Masyarakat Adat Moi Desak Pemerintah Cabut Izin Perusahaan di Wilayah Adat Papua Barat Daya
16 November 2023 Berita Gamaliel M. Kaliele dan Samuel MoifilitOleh Gamaliel M. Kaliele dan Samuel Moifilit
Belasan pemuda adat bersama Masyarakat Adat Suku Moi yang tergabung dalam Gerakan Malamoi menggelar aksi unjuk rasa ke kantor Kehutanan Provinsi Papua Barat Daya, Senin (13/11/2023), mendesak pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk segera mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) perusahaan yang beroperasi di wilayah adat.
Masyarakat Adat Moi yang berasal dari beberapa distrik ini menolak kehadiran perusahaan di wilayah adat karena dikhawatirkan akan berdampak terhadap situs-situs sejarah leluhur dan tempat-tempat tertentu lainnya yang diyakini Masyarakat Adat sebagai situs adat sub Suku Moi Salkma dan Sub Suku Moi Abun Taat.
Koordinator aksi Gerakan Malamoi, Falen Maas mengatakan aksi ini sebagai bentuk keresahan Masyarakat Adat di tanah Malamoi terhadap kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada Masyarakat Adat Moi. Falen menambahkan selama ini Masyarakat Adat Moi selalu dihantui rasa khawatir terhadap keberadaan industri ekstraktif yang diberikan akses oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Karenanya, mereka mendesak Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan segera mencabut semua izin industri ekstraktif di tanah Malamoi.
“Kami juga mendesak Gubernur Papua Barat Daya tidak boleh lagi memberikan rekomendasi kepada perusahaan-perusahaan lainya untuk merampas hutan adat kami,” tandasnya.
Penyerehan berkas berisi aspirasi Masyarakat Adat kepada pemerintah Papua Barat Daya. Dokumentasi AMAN
Hal senada disampaikan oleh Yordan Malamuk dari Pemuda Adat Moi bahwa sebagai pemilik hak ulayat, mereka menolak dan tidak mengizinkan rencana operasi perusahaan PT Mancaraya Agro Mandiri dan PT Hutan Hijau Papua Barat di wilayah adat. Yordan menyebut ada lima Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan dan izin-izin lainya yang diterbitkan kepada perusahaan PT Mancaraya Agro Mandiri dan PT Hutan Hijau Papua Barat. Ia mendesak Dinas Lingkungan Hidup, Kehutanan dan Pertanahan Provinsi Papua Barat Daya serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia segera mencabut perizinan tersebut.
“Kami mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia segera mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan PT Mancaraya Agro Mandiri seluas 97,529 hektare dan PT Hutan Hijau Papua Barat seluas 92.158 hektare di wilayah adat Suku Moi di Kabupaten Sorong, Kabupaten Maybrat dan Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya,” kata Yordan disela aksi unjukrasa.
Dikatakannya, Masyarakat Adat Moi membela dan mempertahankan hak atas tanah dan hutan adat yang tersisa, demi hidup generasi saat ini dan generasi penerus masa mendatang. Yordan menyebut tanah dan hutan adat yang telah dikuasai oleh perusahaan sejatinya milik Masyarakat Adat.
“Kami tidak terima tanah dan hutan adat kami dieksploitasi perusahaan,” tandas Yordan.
Yordan menyebut sedikitnya ada 27 marga dari berbagai distrik di Papua Barat Daya yang terkena dampak dari eksploitasi perusahaan tersebut yaitu marga Miskidi, Metla, Ligit, Klisi, Malamuk, Malagifik, Megisubu, Maas, Murpa, Miyalim, Klouw, Klesf , Blesya, Kwanik, Korokya, Yewen, Yekwam, Lokden, Bles, Kasna, Sakma, Suklu. Perwakilan dari marga adat ini hadir dalam aksi unjukrasa di kantor Kehutanan Provinsi Papua Barat Daya. Mereka meminta pemerintah provinsi Papua Barat Daya untuk segera menindaklanjuti aspirasi mereka yang menolak kehadiran lima perusahaan di wilayah adat.
Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Region Papua, Esau Klagilit menyatakan mendukung penuh perjuangan Masyarakat Adat dari berbagai distrik yang terkena dampak dari kehadiran perusahan di wilayah adat. Menurutnya, aksi yang dilakukan di kantor Dinas Lingkungan Hidup Kehutanan Provinsi Papua Barat Daya menjadi satu gebrakan untuk mengingatkan kepada pemerintah bahwa Masyarakat Adat, khususnya yang berada di wilayah adat, dengan tegas menolak kehadiran lima perusahaan.
Esau menyebut dua dari lima perusahaan yang beroperasi tersebut merupakan perusahaan yang memperdagangkan karbon. Sementara satu perusahaan kelapa sawit, sedangkan dua lainnya perusahaan kayu.
Esau menambahkan kehadiran perusahaan ini di wilayah adat mereka dapat mengancam wilayah kehidupan Masyarakat Adat yang ada di sekitar wilayah adat Salkam. Karenanya, Esau berharap pemerintah mengkaji ulang semua izin-izin yang telah diterbitkan untuk perusahaan tersebut.
“Kami minta izin-izin perusahaan yang ada di wilayah adat Salkam dicabut mengingat akan menghancurkan wilayah kehidupan Masyarakat Adat Salkma dan wilayah adat lainya,” papar Esau.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Papua Barat Daya