Oleh Nuskan Syarif

Masyarakat Adat Kekhalifahan Batu Songgan Kenegerian Miring di desa Tanjung Beringin, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Rau memiliki tradisi yang unik dan etnik: Piau atau Perahu Bakajang.

Tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu ini masih bisa disaksikan di kenegerian atau kampung yang berada di dalam Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling. Di tempat ini, perahu Bakajang masih dipertahankan karena telah menjadi kekayaan intelektual Masyarakat Adat.

Setiap ada perhelatan budaya seperti pekan Malako Kociak, tradisi perahu Bakajang ini selalu ditampilkan. Perahu Bakajang  dipergunakan untuk menyambut para pembesar seperti raja atau pun pejabat daerah yang datang berkunjung ke sebuah kenegerian di Daerah Aliran Sungai Subayang.

Harun Sorang, salah seorang  pemuda adat Kenegerian Miring mengatakan perahu Bakajang merupakan tradisi di Kenegerian Miring yang digunakan untuk menyambut para pembesar Kerajaan dan tamu-tamu khusus dari pemerintahan. Selain untuk menyambut para pembesar raja dan pemerintahan, sebut Harun, perahu Bakajang ini dikeluarkan pada saat acara-acara besar adat di Kenegerian Miring, seperti festival pekan Malako.

Warisan Leluhur

Harun menerangkan perahu Bakajang merupakan warisan tradisi leluhur, terkhusus Masyarakat Adat yang menetap di aliran sungai Subayang. Namun, tradisi Masyarakat Adat ini perlahan-lahan mulai tergerus perkembangan zaman.

Dahulu, ketika Raja Gunung Sahilan naik ke hulu (Baguluang Naiak Ajo),  perahu yang di gunakan raja dihias sedemikian rupa dengan panji-panji dan warna-warna kebesaran Raja.

Perahu yang mengantar Raja ke hulu Subayang ini akan menggunakan corak dan warna kain yang berbeda. Kain penghias perahu Raja akan memunculkan panji-panji kebesaran.

Namun, itu semua tinggal cerita masa lalu. Kini, perahu Bakajang hanya digunakan dan dikeluarkan pada saat acara besar Kenegerian. Tidak ada lagi Baguluang Naiak Raja ke hulu Daerah Aliran Sungai Subayang seperti dulu. Alhasil, perahu Bakajang hanya menjadi simbolik kedatangan Raja dan penghulunya.

“Dari tiga Kekhalifahan yang ada di Luhak Batu Songgan, Luhak Ujung Bukik dan Luhak Ludai, hanya Kenegerian Miring yang masih mempertahankan budaya tradisi leluhur ini,” kata Harun Sorang di Kenegerian Miring pekan lalu.

Dihias Kain Warna Warni

Pria yang juga kader AMAN ini menambahkan disaat ada kegiatan di kampung, perahu Bakajang akan dibuat oleh Masyarakat Adat agar bisa dinaiki oleh pembesar-pembesar Kenegerian saja.

Harun mengatakan pembuatan perahu Bakajang akan dipersiapkan jauh hari sebelum kegiatan dimulai. Pemuda adat bergotong royong menyiapkan perahu Bakajang ini. Mereka berbagi tugas seperti menyiapkan kerangka untuk memasang kain, menyiapkan segala warna dan ragam kain yang akan digunakan.

Setelah selesai dibuat, pemuda adat akan menghiasi perahu Bakajang tersebut dengan menggunakan kain batik panjang dan kain warna warni untuk menambah semarak hiasan perahu. Biasanya, kegiatan menghias perahu Bakajang dilakukan satu atau dua hari sebelum acara dimulai agar tidak salah pasang kain.

“Untuk satu perahu, bisa menggunakan lima sampai dengan sepuluh kain panjang batik dan lima kain warna warni lainnya,” terangnya.

Harun menjelaskan untuk perahu Bakajang yang digunakan untuk penyambutan Raja, kain yang digunakan adalah warna-warna kebesaran Raja, sedangkan perahu untuk tamu  menggunakan kain panjang biasa.

Pemuda adat sedang membuat hiasan dari kain batik dan kain warna warni untuk dipasang di perahu Bakajang. Dokumentasi AMAN

Bentuk Syukur

Tetua Adat Kenegerian Miring Ajismanto mengatakan tradisi perahu Bakajang ini sudah ada sejak ratusan tahun lalu. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun sebagai bentuk syukur atas limpahan kekayaan alam. Setiap ada hajatan atau acara  besar di kampung, perahu Bakajang pasti ada seperti dalam acara Semah Rantau. Di acara ini, perahu Bakajang digunakan untuk membawa tetua adat ninik mamak ke hulu sungai untuk mengantarkan kepala kerbau sebagai ucapan syukur atas kekayaan alam yang melimpah di kampung. Kemudian, agar terhindar dari segala penyakit besar dan berat.

“Kita bersyukur sejak tradisi perahu Bakajang ini dilaksanakan, belum ada ditemukan penyakit besar yang mendera Masyarakat Adat di kampung,” kata Ajismanto.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kampar, Riau

Writer : Nuskan Syarif | Kampar, Riau
Tag : Perahu Bakajang Kampar, Riau