
Masyarakat Adat Hilimbaruzo di Pulau Nias Petakan Wilayah Adat, Lawan Klaim Hutan Lindung
28 Agustus 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Masyarakat Adat Hilimbaruzo di Desa Hilimejaya, Kecamatan Aramo, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara tengah berjuang mempertahankan tanah leluhur menyusul adanya klaim pemerintah atas wilayah adat sebagai kawasan hutan lindung
Selama empat hari mulai 24–27 Agustus 2025, ratusan Masyarakat Adat dari berbagai kalangan—tokoh adat, pemuda, perempuan, hingga orang tua—bergotong royong melakukan pemetaan partisipatif atas wilayah adat Hilimbaruzo .
Masyarakat Adat membagi diri dalam empat tim untuk menyisir batas terluar, menandai lahan pertanian, pemukiman, serta situs budaya yang memiliki nilai sejarah dan spiritual. Di tengah keterbatasan infrastruktur—jalan yang rusak, jaringan telekomunikasi yang nyaris tak berfungsi, dan listrik yang tidak memadai—semangat masyarakat tetap menyala.
Pemetaan ini dianggap mendesak, karena wilayah adat Hilimbaruzo diklaim pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Klaim tersebut mencakup perkampungan Masyarakat Adat yang dihuni sekitar 60 kepala keluarga secara turun-temurun. Bagi Masyarakat Adat, klaim ini bukan hanya ancaman kehilangan lahan, tapi juga penghapusan jejak sejarah dan identitas.
Tokoh Masyarakat Adat Hilimbaruzo, Witasa Halawa menerangkan pemetaan wilayah adat yang mereka lakukan ini merupakan cara untuk meneguhkan keberadaan yang selama ini diabaikan. Witasa menjelaskan mereka sudah menetap di kampung secara turun temurun, sebelum ada negara. Leluhur yang mewariskan tanahnya untuk dijaga, bukan untuk dialihkan kepada pihak ketiga.
“Kami bercocok tanam, membangun rumah, dan menjaga hutan sejak lama di sini. Tetapi tiba-tiba pemerintah dengan sepihak mengklaim lahan kami sebagai kawasan hutan lindung. Kami disebut menempati tanah negara, aneh,” tegasnya usai melakukan pemetaan partisipatif wilayah adat di Hilimbaruzo pada Rabu, 27 Agustus 2025.
Witasa menambahkan melalui pemetaan ini kami ingin menegaskan bahwa Hilimbaruzo bukan wilayah kosong.
“Ini rumah kami, warisan untuk anak cucu kami,” imbuhnya.
Witasa mengatakan Masyarakat Adat Hilimbaruzo menaruh harapan besar pada hasil pemetaan yang telah dicapai. Mereka ingin peta partisipatif ini tidak hanya menjadi dokumen teknis, tetapi juga diakui pemerintah sebagai dasar perjuangan menuju pengakuan resmi wilayah adat.
“Kami berharap pemerintah membuka mata dan mengakui bahwa kami sudah lama hidup di sini. Jangan lagi kami dicap perambah, jangan lagi tanah kami disebut hutan lindung tanpa melihat sejarahnya. Kami ingin diakui, dilindungi, dan diberi hak penuh untuk mengelola tanah ini sebagai warisan leluhur,” tutur Witasa.
Sejumlah pemuda sedang mendiskusikan peta wilayah adat di pulau Nias, Sumatera Utara. Dokumentasi AMAN
Hasil Pemetaan Akan Diserahkan Kepada Pemerintah
Menindaklanjuti pemetaan partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat Hilimbaruzo, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak bersama Masyarakat Adat berencana menyerahkan hasil pemetaan tersebut kepada Pemerintah Daerah dan Kementerian terkait sebagai bentuk pengakuan resmi. Peta ini juga akan dipakai sebagai alat advokasi dalam memperjuangkan perubahan kebijakan yang lebih berpihak pada Masyarakat Adat.
Aris Simangunsong dari Biro Ekonomi dan Wilayah Adat AMAN Tano Batak menuturkan pemetaan partisipatif yang dilakukan Masyarakat Adat Hilimbaruzo adalah strategi untuk melawan penghapusan jejak Masyarakat Adat dari peta bangsa.
“Pemetaan bukan sekedar menggambar garis di atas kertas. Ini perlawanan,” tandasnya.
Aris menyebut pemerintah sering menuding Masyarakat Adat sebagai perambah atau penduduk ilegal hanya karena mereka tidak punya dokumen resmi. Padahal, bukti kehidupan sudah ada sejak lama—kampung, ladang, hingga situs budaya yang terus dijaga. Dikatakannya, peta Masyarakat Adat ini adalah alat advokasi, bukti sah yang bisa digunakan untuk memperjuangkan pengakuan resmi. Tanpa peta, akunya, Masyarakat Adat sangat rentan untuk disingkirkan oleh proyek negara atau perusahaan. Sebaliknya dengan peta, Masyarakat Adat bisa berdiri tegak dan berkata: kami ada, dan tanah ini milik kami.
Aris menegaskan perjuangan tidak berhenti pada pemetaan. Rencananya, hasil pemetaan ini akan dibawa ke ruang-ruang kebijakan di tingkat Kabupaten, Provinsi hingga ke Pusat. Disebutnya, Masyarakat Adat Hilimbaruzo tidak boleh lagi hidup dalam bayang-bayang penggusuran.
“Dengan peta ini, Masyarakat Adat Hilimbaruzo punya pegangan untuk memperjuangkan haknya sampai diakui negara,” katanya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara