AMAN.