Masyarakat Adat Korban Banjir di Kalimantan
19 November 2021 Berita YeryanaOleh Yeryana
Bumi Borneo sedang diserang Panglima Air. Demikian guyonan seru di kalangan warga Kalimantan Tengah (Kalteng) maupun Pulau Kalimantan pada umumnya. Itu terdengar ringan dan lucu. Apalagi, sempat beredar viral video Gubernur Kalteng H. Sugianto Sabran yang mengungkapkan bahwa banjir yang melanda, bukan dampak dari illegal logging (penebangan ilegal) dan aktivitas perusahaan perkebunan sawit, namun hal biasa yang dialami sejak dia kecil.
Sugianto bahkan mengutarakan tentang bagaimana ia dulu ketika kanak-kanak kerap bermain banjir yang datang di musim hujan. Sungguh itu ungkapan yang melukai hati kami, warga kampung yang dilanda banjir.
Ini bencana! Ini derita!
Jika bagi seorang pemimpin yang memiliki harta berlimpah, bencana banjir dianggap remeh, namun bagi kami itu soal nyawa. Maka, ketika ada orang-orang bilang kalau bencana tersebut bukan karena aktivitas penambangan, penebangan atau pengrusakan hutan, dan perkebunan sawit, kami sebagai Masyarakat Adat justru meyakini sebaliknya.
Kami punya pengalaman saat belum ada tambang batu bara atau perkebunan sawit yang bertebaran di Kalteng, kami tak pernah mengalami banjir sehebat dan seawet sekarang. Dulu, di bawah tahun 2012, jika pun ada banjir di kampung-kampung sekitar DAS (Daerah Aliran Sungai) Barito maupun Katingan, tidak pernah separah saat ini. Banjir paling lama hanya bertahan seminggu dan itu tidak selalu di siklus Oktober-Januari.
Tapi, sekarang banjir telah hampir sebulan tanpa ada solusi yang jelas. Dengan banjir selama serta sedalam itu, kami warga kampung bisa makan apa?
Banjir yang ikut merendam jalan-jalan utama yang menjadi penghubung antar-daerah di Kalimantan. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.
Tidak semua punya stok padi atau beras karena siklus pada Oktober-Desember, ada dari kami yang baru melalui proses tanam padi. Kebun karet yang menjadi sumber mata pencaharian kami, ikut tenggelam dan tak bisa disadap. Kebun rotan juga tenggelam dan tak bisa diambil. Begitu juga dengan sayuran di sawah atau ladang yang terendam banjir.
Lalu, kami akan makan apa? Bantuan pemerintah? Ah, itu “lagu lama” - bantuan tak merata dan lambat. Belum lagi risiko penyakit, terutama bagi perempuan adat. Bagaimana dengan kesehatan reproduksi kami saat sering berendam air banjir yang jelas tak bersih di saat haid dan hamil? Bagaimana jika kondisi darurat ibu hamil yang hendak melahirkan butuh akses ke fasilitas kesehatan (faskes), sementara akses faskes putus karena banjir? Padahal, karena aturan negara inilah perempuan adat harus melahirkan di faskes dengan dibantu oleh bidan medis, sedangkan bidan kampung atau bidan tradisional (dukun beranak) tidak boleh lagi membantu persalinan. Apakah terpikir oleh pemerintah mengenai risiko kematian bagi balita saat rumahnya penuh air? Itu nestapa warga kampung yang dikepung banjir.
Kami yang tidak terkena banjir, seperti di Kabupaten Barito Timur (Bartim), tetap merasakan dampaknya. Harga sembako yang melambung karena terhambatnya distribusi akibat banjir-banjir di jalan lintas provinsi. Kalimantan Selatan yang kena (banjir), maka akses ke ibu kota provinsi pun putus karena banjir besar di Desa Barania. Maka, jika mau mencapai Palangkaraya, harus berputar lewat Banjarmasin. Sementara itu, tidak semua kabupaten bisa berputar lewat Banjarmasin. Itu pun perlu dipikirkan seandainya ada warga yang sakit dengan rujukan BPJS yang mengharuskannya ke Rumah Sakit Doris Palangkaraya. Rasakan laranya!
Pada 15 November lalu, keluarga kami harus mengelus dada nyeri saat membawa jenazah keponakan kami yang meninggal saat dirawat di rumah sakit tersebut. Pilihan jika memutar lewat Banjarmasin, biaya lebih besar dan akan terlambat tiba di kampung di Barito Selatan. Jenazah berisiko rusak. Maka, diputuskan untuk nekat melalui banjir dengan cara estafet menggunakan kapal klotok. Itu kejadian yang membuat saya merasa pilu.
Ketika kebakaran hutan dan kabut asap terjadi, kami Masyarakat Adat dikambinghitamkan - dituduh pembakar dan perusak hutan. Sementara itu, perusahaan perkebunan sawit malah dilindungi secara berlapis oleh preman hingga aparat hukum. Sekarang, dalang di balik banjir pun dilindungi oleh pemimpin daerah. Pernahkah berpikir risiko yang dihadapi warga di Kalteng akan makan apa pasca-banjir saat sawah, ladang, kolam, kebun, dan lainnya itu rusak karena banjir?
Ketika alam dirusak, maka siklus dan risiko perubahan iklim tidak bisa lagi ditebak dan diantisipasi oleh pengetahuan warisan leluhur Masyarakat Adat. Hal itu sangat berisiko pada gagal panen, bahkan krisis pangan. Dampak dari dirusaknya hutan dan sungai, sama saja seperti membunuh kami, khususnya perempuan adat, secara pelan-pelan. Air sungai yang dulunya jernih dan kami manfaatkan untuk kebutuhan rumah tangga kami, sekarang kotor dan butek. Sedangkan cara hidup kami, sebetulnya sangat lekat dan tergantung pada alam. Jadi, bukan kami menolak modernisasi, pembangunan, dan kemajuan, tetapi kami hanya mau diizinkan hidup merdeka dengan cara kami yang berlandaskan pada keberlanjutan untuk generasi selanjutnya. Toh, negara ini belum mampu memberikan kemakmuran kepada kami.
Sejahtera, menurut Masyarakat Adat, adalah cukup hutan dan sungai itu utuh dan sehat. Jika semua itu baik, kami jauh dari bencana banjir dan semakin sedikit kami menggunakan uang untuk memenuhi kebutuhan kami. Itulah sejahtera yang bermartabat. Kami tak perlu mengiba atau meminta bantuan pemerintah dan pihak luar kala terjadi musibah banjir. Kami mampu mandiri.
Maka, wahai para pemangku kebijakan yang agung, terketuklah sanubarimu untuk pilu dan lara kami yang kau sebut sebagai wargamu! Seperti yang terucap pada pepatah Dayak Maayan: “Hi kibar ngajar hikar, jara haut harus lelan." Yang kira-kira dapat dimaknai bahwa pengalamanmu mengajarkanmu agar jera dan sepatutnya sudah harus tobat.
Saat kalian bilang UU Cilaka (Undang-Undang Cipta Kerja) itu ada demi kesejahteraan serta industri sawit dan tambang adalah demi kemajuan warga atau atas dasar pembangunan, sudahlah jera!
Kesejahteraan untuk siapa? Kemajuan untuk siapa? Sementara itu, kami yang menjadi warga-mu, pelan-pelan justru binasa.
***
Penulis adalah perempuan adat dari Masyarakat Adat Dayak Maayan dan PEREMPUAN AMAN PHD Bartim.