Masyarakat Adat Tano Batak Masih Mengungsi Pasca Dilanda Bencana : Harta Kami Sudah Habis
20 Desember 2025 Berita Jakob SiringoringoOleh Jakob Siringoringo
Ratusan Masyarakat Adat Sibalanga mengungsi di gereja HKBP sejak bencana ekologis menghancurkan perkampungan mereka di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada akhir November 2025 lalu. Masyarakat Adat yang berasal dari komunitas anggota AMAN ini harus merasakan getirnya hidup terpisah dari rumahnya.
Banjir bandang dan longsor telah merusak sebagian besar rumah yang ada di perkampungan Masyarakat Adat Sibalanga di Jalan lintas Tarutung – Sibolga, Kecamatan Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara. Perkampungan ini mengalami dampak paling parah saat bencana menerjang wilayah Tano Batak. Sebanyak 21 orang dilaporkan meninggal, tiga diantaranya Masyarakat Adat Sibalanga.
Wilayah adat Sibalanga dihuni 207 kepala keluarga. Hampir separuhnya kini mengungsi, 80 kepala keluarga diantaranya mengungsi di gereja HKBP.
Netti boru Sitompul, salah satu anggota Masyarakat Adat yang tinggal di lokasi pengungsian gereja HKBP. Perempuan berusia 62 ini merupakan korban banjir bandang dan longsor. Rumah beserta tiga unit sepeda motor dan seluruh harta bendanya habis terkubur terjangan tanah longsor mematikan.
“Tidak ada yang tersisa, kecuali pakaian yang melekat di badan,” kata Netti dengan nada sedih saat ditemui di lokasi pengungsian pada Jumat, 12 Desember 2025.
Netti menuturkan sudah tiga minggu tinggal di pengungsian. Ia mengaku masih trauma, bahkan ketakutan ketika turun hujan. Bencana dahsyat yang menghancurkan perkampungan mereka belum bisa dilupakannya.
“Saya was-was setiap turun hujan, selalu berdoa agar dijauhkan dari segala macam bahaya,” ujarnya saat beristirahat beralaskan tikar.
Netti mengatakan selama berada di pengungsian, kebutuhan dasar mereka sangat bergantung pada bantuan dan dukungan yang datang dari berbagai pihak, termasuk dari AMAN.
Hal yang sama dirasakan oleh Sriyuni Pardede, pengungsi lainnya di gereja HKBP. Namun, ia bersama keluarga kecilnya kurang nyaman tinggal di pengungsian. Meskipun dirasa cukup terlindung dari ancaman longsor, namun berbagi “aula” dengan puluhan rumah tangga lain membuatnya gusar.
Sriyuni mengaku salah satu yang paling dirasa mengganggu berada di pengungsian adalah terbatasnya ruang bermain anak dan sekolahnya harus terhenti.
“Memang, sejauh ini kami masih sehat, tapi dalam keadaan seperti ini pasti saya sangat mengkhawatirkan anak saya,” katanya lirih.

Rumah Masyarakat Adat di Kecamatan Adian Koting, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara rusak usai disapu longsor. Dokumentasi AMAN
Pengungsi Butuh Bantuan
Terpisah dari pengungsian HKBP, Haratua Sipahutar terpaksa mengungsi ke rumah keluarga terdekatnya. Ibu rumah tangga berusia 52 tahun ini adalah korban selamat dari timpahan tembok beton dinding dapurnya.
Haratua menceritakan saat itu 25 November, sekitar pukul 02:15 Wib dinihari, banjir bandang dan longsor menerjang rumahnya dari arah dapur, di mana ia tidur bersama keempat anaknya. Sementara suaminya, Dorlan Simanungkalit tidur terpisah di kamar paling depan rumah kayu tua tanpa cat.
“Kraaak..duaarrr.. seperti gemuruh petir kudengar. Aku pun langsung bangkit dan melihat anak istriku sudah terkubur longsor dan dinding beton,” kenang Simanungkalit.
Pria berusia 56 tahun ini sempat terbengong dan hampir lemas terkulai berpasrah diri melihat keluarga tercintanya ditimpa reruntuhan dan terjangan longsor. Seketika itu, Dorlan segera menyelamatkan putra dan putrinya yang tampak lebih mudah untuk diselamatkan. Dalam babak drama kelam dinihari itu, hujan deras tak mau berhenti.
“Untungnya, beberapa saat kemudian datang warga sekitar membantu evakuasi keluarga saya yang tertimbun longsor,” kenangnya.
Dorlan meneruskan ceritanya. Evakuasi saat itu dirasa tergolong cepat saat bantuan dari warga sekitar. Namun, proses penyelamatan istrinya menegangkan. Sebab, istrinya sudah tertimbun longsor, hanya terlihat bagian lutut ke ujung kaki di bawah tindihan beton dan material longsor. Bahkan setelah evakuasi berhasil, istri Dorlan sudah tak sadarkan diri.
Setelah evakuasi berlangsung sekitar satu jam, istrinya langsung dibawa ke puskesmas terdekat. Tak berapa lama kemudian, mobil ambulans membawanya ke RS Tarutung untuk menjalani perawatan.
Setelah menjalani perawatan beberapa hari di rumah sakit, Haratua diperbolehkan pulang dan menginap di rumah adiknya di Silangit, tak jauh dari Tarutung. Beberapa kemudian, Haratua dan keluarganya kembali ke kampung. Namun, karena rumahnya telah hancur dihantam banjir bandang maka Haratua bersama keluarganya kini mengungsi dengan segala keterbatasan serta pemulihan fisik dan psikologi yang masih membekas.
“Tulang pinggangku ini sekarang paling sakit. Baru dua hari terakhir, aku mulai bisa melangkah,” katanya pelan saat diwawancarai pada Jumat, 19 Desember 2025.
Haratua mengaku sudah tidak punya harta lagi pasca banjir bandang, termasuk sawah dan ternak ayam sudah mati. Saat ini, dirinya membutuhkan bantuan suplemen kalsium untuk kesehatan tulangnya. Selain itu, Haratua membutuhkan bantuan sandang pangan, termasuk susu.
Purba Tua, pengungsi dari komunitas Masyarakat Adat Lumban Toruan juga mengaku butuh bantuan sandang pangan. Purba mengatakan banjir bandang yang terjadi saat ini, mengingatkan dirinya pada bencana serupa pada 2023 yang merendam belasan rumah warga.
Ketua Pelaksana Harian AMAN Daerah Tapanuli Utara Edward Siregar mengatakan kondisi pengungsian di komunitas Masyarakat Adat saat ini cukup memprihatinkan. Edward menambahkan atas dasar ini, AMAN Tapanuli Utara terus mengawal dan membantu komunitas Masyarakat Adat yang terdampak bencana dengan selalu siaga.
“Kita pastikan, kebutuhan pengungsi Masyarakat Adat yang menjadi korban bencana menjadi prioritas seperti makanan, pakaian, obat-obatan hingga kebutuhan dasar untuk lansia, perempuan, dan anak-anak,” tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara