AMAN Soroti Regulasi Perampasan Wilayah Adat di Konferensi Tenurial
19 Oktober 2023 Berita Sepriandi dan Mohamad HajaziOleh Sepriandi dan Mohamad Hajazi
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terus menyoroti berbagai regulasi yang dinilai semakin membuat perampasan tanah pertanian dan wilayah adat semakin mudah dan masif.
Deputi Sekretaris Jenderal AMAN bidang Politik dan Hukum, Erasmus Cahyadi mengkritik kebijakan pemerintah yang hingga kini terus melahirkan regulasi yang mengancam wilayah Masyarakat Adat. Kriminalisasi semakin masif terjadi akibat regulasi yang dibuat tersebut bertentangan dengan kedaulatan Masyarakat Adat.
“Kita prihatin, regulasi yang dilahirkan oleh pemerintah justru memfasilitasi investasi dan segelintir kelompok elite bisnis dan elite politik yang mengancam kedaulatan Masyarakat Adat,” kata Erasmus dalam forum diskusi di Konferensi Tenurial pada Selasa (17/10/23).
Pria yang akrab disapa Eras ini mencontohkan revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU IKN, Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Semuanya mengancam keutuhan dan kedaulatan wilayah Masyarakat Adat.
Sementara itu, sebutnya, regulasi yang mengarah kepada keadilan sosial dan lingkungan tidak kunjung diselesaikan dan diimplementasikan oleh pemerintah seperti TAP MPR IX/2001, UUPA 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Perpres Reforma Agraria, hingga RUU Masyarakat Adat.
Eras menilai pemerintah dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo dalam satu dekade ini telah gagal memenuhi janji Nawacita. Sehingga, reforma agraria yang seharusnya mampu memberikan kesejahteraan bagi Masyarakat Adat tidak terjadi, sebaliknya justru semakin menyingkirkan hak-hak Masyarakat Adat untuk hidup lebih baik.
"Perampasan wilayah adat semakin menjadi-jadi, kriminalisasi semakin banyak. Kondisi ini membuat Masyarakat Adat semakin terpinggirkan," tegasnya.
Masifnya Perampasan Wilayah Adat
Kegelisahan yang dirasakan oleh Masyarakat Adat ini coba ditumpahkan oleh seorang peserta diskusi Konferensi Tenurial. Ia mempertanyakan apakah kita masih berada di Indonesia.
“Apakah kita ini di Indonesia atau dimana kita ini ?,” ujar salah seorang ibu Indra di acara diskusi hari kedua Konferensi Tenurial 2023 di Jakarta.
Perempuan ini dengan lantang mengusulkan Undang-Undang Cipta Kerja harus dilibas bahkan dibinasakan. Ia juga merekomendasikan usulan untuk mengeluarkan program Perhutanan Sosial dari kerangka Reforma Agraria. Sebab, menurutnya, Perhutan Sosial menjadi primadona untuk meyelesaikan konflik agraria.
Hal senada disampaikan Timotius dari Barisan Pemuda Adat Kalimantan Barat yang menceritakan mirisnya perlakuan pemerintah dengan segala instrumen yang dimilikinya untuk mengancam wilayah adat dari para petani yang sudah hidup berpuluh-puluh tahun melakukan aktivitas berladang dengan memanfaatkan sumber daya alam yang dimiliki untuk kebutuhan hidup.
“Masyarakat Adat ingin berdaulat atas sumber daya alam, pemerintah jangan menghalangi dengan berbagai instrumennya,” tandasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat