Sekolah Adat AMAN Perkenalkan Pendidikan Adat di Sekolah Formal
21 November 2023 Berita Risnan AmbaritaOleh Risnan Ambarita
Empat sekolah adat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) perkenalkan pendidikan adat melalui pameran dan kelas terbuka kepada sekolah formal di Jakarta saat diundang Kementerian Kebudayaan Pendidikan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) pada acara Pekan Kebudayaan Nasional 2023.
Keempat sekolah adat tersebut adalah Sekolah Adat Sihaporas dari Tano Batak, Sumatera Utara, Sekolah Adat Bayan dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, Sekolah Adat Ngata Toro dari Sulawesi Tengah, Sekolah Adat Kewang dari Ambon, Maluku Tengah.
Keempatnya berkunjung ke tiga sekolah formal Jakarta disela kegiatan Pekan Kebudayaan Nasional pada 20 - 29 Oktober 2023. Ketiga sekolah formal tersebut adalah SMA Negeri 75 Jakarta, SMP Negeri 168 Jakarta dan SMA Taman Siswa Jakarta.
Ira Gallis selaku Manager Program Pekan Kebudayaan Nasional menyatakan kunjungan sekolah adat ke sekolah-sekolah formal di Jakarta ini merupakan contoh yang baik sekaligus positif untuk kemajuan pendidikan di tanah air. Menurutnya, pendidikan adat perlu diketahui oleh siswa di sekolah formal sebagai wujud transformasi pengetahuan lokal.
“Para siswa di sekolah formal sangat merespon transformasi pengetahuan lokal yang disampaikan oleh sekolah adat. Ini positif untuk pendidikan kita,” kata Ira Gallis
Ira menambahkan kunjungan sekolah adat ini bertujuan untuk memperkenalkan tentang pendidikan adat ke sekolah formal. Karenanya, perlu ditindaklanjuti dalam bentuk kerjasama yang lebih intensif. Sebab, kata Ira, kehadiran perwakilan sekolah adat disambut antusias oleh para siswa di sekolah formal.
“Ini artinya, sekolah adat diterima. Apalagi, kunjungan mereka dalam rangka untuk memperkenalkan seperti apa sekolah adat dan menjelaskan siapa itu Masyarakat Adat kepada para siswa sekolah formal,” ujarnya.
Selain berkunjung ke sekolah formal, perwakilan sekolah adat juga membuka ruang pameran benda adat di Museum Kebangkitan Nasional Jakarta. Pamerannya meliputi photo dan video aktivitas belajar sekolah adat, kemudian ada juga beragam pakaian adat dan benda adat untuk ritual.
Di pameran ini, sekolah adat juga mempresentasikan apa yang dilakukan oleh Masyarakat Adat di empat sekolah adat yang ada di kampung mereka masing masing.
Pengunjung sangat puas dan terpesona dengan kegiatan pameran dan persentasi ini, tercermin dari komentar mereka yang tertulis di buku tamu. Mereka mendukung pelestarian budaya lewat sekolah adat.
Ira Gallis berharap semoga ini jadi pintu pembuka kita untuk memperkenalkan lebih jauh lagi tentang Masyarakat Adat dan sekolah adat. Salah satunya dengan melakukan festival budaya sekolah adat ke depannya.
Foto bersama Murid dan guru SMPN 186 Jakarta. Dokumentasi AMAN
Paparan dari Sekolah Adat
Inisiator Sekolah Adat Ngata Toro di Sulawesi Tengah, Rukmini Toheke dalam paparannya di kelas terbuka sekolah formal menyatakan prinsip dan filosofi yang selama ini digunakan Sekolah Adat Ngata Toro sebagai kurikulum adalah Taluhi Takuhua atau Tiga Tungku Kehidupan.
Rukmini menyebut lokasi Sekolah Adat Ngata Toro berada di dalam hutan konservasi seluas 22.000 hektar. Di area ini, tinggal 3000 jiwa Masyarakat Adat Ngata Toro.
Rukmini menerangkan hal yang dipelajari di sekolah adat Ngata Toro salah satunya adalah tata krama dan hubungan baik dengan sesama manusia. Kemudian, setiap Masyarakat Adat juga diajarkan di sekolah adat wajib untuk mengikuti peraturan dan menghindari larangan yang telah diatur.
“Masyarakat Adat diajarkan di sekolah adat untuk tidak mengambil sumber daya alam dari hutan terakhir yang telah terhitung sebagai kawasan hutan milik Masyarakat Adat Ngata Toro,” jelasnya.
Ompung Moris Ambarita selaku Tetua Sekolah Adat Sihaporas di Sumatera Utara dalam paparannya lebih banyak menyampaikan tentang tradisi Masyarakat Adat Sihaporas yang tergambar dalam ritual Manoto yaitu ritual adat untuk menyambut pembukaan lahan pertanian. Ompung Moris menjelaskan ritual ini dilakukan untuk memohon panen yang melimpah, menghormati alam, dan memohon izin mengolah tanah kepada Sang Pencipta Alam Semesta.
Selain ritual Manoto, kata Ompung Moris, ada juga Ritual Habonaran yang dilakukan untuk menjaga kebersamaan dan kedamaian antar warga di kampung.
Ompung Moris menyebut secara keseluruhan ada tujuh tradisi ritual adat di Masyarakat Adat Sihaporas yang diwariskan leluhur secara turun temurun. Hingga saat ini, tradisi ritual adat itu masih dilestarikan oleh Masyarakat Adat Sihaporas. Mereka memiliki 11 generasi di Sihaporas.
Namun karena wilayah adat mereka dirampas oleh perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL), akunya, pelaksanaan ritual semakin sulit.
“Wilayah Adat kami merupakan tempat ketersediaan kebutuhan ritual, sulit rasanya untuk melaksanakan ritual saat ini karena wilayah adat kami telah dirampas oleh TPL,” ujarnya sembari berharap pemerintah segera mencabut izin TPL dan mengakui Hak Hak Masyarakat Adat Sihaporas.
Marzuki dari Sekolah Adat Bayan Lombok di Nusa Tenggara Barat dalam paparannya di kelas terbuka sekolah formal menceritakan mengenai kelas arsitektur lokal dan pengetahuan tradisional.
Dikatakannya, arsitektur lokal Masyarakat Adat Bayan lahir dari kesadaran nenek moyang yang memahami alam dan segala perilakunya. Dengan demikian, nenek moyang memiliki pengetahuan yang dimanifestasikan dalam pembangunan tempat tinggal sesuai dengan kebutuhan dan kebudayaan serta tahan terhadap resiko bencana yang ada.
Sementara itu, Kristy Mustamu selaku fasilitator Sekolah Adat Kewang Ambok di Maluku memaparkan kegiatan di Sekolah Kewang berfokus pada kegiatan yang menghasilkan output dalam pelestarian lingkungan, menjaga alam, menjaga flora fauna, dan lainnya yang hidup di Pulau Haruku. Krsisty menyebut banyak kegiatan yang dilakukan di Sekolah Adat seperti menanam bakau dan menanam telur burung maleo.
Selain itu, Kristy juga menerangkan bahwa Sekolah Adat Kewang masih melestarikan tradisi Sasi Lompa. Tradisi ini dilakukan pada malam hari hingga subuh dini hari. Tradisi ini dilakukan oleh Masyarakat Adat Kewang untuk menyambut pesta rakyat di pinggir sungai dan menangkap ikan bersama-sama.
“Hingga saat ini, tradisi sasi lompa masih dilestarikan oleh Masyarakat Adat Kewang,” jelasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara