Oleh Sepriandi

Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) mendesak perusahaan PT Kristus Raja Maumere (Krisrama) milik Keuskupan Maumere untuk menghentikan penggusuran dengan cara kekerasan di wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.

Ketua PPMAN Region Bali Nusra, Anton Johanis Bala menyebut sedikitnya ada 120 rumah Masyarakat Adat  Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Kabupaten Sikka yang telah  digusur pada 22 Januari 2025. Akibatnya, lebih dari 208 kepala keluarga terdampak. Namun, pria yang akrab disapa Jhon Bala ini menyatakan bahwa sampai saat ini, korban penggusuran Masyarakat Adat Soge Natarmage dan Goban Runut masih bertahan di lokasi.

“Mereka bersikukuh tidak akan meninggalkan tempat yang selama ini menjadi rumah tinggal mereka karena ingin mempertahankan tanah leluhur yang sudah ditempati jauh sebelum HGU PT Krisrama dikeluarkan," kata Jhon Bala pada Minggu, 2 Februari 2025.

Ia menjelaskan seharusnya PT Krisrama tidak berhak melakukan penggusuran di wilayah adat.  Lagian, konflik agraria di wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut tidak akan terjadi karena izin HGU-nya telah habis dan tanah kembali ke negara.

Sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan PP 18/2021, setelah berakhirnya izin HGU maka tanah tersebut kembali menjadi tanah negara. Peruntukan selanjutnya diatur oleh Kementerian ATR/BPN. Namun demikian, pemegang hak sebelumnya masih diberikan hak prioritas untuk melakukan pembaruan selama maksimal dua (2) tahun setelah masa HGU-nya berakhir.

Jhon Bala mengungkap fakta menunjukan, masa berlakunya HGU PT. Diag telah berakhir pada 31 Desember 2013.  PT. Krisrama sebagai pengganti PT. Diag telah mengajukan permohonan pembaruan HGU tersebut pada 4 November 2013 atau sebulan sebelum masa HGU berakhir. Namun permohonan ini tidak dilanjutkan karena dua alasan yaitu ada 60 persen lahan terindikasi terlantar dan ada masyarakat yang telah menempati lokasi tersebut. PT. Krisrama diminta oleh ATR/BPN untuk berdialog dulu dengan masyarakat tersebut.

“Dua hal tersebut tidak bisa diselesaikan  oleh PT. Krisrama, maka siklus dua tahun hak prioritas menjadi kadaluwarsa pada 31 Desember 2015. Akibatnya, PT. Krisrama tidak memiliki hak prioritas lagi dan status tanah bekas HGU tersebut menjadi tanah negara,” ungkapnya.

Namun, imbuhnya, tampak di lapangan justru sebaliknya. Hak prioritas yang telah hilang kerena peraturan perundang-undang itu oleh ATR/BPN masih dilekatkan kepada PT. Krisrama. Sehingga ada pernyataan bahwa PT. Krisrama telah melepaskan sebagian tanah HGU untuk Pemerintah Kabupaten Sikka dan sebagian yang telah ditempati masyarakat untuk pelaksanaan reforma agraria.

“Ini aneh bagi kami. Tanah yang berstatus tanah negara, bebas yang seharusnya peruntukannya ditentukan oleh negara. Tapi dalam kasus ini, PT. Krisrama yang menentukan," ujarnya.

Dua SK Bupati Tidak Dijalankan

Sementara itu, lanjutnya, dalam tahapan penyelesaian koflik HGU Nangahale antara PT. Krisrama dengan masyarakat yang telah menempati tanah HGU tersebut, Bupati Sikka mengeluarkan dua Surat Keputusan Bupati untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Pertama, Surat Keputusan Bupati Sikka No. 444/HK/ 2016 tentang Tim Terpadu Identifikasi dan Verifikasi Masyarakat Tana Ai yang menempati tanah negara bekas HGU Nangahale, tertanggal 11 Nopember 2016. SK Bupati ini lahir dari rekomondasi sebuah pertemuan mediasi para pihak pada 23 September 2016 di aula Bapeda Sikka yang difasilitasi oleh Nurcholis selaku Komisioner Komnas HAM RI saat itu. Hadir pada kesempatan itu, perwakilan PT. Krisrama, Bupati dan perwakilan dari masyarakat.

Anggota Tim Terpadu berdasarkan SK Bupati ini terdiri atas Pemkab Sikka, DPRD dan Masyarakat. Tim ini terbagi atas tiga kelompok kerja, yakni:

Kelompok Kerja I, bertugas mengidentifikasi dan verifikasi apakah masyarakat yang telah menempati tanah HGU tersebut adalah Masyarakat Adat Soge dan Goban atau bukan.

Kelompok Kerja II, bertugas untuk melakukan identifikasi dan verifikasi apakah Masyarakat Adat Soge dan Goban memiliki hubungan hak asal usul dengan tanah negara bekas HGU tersebut.

Kelompok  Kerja III, bertugas membuat kompilasi dan kesimpulan apakah Masyarakat Adat yang menempati lokasi HGU tersebut adalah Masyarakat Adat Soge dan Goban yang mempunyai hak asal-usul atas tanah bekas HGU tersebut atau tidak.

"Namun, sejak diterbitkan 11 November 2016 hingga terbit SK Bupati yang baru pada 6 April 2020 tidak pernah dilaksanakan. Ketika, masyarakat mempertanyakan permasalahan ini, tidak ada jawaban pasti dari pihak Pemerintah Kabupaten Sikka," ungkap Jhon Bala.

Jhon menambahkan akibat tidak dilaksanakannya putusan tersebut, menimbulkan keresahan di masyarakat yang menyebabkan konflik agraria di wilayah adat tersebut. Selanjutnya, salinan naskah SK Bupati No 134 ini tidak pernah diberikan dan masyarakat hanya mengetahui isinya.

Dikatakannya, pada saat semua tahapan belum beres dan masih berjalan, perwakilan perusahaan PT Krisrama dan Bupati Sikka pada bulan April/Mei 2021 berangkat ke Jakarta menemui Kementerian ATR/BPN untuk mengajukan permohonan pembaruan HGU seluas 380 hektare. Padahal, perundingan berdasarkan tahapan pelaksanaan SK. Bupati No: 134/HK/2020 belum pernah dilakukan.

Dalam beberapa pertemuan selanjutnya, sebut Jhon Bala, Bupati diduga menjadi corong PT. Krisrama. Bupati diduga terus menerus berusaha mempengaruhi masyarakat agar sepakat dan menerima permohonan HGU PT. Krisrama seluas 380 hektar. Namun, masyarakat tetap menuntut untuk diselesaikan dulu perundingan berdasarkan SK. Bupati No. 134/HK/2020 itu.

"Jadi, tidak ada mediasi dan kesepakatan dari Masyarakat Adat terkait keluarnya izin HGU tersebut," tegasnya.

Masyarakat Adat Suku Soge Natamage dan Goban Runut tidak akan pindah. Dokumentasi AMAN

Pelanggaran Wilayah Adat

PT Krisrama dianggap telah merusak dan mengancam kelestarian wilayah adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut di Kabupaten Sikka menyusul tindakan perusahaan milik Keuskupan Maumere tersebut telah menggusur rumah yang ada di areal Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka pada Rabu, 22 Januari 2025. Alasannya,  Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor: 1/HGU/BPN.53/VII/2023 yang diberikan kepada PT Krisrama.

"Padahal, HGU itu terbit tanpa ada persetujuan dari Masyarakat Adat yang telah lama mendiami tanah leluhur mereka," cetusnya.

Jhon Bala menyatakan tindakan PT Krisrama menggusur rumah Masyarakat Adat kategori  pelanggaran terhadap wilayah adat. Pelanggaran ini sekaligus merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18B ayat (2) yang mengakui keberadaan Masyarakat Adat beserta hak tradisionalnya.

Dalam konteks ini, Jhon menegaskan pemerintah wajib mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukanlah bagian dari hutan negara.  Menurutnya, penerbitan SK HGU PT Krisrama melanggar prinsip dan hak konstitusional. Kemudian, juga bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang mengakui dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 35/PUU-X/2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan bagian dari hutan negara.

"Masyarakat Adat yang tinggal di sana memiliki alas hak asal usul. Mereka tidak tinggal saja, ada tanah leluhur yang mesti dijaga dari kerusakan," jelasnya.

Jhon Bala menegaskan menggusur rumah serta merobohkan pohon dan tanaman dengan menggunakan alat berat merupakan pelanggaran. Tindakan tersebut melanggar salah satu kewajiban yang tercantum dalam surat keputusan pemberian atau perpanjangan HGU, sesuai dengan ketentuan Pasal 84 dan Lampiran IV Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 18 Tahun 2021.

Jhon Bala mengatakan konflik agraria di Sikka harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ia menambahkan permasalahan ini bukan hanya soal konflik tanah, tetapi juga soal melindungi warisan budaya dan keberlanjutan Masyarakat Adat. Jhon Bala juga meminta pihak perusahaan PT Krisrama untuk segera menghentikan tindak kekerasan terhadap Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut. 

"Kami minta hentikan kekerasan terhadap Masyarakat Adat Suku Soge Natarmage dan Goban Runut,” katanya sembari mendesak pemerintah melindungi Masyarakat Adat.

***

Penulis Jurnalis Masyarakat Adat

Writer : Oleh Sepriandi | Penulis Jurnalis Masyarakat Adat
Tag : PPMAN Desak Perusahaan Keuskupan Maumere Menghentikan Penggusuran di Wilayah Adat