
Anggota DPRD Ramai-Ramai Menolak Aktivitas Toba Pulp Lestari, DPRD Samosir : Tutup TPL
22 Juli 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Gelombang penolakan terhadap aktivitas operasional perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) terus meluas di kalangan anggota legislatif. Setelah DPRD Tapanuli Utara, kini giliran DPRD Samosir yang mendukung tuntutan Masyarakat Adat untuk menutup operasional pabrik bubur kertas tersebut di Tano Batak, Sumatera Utara.
"Seluruh anggota DPRD Samosir yang berjumlah 25 orang mendukung perjuangan Masyarakat Adat Tano Batak dan sepakat TPL harus segera ditutup," kata Ketua DPRD Samosir Nasip Simbolon saat menerima perwakilan delegasi massa aksi dari Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL pada Kamis, 17 Juli 2025.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua DPRD Samosir Sarhochel Martopolo Tamba yang menyebut sejak tahun 2020, DPRD mendukung sikap Pemerintah Kabupaten Samosir menolak menerima CSR dari TPL. Martopolo Tamba menegaskan komitmen dan konsistensi lembaga legislatif mendukung penyelamatan ekosistem Danau Toba dan menolak TPL.
“Tetap lawan sampai TPL benar-benar ditutup,” kata Martopolo Tamba sembari mengingatkan Masyarakat Adat agar waspada terhadap cara-cara Orde Baru yang mencoba memecah perjuangan ditengah seruan tutup TPL.
Masyarakat Adat Tano Batak aksi tutup TPL di gedung DPRD Samosir. Dokumentasi AMAN
AMAN Apresiasi Dukungan DPRD Samosir
Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran mengapresiasi dukungan DPRD Samosir dan Tapanuli Utara terhadap perjuangan Masyarakat Adat yang menuntut TPL segera ditutup. Dikatakannya, perlawanan terhadap TPL agar segera ditutup telah berlangsung lama dan hampir merata terjadi di seluruh kawasan Danau Toba.
"DPRD Samosir dan Tapanuli Utara telah mengikuti perjuangan Masyarakat Adat selama 25 tahun. Sekarang saatnya tutup TPL," tegasnya.
Jhontoni menyatakan dukungan tutup TPL yang disuarakan para anggota legislatif dari gedung parlemen ini menjadi bukti perlawanan terhadap perusahaan perusak lingkungan sekaligus perampas wilayah adat Tano Batak semakin meluas. Jhontoni berharap perjuangan ini terus menggema hingga perusahaan TPL benar-benar ditutup.
“Perjuangan ini tidak boleh berhenti sampai TPL ditutup,” tandasnya.
Ketua Aliansi Gerak Tutup TPL menyerahkan pernyataan sikap dan tuntutan massa aksi kepada Ketua dan Wakil DPRD Samosir. Dokumentasi AMAN
TPL Simbol Kolonialisme Modern
Ketua Aliansi Gerakan Rakyat Tutup TPL Anggiat Sinaga menegaskan TPL adalah simbol kolonialisme modern yang telah merampas tanah adat, merusak ekosistem, dan mengkriminalisasi Masyarakat Adat. Anggiat menambahkan TPL adalah ancaman bagi kehidupan Masyarakat Adat, karenanya harus segera ditutup.
“TPL ancaman bagi Masyarakat Adat. Kami menuntut seluruh izin konsesi TPL dicabut, hentikan operasionalnya dan kembalikan seluruh tanah adat yang dirampasnya kepada Masyarakat Adat,” serunya.
Anggiat menegaskan gerakan tutup TPL ini tidak akan berhenti hanya di Samosir. Masyarakat Adat akan terus berjuang hingga gerakan tutup TPL meluas hingga penjuru negeri.
“Kami akan terus melawan, dari desa ke desa, dari Kabupaten ke Kabupaten hingga ke pelosok negeri sampai perusahaan perusak ini (TPL) angkat kaki dari tanah leluhur kami,” pungkasnya.
KSPPM : 33.000 Hektar Konsesi TPL Ilegal di Samosir
Direktur Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) Rocky Pasaribu mengungkap sekitar 33.000 hektare konsesi TPL di wilayah Samosir berada di atas kawasan yang tidak legal, termasuk hutan Tele yang merupakan hutan lindung.
"Sejak 23 tahun lalu, TPL beroperasi di wilayah yang seharusnya tidak boleh disentuh. Temuan kami menunjukkan penebangan besar-besaran terjadi di sana, bahkan hingga tahun lalu," jelasnya.
Rocky mendesak DPRD Samosir segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk menyelidiki kasus ini, seperti yang telah dilakukan oleh DPRD Tapanuli Utara dan Simalungun.
Gereja : Kerusakan Lingkungan di Danau Toba sudah parah
Sekitar 150 orang dari berbagai latar belakang—pimpinan gereja, lembaga keumatan, organisasi masyarakat sipil, akademisi, petani, hingga Masyarakat Adat—berkumpul dalam acara peluncuran buku “Jeritan Bona Pasogit” dan konsolidasi gerakan menolak keberadaan PT Toba Pulp Lestari di Tano Batak. Kegiatan ini difasilitasi oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan United Evangelical Mission (UEM) pada Senin, 14 Juli 2025.
Alfian mewakili PGI dalam sambutannya menyampaikan acara ini merupakan inisiatif PGI untuk mengajak gereja-gereja terlibat aktif merespons krisis ekologi yang semakin mengkhawatirkan di kawasan Danau Toba.
"Pertemuan ini kami inisiasi untuk membahas secara serius hasil kajian dan penelitian terkait kerusakan lingkungan di kawasan Danau Toba sudah parah. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi menyangkut tanggung jawab iman kita sebagai gereja terhadap seluruh ciptaan Tuhan," ungkapnya.
Pdt. Firman Sibarani dalam pertemuan ini dengan lantang menyuarakan bahwa tanah Tapanuli bukan untuk dijarah, tetapi diwariskan.
“Tanah ini milik rakyat. Pemerintah semestinya melindungi, bukan menyerahkan kepada korporasi. Jika ingin damai dan hidup sejahtera, maka TPL harus ditutup,” tegasnya.
Buku Berisi Jeritan Masyarakat Adat
Buku “Jeritan Bona Pasogit” dikerjakan sejak Maret 2025, menghadirkan suara-suara dari bawah—jeritan Masyarakat Adat yang hidupnya terganggu akibat ekspansi industri perusahaan TPL.
Robinsar Siregar, salah satu penyusun buku, mengungkap buku ini berisi temuan mereka secara nyata dampak eksploitasi yang mengakibatkan krisis ekologi, hilangnya sumber penghidupan, serta perlawanan yang lahir dari komunitas perempuan dan Masyarakat Adat. Diakuinya, buku ini belum mencakup semua wilayah terdampak, tapi cukup mewakili luka besar yang sudah terlalu lama didiamkan.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara