Festival Film Papua VI Angkat Kisah Puitis Dari Kampung Masyarakat Adat
24 Juli 2023 Berita Nesta MakubaOleh Nesta Makuba
Setelah sukses tahun lalu di Biak, Perkumpulan Papuan Voice kembali akan menyelenggarakan Festival Film Papua VI yang berlangsung pada 7-9 Agustus 2023 di Jayapura, Papua.
Festival Film Papua (FFP) dilaksanakan rutin setiap tahun. Awalnya, FFP dilaksanakan pada tahun 2017. Namun pelaksanaan FFP sempat terhenti di tahun 2020 karena pandemi Covid. Setahun kemudian, FFP dilaksanakan secara virtual. Namun di tahun 2022 ketika kasus Covid landai, panitia mulai menggelar FFP secara normal di pulau Biak, Papua.
Ketua Umum Papuan Voice Harun Rubarar menyatakan tahun ini FFP VI dilaksanakan di Jayapura, Papua. Harun menerangkan FFP merupakan wadah bagi kaum muda Papua untuk melihat, menggali dan memperkuat identitas dirinya terutama dalam mengangkat kisah atau cerita sederhana yang berasal dari kampung adatnya. Hal ini dirasa penting sebagai upaya mempertahankan hak hidup Masyarakat Adat.
Harun menilai kisah dari kampung Masyarakat Adat banyak yang menarik. Dikatakannya, dari kampung banyak nilai dan kearifan lokal yang dapat menjadi bekal untuk menjelajahi perkembangan dunia saat ini.
Beranjak dari dasar pemikiran ini, sebut Harun, FFP VI tahun ini dilaksanakan agak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Harun mengatakan pada FFP VI kali ini mereka tidak melaksanakan ajang kompetisi film dokumenter, namun lebih fokus pada kegiatan workshop film dokumenter, nonton, dan diskusi film dokumenter sebagai wadah untuk meningkatkan kesadaran dan kepercayaan terhadap identitas.
Harun mengungkap animo peserta FFP cukup tinggi, karenanya festival ini dilaksanakan rutin setiap tahun. Seperti beberapa tahun sebelumnya, tema yang diangkat dalam FFP selalu tentang kondisi dan situasi kebudayaan Masyarakat Adat.
“Tema Festival Film Papua VI tahun ini: Dari Kampung Kitong Cerita,” kata Harun belum lama ini di Jayapura, Papua.
Harun menyebut tema tahun ini lebih kepada cerita-cerita puitis dari kampung Masyarakat Adat yang direkam oleh komunitas Papuan Voice di seluruh wilayah Papua. Hal ini yang membedakan tema FFP VI dengan tema festival sebelumnya.
“Di FFP VI, kita menyampaikan kondisi kampung Masyarakat Adat secara langsung, tapi dikemas dengan cara bercerita seperti layaknya kita menyampaikan situasi kampung kepada orang lain,” ungkap Harun.
Ketua Panitia FFP VI, Iren Fatagur menjelaskan persiapan panitia dalam mempersiapkan pagelaran Festival Film Papua ke VI tahun ini sudah dilakukan sejak 12 Juni 2023. Dimulai dari pembentukan panitia hingga penentuan tema FFP VI “Dari Kampung Kitong Cerita“. Iren menerangkan dalam menentukan tema, ada beberapa tema kecil yang diangkat oleh panitia diantaranya soal pangan, perubahan sosial, sejarah dan Identitas, kearifan lokal, perempuan dan anak, potret buruh atau perampasan tanah.
Pelaksanaan FFP VI merupakan gambaran dari berbagai kisah Masyarakat Adat Papua dari beberapa wilayah di Tanah Papua. Gambaran kisah ini sesuai dengan temuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyebut ada empat persoalan utama di Tanah Papua, dua diantaranya adalah kegagalan pembangunan dan marjinalisasi orang Papua. Iren mengaku tak dipungkiri ada pembangunan infrastruktur di Papua, namun dua persoalan di atas sampai saat ini masih dirasakan dan dikisahkan oleh Masyarakat Adat Papua.
Di tahun 2022-2023, Masyarakat Adat Suku Awyu di Boven Digoel masih terus berjuang untuk mempertahankan hutannya dari kepungan investasi. Mereka menyadari bahwa kehadiran investasi akan merusak hutan dan alamnya serta semakin memarjinalkan mereka. Hal yang sama juga dialami oleh Masyarakat Adat pemilik hak ulayat di daerah Grime Nawa (Kabupaten Jayapura), Suku Moi (Kabupaten Sorong) dan di wilayah-wilayah yang pernah mendapatkan program transmigrasi.
“Pembangunan masih sebatas di daerah transmigrasi. Pemukiman yang dihuni oleh Masyarakat Adat masih jauh dari sentuhan pembangunan,” tandasnya.
Iren mencontohkan seperti kisah Suku Auyu Boven Digoel yang digambarkan dalam film ‘Kesepkatan Rahasia Hancurkan Surga Papua’. Menurutnya, film ini bisa menjadi rujukan untuk melihat persoalan Masyarakat Adat di Tanah Papua. Selain mempertahankan hutannya, Suku Auyu bekerja keras untuk merajut kembali jalinan kekerabatan atau kekeluargaan yang rusak karena kehadiran perusahaan di wilayahnya.
“Semua kisah ini dapat disaksikan di FFP VI,” katanya sembari mengajak kita semua untuk menyaksikan FFP VI di Jayapura Papua.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Jayapura, Papua