Di Perayaan HIMAS, Sekjen AMAN Mendesak DPR Sahkan RUU Masyarakat Adat
10 Agustus 2023 Berita Dirga Yandri TandiOleh : Dirga Yandri Tandi
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mendesak DPR RI segera mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat.
Seruan itu disambut teriakan ‘setuju’ oleh Masyarakat Adat yang menghadiri perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS).
“Sahkan RUU Masyarakat Adat,” kata Rukka dalam pidatonya pada perayaan HIMAS yang dipusatkan di Kete Kesu, Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan pada 9 Agustus 2023.
Rukka menyatakan ada banyak yang sudah kita capai dan ada banyak perubahan, akan tetapi tantangan kita masih banyak. Sampai hari ini, sesuai tema HIMAS adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, kita sebagai Masyarakat Adat sesungguhnya justru jauh dari hak untuk menentukan nasib sendiri.
“Kenapa, karena pengakuan atas hak asal usul, hak kolektif Masyarakat Adat yaitu hak menentukan nasib sendiri masih berhenti di Undang-Undang Dasar, belum menjadi Undang Undang Masyarkat Adat,” terangnya.
Rukka mengatakan sudah sepuluh tahun kita perjuangkan RUU Masyarakat Adat agar disahkan menjadi Undang-Undang, namun belum ada hasilnya sampai saat ini. Karenanya, kita Masyarakat Adat belum mampu dan tidak akan mampu berkontribusi terhadap pembagunan. Sebaliknya, yang akan terjadi adalah pembangunan-pembangunan banyak mengorbankan Masyarakat Adat.
“Terbukti, dalam satu tahun saja ada 300 lebih kasus di seluruh nusantara. Kasus yang dialami oleh komunitas-komunitas Masyarakat Adat karena tidak adanya kepastian hukum atas keberadaan kita Masyarakat Adat sebagai subjek hukum dan hak-hak kita Masyarakat Adat, sehingga bisa dengan mudah hak-hak tersebut ditiadakan dengan sebuah izin,” paparnya.
Foto Dokumentasi AMAN
Sejarah HIMAS
Rukka menjelaskan sejarah lahirnya HIMAS ditandai dengan persidangan pertama kelompok kerja PBB untuk Masyarakat Adat pada 9 Agustus 1982. Itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS). Namun, semua itu tidak terjadi begitu saja.
Rukka mengatakan semua itu terjadi karena pendahulu kita yang berjuang. Diceritakannya, 101 tahun yang lalu, ada satu Kepala Suku dari Amerika Utara mendatangi Liga Bangsa-Bangsa dan mengatakan kami tidak suka Pemerintah Inggris merampas Wilayah Adat kami.
Pada masa itu, sebut Rukka, kepala suku tersebut naik kapal dari Amerika ke Jenewa, sebelumnya singgah di Inggris bertemu Ratu Inggris. Tapi, ternyata waktu itu beliau ditolak. Kemudian, kepala suku melanjutkan perjalanan ke Jenewa dan dia juga di tolak disana.
“Kepergian kepala suku itu untuk memperjuangkan Masyarakat Adat-nya, Pemerintahan Adat-nya, hak untuk mengatur diri sendiri dan melawan penjajah waktu itu, menjadi tongkat senjata mulainya perjuangan Masyarakat Adat di tingkat nasional,” ungkap Rukka.
Ia menyebut di Indonesia tahun itu, AMAN belum terbentuk. Bahkan, belum dikenal istilah Masyarakat Adat. Tahun 1992 ditetapkan sebagai Hari Masyarakat Adat, lalu 10 tahun kemudian ditetapkan sebagai dekade Masyarakat Adat, dekade yang ditetapkan sebagai menentukan hak-hak Masyarakat Adat, barulah terkoneksi gerakan masyarakat se- nusantara dengan gerakan-gerakan lain.
“Kita baru memulai, pada tahun 1993, yang dimulai pada waktu itu, ada pertemuan pemimpin gerakan, LSM, gerakan lingkungan dan juga dari pemimpin-pemimpin adat,” terangnya.
Rukka menjelaskan waktu itu, yang baru dibicarakan gerakan lingkungan, karena zaman (Presiden) Suharto tidak mungkin kita berbicara tentang Hak Asasi Manusia. Zaman itu baru ada LSM lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat dan kita berbahagia karena hari ini kita masih bersama dengan mereka.
“Mereka semua inilah yang menjadi ibu yang mengandung Gerakan Masyarakat Adat di Indonesia, yang melahirkan AMAN 1999,” katanya sembari menambahkan Toraja juga menjadi ibu kandung Gerakan Masyarakat Adat di Nusantara, karena pertemuan 1993 dilakukan di Toraja.
Capaian Masyarakat Adat
Rukka menyatakan hari ini kita merayakan berbagai capaian, dan itu semua karena hasil kerja keras. Ia manyebut kita sudah punya 25 juta peta Wilayah Adat, 192 Peraturan Daerah (Perda) di seluruh nusantara, ada yang SK Bupati dan Perda. Rukka juga menyebut kita punya banyak utusan politik, mulai dari Kepala Desa, Bupati, Gubernur dan DPR dari seluruh tingkatan.
“Itulah kenapa tugas mereka membuat Perda dan terbukti, ketika kita berada di tempat-tempat pengambikan keputusan, maka kita bisa berbuat sesuatu di kampung kita,” ujarnya.
Dalam konteks ini, Rukka berharap semoga di Toraja Utara pemerintah segera keluarkan Peraturan Bupati (Perbup) dan Perda di Tana Toraja.
Ia menyebut secara khusus Toraja sudah melakukan pemetaan di 32 wilayah adat. Menurutnya, ini harus segera diselesaikan dan dijadikan alat untuk mengindentifikasi apa yang kita punya untuk bisa memaksimalkan pembangunan bersama Masyarakat Adat ke depan.
Rukka mengatakan bagi orang Toraja kehilangan tanah leluhur, saat ini mungkin tidak pernah dibayangkan karena leluhur tidak akan pernah hilang, karena kedaulatan 'Tondok Lepongan Bulan'. Itu sudah dilakukan leluhur kita beberapa ratus tahun lalu, tanggungjawab dan kewajiban kita orang Toraja adalah menjaga titipan dari leluhur kita, menjaga keutuhan komunitas-komunitas kita, kampung kita: 'Toraya Tondok Lepongan Bulan'.
“Kita orang Toraja yang ada saat ini adalah manusia yang beruntung, karena kita mewarisi: tidak berperang lagi, tidak lapar lagi karena leluhur kita sudah menang, tapi ditempat lain tidak seperti itu. Kita tidak mengenal kalah dan kita tidak pernah kalah,” kata Rukka, yang notabene kelahiran Toraja.
Hasil Karya
Rukka menyatakan di hari perayaan HIMAS tahun ini, dirinya ingin menyampaikan pesan khusus kepada generasi penerus: masa depan kita bangsa Indonesia, seluruh Masyarakat Adat ada di tangan generasi muda.
“Meskipun generasi muda sering disalahkan, tapi kita harus ingat bahwa sebuah generasi adalah hasil karya, tempaan dari generasi sebelumnya,” ungkapnya.
Rukka menuturkan saat ini ada generasi muda yang memilih bertahan di kampung dan ada juga yang memilih untuk pergi dari kampung. Dua kelompok ini tidak pantas dibanding-bandingkan, apalagi dipertentangkan.
“Mereka semua sama, yang pergi harus didukung, apalagi yang tinggal di kampung, karena yang tinggal dikampung yang akan menentukan sesungguhnya siapa yang akan menjaga kampung-kampung kita,” ujarnya.
Dikatakannya, generasi muda-generasi penerus, penjaga wilayah adat harus mendapatkan dukungan dan perhatian penuh, karena krisis sudah membuktikan bahwa yang tinggal di kota tidak berdaya, kampung menjadi tempat untuk pulang. Jadi, kita harus pastikan jika krisis terjadi lagi, anak-anak yang ada dikampung punya cukup bekal dan bisa menerima mereka yang kembali ke kampung halaman.
“Tanggung jawab kita bersama adalah dekat, menyiapkan dan memberikan bekal kepada generasi penerus,” imbuhnya.
Rukka menjelaskan kemandirian Masyarakat Adat dalam kehidupan tidak serta merta tercapai. Kemandirian tersebut tercapai jika kita hidup sejahtera dan berbahagia dengan mengelola secara bijaksana dan berkelanjutan seluruh kekayaan titipan leluhur, baik kekayaan material maupun kekayaan inmaterial berupa spiritualitas, pengetahuan, seni tradisi, kesusastraan, ritual-ritual dan kearifan adat kita.
Ia menyebut ekonomi Masyarakat Adat mandiri, jika sungai, laut, hutan dan tanah leluhur kita menyediakan kebutuhan hidup berkecukupan bagi kita. Pangan cukup, energi pun cukup. Ekonomi yang mandiri jika kreatifitas dan inovasi dalam budaya kita membahagiakan diri kita sendiri dan orang lain disekitar kita.
“Mudah-mudahan, kita yang ada saat ini mampu memberi bekal bagi generasi penerus untuk memastikan, kita bangsa indonesia dan Masyarakat Adat tetap ada 50 tahun ke depan, 100 tahun ke depan bahkan 1000 tahun ke depan dan selama-lamanya,” ujarnya penuh harap.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan