Ritual Berkebun Masyarakat Adat Natarmage di Nusa Tenggara Timur
23 Juni 2023 Berita Fransiskus MadoOleh: Fransiskus Mado
Petani di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah biasa berkebun, namun setiap wilayah mempunyai kebiasaan yang berbeda. Seperti yang dilakukan Masyarakat Adat Natarmage, mereka mempunyai kebiasaan yang menjadi tradisi ritus dalam satu siklus, mulai masa tanam hingga panen.
AI PU’A merupakan situs doa dan penyembahan secara tradisional yang dilakukan Masyarakat Adat Natarmage. AI PU’A ini letaknya di tengah-tengah kebun di area kecil berukuran sekitar 1 x 1 meter. Di tempat ini, ditanamkan sebatang kayu bercabang dua dan diletakkan sebuah batu sebagai meja penyembahan. Area ini dikeramatkan atau dikuduskan karena telah menjadi tempat menghadirkan leluhur dalam urusan ritual selama berkebun.
Petrus Rako, tokoh Masyarakat Adat Natarmage menyatakan dalam ritus penyembahan tersebut hanya diperbolehkan kepada seseorang yang memegang jabatan BI’AN SOPE atau sebagai pembantu kepala suku dalam peran adat.
Petrus menerangkan pada tahap awal masa tanam, pemilik kebun meminta pada BI’AN SOPE untuk hadir melakukan ritual di tempat AI PU’A. Ritual ini disebut PAHE NURU (tanam). Dalam ungkapan adatnya disebut Nuru Gurun, Nan Roja, Tawa Ga’in Lema Grengan yang bermakna benih ditanam dan berharap tumbuh dengan subur.
“Masa tanam ini biasanya awal musim hujan yakni sekitar bulan Oktober ke Desember,” kata Petrus.
Setelah masa tanam, sebut Petrus, masa berikutnya yaitu masa bibit tumbuh dan berumpun. Biasanya, masa bibit tumbuh ini sekitar bulan Januari ke Maret. Di saat itu, lanjutnya, pemilik kebun merawat sambil membersihkan kebunnya seperti biasanya. Prosesi ini tidak terlepas dari pelaksanaan doa ritus dengan mendatangkan BI’AN SOPE yang sama dalam suku tersebut. Seperti tahap awal massa tanam.
Sasarannya juga sama yaitu di area AI PU’A, dengan harapan tanaman tetap tumbuh subur dan tidak terserang hama penyakit.
Petrus menyebut dalam syair adatnya berbunyi: “Kamang ubun lebut ramut Bladar, Wuan GanuKilibatu roun ganu Kaliraga”.
“Ritual ini disebut Mugun Ulun Tawa,” ungkapnya.
Selanjutnya, masa buka panen (Pai). Petrus menjelaskan pada masa ini juga dilakukan ritual oleh BI’AN SOPE di lokasi area AI PU’A, dengan harapan agar para leluhur menjaga hasil yang sedang panen tersebut tidak mengalami hambatan yang berakibatkan penyusutan atau berkurangnya jumlah hasil panen.
“Ritual ini dalam ungkapan adatnya Wini Lopa Gogo, Nean Lopa Ba, Gogo Ganu Watu, Ba Ganu Wai,” terangnya.
“Setelah itu dilanjutkan panen hingga selesai. Biasanya, masa panen jatuh sekitar bulan April atau Mei hingga Agustus,” ujarnya.
Petrus menyatakan dalam satu siklus dari masa tanam hingga panen ini, pemilik kebun berinisiatif melakukan sebuah ritual yang disebut Pati Ea. Ritual ini biasanya dilakukan pada pertengahan musim hujan.
“Ritual Pati Ea merupakan pemercikan darah hewan kurban pada kebun. Percikan darah hewan tersebut dilakukan di area yang dikeramatkan ditengah-tengah kebun,” katanya.
Petrus menerangkan Pati Ea dapat dilakukan apabila terdapat beberapa syarat, yang mana dialami oleh pemilik kebun seperti Grenga Uma atau ungkapan rasa senang terhadap kebunnya yang dipenuhi dengan tanaman subur. Dikatakan Petrus, hal tersebut dilakukan sebagai ungkapan tobat terhadap pelanggaran tertentu yang dilakukan oleh pemiik kebun pada beberapa tahapan ritus sebelumnya. Pati Ea juga dilakukan sebagai upaya secara keyakinan dalam menghadirkan leluhur dengan sebutan Long Teli Wua.
Altar Doa
Petrus mengatakan dalam ritual berkebun ini, AI PU’A kerap dijadikan Mesbah atau Altar Doa kepada Tuhan dan Leluhur yang didirikan ditengah-tengah kebun. Kemudian, diikuti dengan upacara atau ritual wajib dalam satu siklus berkebun mulai dari tanam hingga panen. Ritual ini dilakukan selama kebun tersebut masih digarap.
Petrus menyebut Masyarakat Adat Natarmage yang wajib mendirikan AI PU’A saat membuka kebun adalah perempuan sulung dalam keluarga.
“Ini karena AI PU’A menjadi symbol hak pada system pewarisan adat dalam suku,” terangnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sikka, Nusa Tenggara Timur