Oleh Nesta Makuba

Ra Igwa Yono Omi Menake Wa Foijaele Miyae, Nundaeya

We Ebaite Yonu ehili Kandeya, Ana Kanendeya

Re Raei Yamno Maengge Menake Wa Moijaele , Iyae Howalaeya

Wa Hayaere Yoha Fele-Fele Kandeya, Ana Kandeya

Artinya....

Mamaku perempuan dari kampung Egwa yang baik, perempuan, telah tiada

Kami anak-anak keturunan Ebaite bersedih, mama, bersedih

Mamaku perempuan dari kampung Raei yang baik, perempuan, telah tiada

Kami anak-anak keturunan Hayae bersedih, mama, bersedih

Lantunan bait lagu ini dinamakan Helaehili, yang secara harfiah bermakna tangisan atau ratapan. Helaehili dinyanyikan oleh sesesorang ketika ada kematian  yang menimpa Suku Bhuyaka Sentani, Papua. Ritual ini mengisahkan tentang masa hidup seseorang yang telah meninggal dunia.

Milka Deda, salah satu perempuan adat Sentani yang sering melantunkan Helaehili saat ada kematian atau kedukaan di rumah Ondofolo, Khoselo. Milka menyebut tidak semua orang bisa melantunkan Helaehili. Biasanya, pelantun Helaehili berasal dari kerabat dekat dan orang yang mengenal baik yang meninggal.

“Itu pun, pada umumnya hanya kaum abu enime (kaum tua) yang mampu melantunkan Helaehili,” kata Milka Deda belum lama ini di Jayapura, Papua.

Perempuan berumur 65 tahun ini menerangkan Helaehili adalah salah satu cara untuk menunjukkan kesedihan yang biasa dilakukan oleh Masyarakat Adat Sentani. Tradisi ini dilakukan untuk mengiringi kepergian tokoh atau pemimpin yang telah meninggal dunia seperti jenazah mantan Gubernur Papua Lukas Enembe belum lama ini. Masyarakat melambai-lambaikan dedaunan dan bunga-bunga sambil meratap menggunakan bahasa daerah Sentani saat mengiringi jenazah Lukas Enembe sampai ke tempat peristirahatannya terakhir.

Baca Juga Berburu Babi di Hutan Ketika Haus Daging

Budayawan Sentani Corri Ohee menjelaskan ungkapan yang diekspresikan dalam lantunan Helaehili ini biasanya bersifat spontan, tidak direkayasa atau tidak disiapkan sebelumnya. Durasi lantunan Helaehili pun bervariasi, dari hanya beberapa jam sampai yang berdurasi tiga hari tiga malam.

Corri menyebut semua itu sangat bergantung pada status sosial orang yang meninggal dan perbuatan baiknya serta orang yang mampu melantunkan Helaehili.

“Lantunan Helaehili ini sebagai wujud penghormatan terakhir dari pihak keluarga dan masyarakat bagi orang yang meninggal,” kata Corri Ohee di Jayapura, Papua.

Selain untuk penghormatan bagi yang telah meninggal, Helaehili juga sering dilantunkan sebagai pesan bagi orang yang masih hidup agar dapat meneladani sifat dan perbuatan baik orang yang meninggal itu.

Corri menjelaskan ritual Helaehili ini mengisahkan masa hidup orang yang telah meninggal. Salah satu substansi yang diekspresikan, baik secara eksplisit maupun implisit dalam lantunan Helaehili adalah sosok keberadaan perempuan.

Dikatakannya, perempuan Sentani merupakan sosok pekerja keras yang memberi kontribusi besar pada hampir setiap aspek kehidupan rumah tangga. Namun, keberadaannya sering tidak mendapat perhatian yang proporsional.

“Ritual Helaehili adalah semua cerita perempuan Sentani yang dimitoskan sebagai kani (bumi), memiliki peran yang sangat kompleks. Peran ini dipengaruhi oleh tradisi Masyarakat Adat Sentani, serta kedudukan perempuan di masyarakat,” terangnya.

Secara reproduktif, kata Corri, perempuan merupakan seorang Yonelau, yang mengandung, melahirkan, menyusui, merawat, mendidik anak. Sedangkan secara produktif, perempuan adalah tenaga kerja dan penghasil makanan melalui bekerja di kebun, danau, dan di dusun sagu.

“Sosok perempuan sangat dimuliakan dalam riual Helaehili, ini karena kedudukannya yang sangat kompleks,” tutupnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Jayapura, Papua