Tradisi Mo Manu : Cara Masyarakat Adat Rampi Mencegah Kekerasan Seksual
13 Desember 2024 Berita Kamal KhatibOleh : Kamal Khatib
Rampi sebagai satu kesatuan yang meliputi wilayah, masyarakat, aturan dan lembaga adat sering diistilahkan sebagai Katongkoana Ada’ Woi Rampi. Di dalam Katongkoana Ada’ Woi Rampi ini ada pemberlakuan hukum adat yang tidak dimiliki oleh komunitas adat lain.
Hukum adat dalam bentuk denda ini telah menjadi tradisi yang disebut Mo Manu. Tradisi ini hanya bisa diberlakukan oleh Perempuan Adat Rampi di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Jon Paelo, salah seorang tokoh Masyarakat Adat Rampi menuturkan hukum adat dalam bentuk denda yang hanya bisa diberlalukan oleh Perempuan Adat Rampi disebut Mo Manu. Jon menjelaskan aturan adat Mo Manu ini diberlakukan bagi lelaki yang mengucapkan perkataan tidak senonoh dihadapan Perempuan Adat.
“Bentuk dendanya itu berupa barang yang melekat di badan si lelaki (pelaku), kemudian disita oleh perempuan yang merasa dirugikan,” kata Jon Paelo di Rampi, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan.
Jon menambahkan perempuan tersebut bebas memilih benda berharga atau tidak dari lelaki yang telah merugikannya tersebut. Ini sebagai bukti bahwa lelaki tersebut telah melakukan pelanggaran.
Jon menjelaskan prosesi denda adat ini harus dilakukan dalam suatu ritual ketika ada upacara Mororou atau pengucapan syukur dan upacara Mepohamoko atau upacara pernikahan.
“Upacara Marorou atau Mepohomoko ini menjadi moment yang dipilih untuk menjalani ritual Mo Manu,” kata Jon Paelo.
Jon menuturkan di acara ini, lelaki yang melakukan pelanggaran dipanggil untuk menjalani sidang adat atas pelanggaran yang dilakukannya terhadap perempuan adat. Selanjutnya, pria yang melalukan pelanggaran membawa seserahan berupa beras dan sejumlah uang yang sebelumnya telah disepakati bersama.
Namun sebelum seserahan tersebut diberikan kepada perempuan, pihak perempuan terlebih dahulu telah menyediakan makanan yang dibungkus daun. Ini dimaksudkan, makanan tersebut akan diberikan kepada pria yang melanggar setelah penyerahan denda diterima oleh pihak perempuan.
Tradisi Mo Manu Masyarakat Adat Rampi. Dokumentasi AMAN
Tradisi Mo Manu Diterapkan Sejak Pemangku Adat Pertama
Herlina Sinta sebagai pendamping pemangku adat tertinggi di Lembaga Adat Rampi menerangkan bahwa Mo Manu ini sudah diterapkan sejak dahulu pada masa pemangku adat pertama hingga saat ini. Proses berlakunya Mo Manu ini diikuti berdasarkan aturan yang telah berlaku sebelumnya.
Hanya saja, kata Herlina, Mo Manu tidak diberlakukan kepada anak-anak, akan tetapi berlaku pada orang dewasa atau orang tua.
Herlina menyatakan lazimnya peristiwa Mo Manu, pemangku adat perempuan akan mempertegas kembali kesalahan yang diperbuat oleh pihak laki-laki. Pemangku adat menanyakan ulang bagaimana terjadinya peristiwa yang berujung pada kesalahan pihak laki-laki atau seperti apa pelecehan yang dilakukannya. Setelah pihak pemangku adat perempuan mengetahui kejadian tersebut, maka mereka kemudian menentukan besarnya denda yang akan dikenakan kepada pihak laki-laki.
Di awal penerapan Mo Manu, sebut Herlina, bentuk denda yang dibayarkan oleh pihak laki-laki berupa satu ekor kerbau. Namun seiring dengan perkembangan zaman, bentuk denda satu ekor kerbau diganti dengan beras, sebutir telur, dan sejumlah uang yang dikemas ke dalam satu wadah tertentu.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tana Luwu, Sulawesi Selatan