Oleh : Risnan Ambarita

Mersi Silalahi berlinang air mata saat menceritakan perjuangannya mencari keadilan di Jakarta. Perempuan adat berusia 40 tahun asal kampung Sihaporas Aek Batu, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara itu teringat anak-anaknya di rumah. 

“Saya sedih, sudah hampir tiga minggu saya tinggalkan anak-anak di kampung untuk mencari keadilan di Jakarta,” kata Mersi Silalahi saat jumpa pers di gedung Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Jalan Salemba Raya Jakarta, Rabu 11 September 2024.

Mersi bersama pejuang Masyarakat Adat Sihaporas dan Dolok Parmonangan menjumpai pengurus PGI di Jakarta untuk meminta dukungan atas penangkapan suami dan beberapa Masyarakat Adat lainnya.  Mereka didampingi Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) serta Solidaritas Organisasi Masyarakat Sipil di Jakarta.

Mersi adalah istri dari Thomson Ambarita, Wakil Ketua Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) yang ditangkap polisi pada Senin,  22 Juli 2024. Thomson dan Mersi tinggal di kampung bersama lima orang anaknya yakni Doharman Ambarita (18 tahun), Bio Marvel Ambarita (17 tahun), Fadil Fasion Ambarita (15 tahun), Hylton Reymandus Ambarita (13 tahun), Avelina Ambarita (10 tahun).

Mersi meninggalkan kampungnya di Sihaporas, kawasan Danau Toba menuju Jakarta pada  27 Agustus 2024. Ia dan beberapa pejuang tanah adat mencari keadilan di Jakarta hingga Jumat, 13 September 2024.

Mersi meminta suami dan pejuang Masyarakat  Adat lainnya yang ditangkap polisi segera dibebaskan karena bukan penjahat.

“Mereka bukan penjahat, mereka pejuang tanah adat dan lingkungan hidup. Bebaskan mereka,” cetusnya.

Suami Mersi, Thomson Ambarita (45 tahun) kini mendekam di penjara usai ditangkap polisi dari Polres Simalungun, Sumatera Utara pada Senin, 22 Juli 2024 sekira pukul 03.00 Wib dinihari.  Thomson ditangkap saat sedang tertidur lelap.

Mersi menceritakan saat itu, puluhan personel polisi dan security dari PT Toba Pulp Lestari (TPL) menyerbu gubuk posko Lembaga Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) di kawasan Danau Toba, Buttu Pangaturan, Desa/Nagori SIhaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.

Selain menangkap Thomson Ambarita, polisi juga menangkap Jonny Ambarita (49 tahun),  Giovani Ambarita (29 tahun), Parando Tamba (28 tahun), dan Dosmar Ambarita (35 tahun). Mereka juga ditangkap saat sedang tertidur lelap di rumahnya masing-masing.

Mersi menyebut kasus penangkapan terhadap tokoh Masyarakat Adat yang menentang TPL sudah sering dilakukan polisi. Ia mencontohkan kasus penangkapan Jonny Ambarita selaku  Sekretaris Umum Lamtoras dan Thomson sebagai Bendahara Umum Lamtoras. Keduanya dipenjara selama 9 bulan, mulai September 2019 sampai Juni 2020.

“Kedua tokoh Masyarakat Adat ini korban kriminalisasi TPL,” kata Mersi.

Tak lama kemudian, giliran tokoh adat Sorbatua Siallagan yang ditangkap polisi atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Kabupaten Simalungun. Sorbatua, yang sudah berusia 65 tahun divonis dua tahun penjara dan denda Rp 1 miliar oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun bulan Agustus 2024 lalu. Atas putusan ini, Sorbatua mengajukan banding.   

Penangkapan Tidak Sah

Ketua PPMAN Syamsul Alam Agus menyatakan penangkapan beberapa orang tokoh Masyarakat Adat Sihaporas yang dilakukan polisi baru-baru ini tidak memenuhi unsur proses hukum.

"Penangkapan mereka tanpa surat perintah penangkapan. Tidak ada surat bukti penggeledahan, karena itu penangkapan ini tidak sah. Mereka harus dibebaskan demi hukum,” kata Syamsul Alam.

Syamsul menambahkan pihaknya sudah melaporkan kasus penangkapan ilegal yang dilakukan Polres Simalungun ini ke Mabes Polri. Dikatakannya, pelaporan ini bertujuan agar kasus penangkapan ilegal ini ditarik ke Mabes Polri.

Syamsul juga menyoroti putusan “cacat hukum” yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun saat mengadili Sorbatua Siallagan. Syamsul menyebut satu dari tiga hakim mengajukan “Dissenting Opinion” bahwa kasus Sorbatua Siallagan bukan tindakan pidana sehingga harus dibebaskan.

“Kami berharap pertimbangang dalil Dissenting Opinion ini menjadi perhatian untuk  membebaskan Sorbatua Siallagan sebagai bentuk keadilan untuk Masyarakat Adat,” pintanya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Risnan Ambarita | Tano Batak Sumatera Utara
Tag : Kisah Perjuangan Seorang Perempuan Adat Mencari Keadilan