Oleh Fujianti Nurjanah

Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi di desa Dangiang, Kecamatan Banjarwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat beramai-ramai membuat nasi tumpeng putih dari rumah masing-masing. Tumpeng berukuran kecil itu selanjutnya mereka bawa untuk disimpan di depan joglo (rumah adat) untuk didoakan.

Nurhidayatullah, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi menyatakan mereka percaya tumpeng yang telah didoakan di joglo akan mendatangkan berkah. Namun, sebutnya, penyimpanan tumpeng yang mendatangkan keberkahan ini bukan bagian dari ritual tapi hanya keyakinan mereka saja.

“Jadi, kalau menyimpan tumpeng di joglo itu, Masyarakat Adat percaya nantinya tumpeng yang dimakan bisa membawa keberkahan dari doa,” terang Nurhidayatullah pada Kamis, 19 September 2024.

Ia menambahkan setelah penyimpanan tumpeng, biasanya pada malam harinya dilakukan ritual yang ditandai dengan kegiatan buka sejarah. Nurhidayatullah menyebut ritual ini dilaksanakan pada pukul 24.00 Wib.

“Buka sejarah hanya bisa dilaksanakan di jam 24.00 Wib pada malam sebelum ritual,” sebutnya.

Dikatakannya, butuh waktu dua jam untuk melaksanakan kegiatan buka sejarah ini. Selama berlangsungnya kegiatan ini, kuncen atau juru kunci biasanya akan membacakan sejarah Dangiang Batuwangi. Sejarah ini hanya bisa dibacakan di tengah malam dan hanya dihadiri oleh laki-laki.

Setelah pembacaan sejarah selesai, selanjutnya Masyarakat Adat langsung berangkat menuju makam para leluhur untuk meminta izin pelaksanaan ritual Ngumbah Keris.

“Ritual Ngumbah Keris ini biasa juga disebut Ngalungsur Geni,” terangnya.

Pagi harinya, Masyarakat Adat kembali berkumpul di joglo. Ditempat ini, mereka membuka peti yang berisi keris. Selanjutnya, keris tersebut dikeluarkan untuk dibawa bersama menuju Sungai Cidangiang sebagai tempat membersihkan keris tersebut.

Terganggu Limbah Sungai

Setelah sampai di sungai, Masyarakat Adat berjalan lebih jauh ke depan dari lokasi yang biasa digunakan untuk membersihkan keris. Hal itu dikarenakan di lokasi sebelumnya sudah dipenuhi sampah sehingga tidak memungkinkan untuk melaksanakan ritual pembersihan keris.

Ketua Pengurus Pelaksana Harian PD AMAN Simahiang, Dadang Budiman prihatin terhadap kondisi sungai yang sudah tercemar sampah. Akibatnya, prosesi pembersihan keris berpindah ke lokasi lain.

“Kita terpaksa pindah ke lokasi lain karena tidak mungkin benda pusaka ini di bersihkan di sungai yang sudah tercemar dengan air berbau sampah,” ungkapnya.

Menurutnya memaksakan pembersihan keris pusaka di lokasi yang sudah tercemar tidak bagus, apalagi Masyarakat Adat nantinya akan menggunakan air hasil basuhan keris untuk berbagai keperluan.

“Masyarakat Adat ada yang mandi, cuci muka bahkan meminum air dari hasil basuhan keris. Tidak mungkin mereka melakukan aktivitas tersebut dengan air yang tercemar,” imbuhnya.

Saat sudah menemukan tempat yang sesuai, barulah ritual pembersihan keris dilaksanakan. Dimulai dengan membakar kemenyan yang tujuannya sebagai bentuk tolak bala. Kemudian, masing-masing kuncen atau juru kunci memegang keris yang di celupkan ke dalam air sungai disertai dengan bacaan doa. Saat keris diangkat dari dalam air, Masyarakat Adat langsung bergantian meminta air yang mengalir dari keris tersebut untuk diusapkan ke kepala masing-masing.

“Sulit mengusapkan air hasil basuhan keris ke masing-masing masyarakat. Jadi, saya menaruh keris tersebut di air sehingga masyarakat bisa langsung menggunakan air yang mengalir tersebut,” ungkap Entang Ahmad Fauzi, juru kunci Masyarakat Adat Dangiang Batuwangi.

Entang menambahkan setelah pembersihan keris selesai, keris kemudian dimasukan kembali ke dalam peti dan dibawa kembali oleh Masyarakat Adat untuk di simpan kembali di joglo.

Berharap Keberkatan

Biasanya setelah keris dibersihkan dan disimpan, jelasnya, banyak masyarakat yang saling menyipratkan air, mandi, bahkan mengambil air untuk dimasukkan ke dalam botol untuk keperluan lain di rumah.

Entang menjelaskan air hasil basuhan keris tersebut diyakini memiliki keberkahan karena sebelumnya telah didoakan bersamaan dengan keris pusaka.

“Ini bukan tindakan penuhanan kepada benda (musyrik). Namun, merupakan ungkapan rasa terimakasih dan pengharapan keberkahan kepada pemilik keris yaitu Tuhan pemilik semesta alam,” ujarnya.

Entang menerangkan setelah proses pembersihan keris selesai dilakukan, Masyarakat Adat kembali berkumpul di joglo untuk menutup semua rangkaian ritual dengan doa. Selesai berdoa, Masyarakat Adat kemudian membawa kembali tumpeng yang disimpan di depan joglo. Sebagian ada yang langsung memakannya ditempat secara bersama-sama, ada pula yang memilih untuk membawa pulang tumpeng untuk dibagikan dengan keluarga.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Simahiyang, Garut

Writer : Fujianti Nurjanah | Simahiyang
Tag : Dangiang