Potret Sekolah Adat Berbasis Teknologi di Perbatasan RI-Papua Nugini
20 Desember 2023 Berita Nesta MakubaOleh Nesta Makuba
Jauh dari pusat kota dan hiruk pikuk keramaian, tak membuat sekolah adat di Distrik Mindiptana terasing. Sekolah adat yang berlokasi di dekat perbatasan RI-Papua Nugini ini justru diminati oleh banyak orang, terutama perempuan adat Papua.
Genoveva Kangrinon misalnya, ibu berusia 56 tahun ini sudah satu tahun lebih belajar di sekolah adat tersebut. Ia mengaku banyak sekali mendapatkan ilmu yang cukup berharga dari sekolah adat berbasis teknologi tersebut.
Genoveva mengaku sebelumnya tidak tahu cara mengoperasikan komputer. Namun setelah belajar di sekolah adat Mindiptana, dirinya mulai dapat mengoperasikan komputer.
“Saya bersyukur sudah bisa mengoperasikan komputer. Semua itu saya pelajari dari sekolah adat,” kata Genoveva saat dijumpai di sekolah adat Mindiptana pada 9 Desember 2023.
Ia menyatakan tidak malu untuk belajar di sekolah adat meski usianya kini sudah tidak muda lagi. Menurutnya, belajar itu tidak mengenal batas usia. Kapan pun jika ada keinginan bisa belajar dimana saja.
“Itulah prinsip saya,” katanya penuh semangat.
Sekolah adat di Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel berdiri sejak tahun 2022. Sekolah adat yang baru beroperasi setahun lalu ini punya 20 orang siswa, yang mayoritas didominasi perempuan adat dari kampung sekitar Distrik Mindiptana.
Sekolah adat yang terletak sekitar 3 km dari perbatasan negara tetangga Papua Nugini ini buka setiap minggu dan khusus hari Sabtu pukul 14.00 WIT.
Sekolah Adat Mindiptana. Dokumentasi AMAN
Ferderika Yawiwa selaku fasilitator sekolah adat Mindiptana menyatakan sejauh ini aktivitas belajar mengajar di sekolah adat masih menumpang menggunakan salah satu ruang kelas di SMA YPPK Petrus Hoeboer Mindiptana. Dikatakannya, mayoritas peserta didik yang mengikuti kelas di sekolah adat adalah mama (perempuan) Papua dari kampung-kampung sekitar Mindiptana.
Ferderika menceritakan pengalamanya selama menjadi pengajar di sekolah adat Mindiptana cukup menyenangkan. Ia bersama para peserta didik sendiri yang menyusun modul pembelajaran. Setiap sore, Ferderika menyempatkan waktunya untuk mengajar di sekolah adat Mindiptana.
“Menyenangkan sekali bisa berbagai ilmu pengetahun dengan mama-mama Papua disini,” kata Ferderika yang masih tercatat sebagai tenaga pendidik di SMP YPPK Mindiptana.
Ferderika mengaku terkesan dengan semangat mama-mama Papua yang sangat antusias belajar di sekolah adat. Mereka cukup cepat menyerap ilmu yang diajarkan.
“Awalnya, tak satu pun mama-mama Papua bisa mengoperasikan komputer. Tapi setelah belajar di sekolah adat, mereka mahir mengoperasikan word office, exel dan power point,” ungkapnya.
Ferderika berharap ke depan waktu belajar di kelas sekolah adat dapat ditambah sehingga dapat menambah wawasan peserta didik untuk menjadi lebih mahir.
AMAN mendorong sekolah adat dijalankan di kampung
Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Jayapura, Benhur Wally mengungkapkan pentingnya sekolah adat sebagai salah satu media belajar anak-anak adat untuk mengembalikan jatidiri budaya adat istiadat Masyarakat Adat yang mulai pudar.
Terkait hal ini, Benhur Wally menyambut baik gencarnya beberapa wilayah adat di tanah Papua, termasuk Kabupaten Jayapura yang serius mendirikan sekolah adat sebagai salah satu sarana anak-anak di komunitas Masyarakat Adat untuk belajar tradisi, budaya adat istiadatnya secara mendalam.
AMAN sendiri, kata Benhur, mendorong sekolah adat harus dijalankan di kampung-kampung atau di komunitas Masyarakat Adat. Menurutnya, ini penting dalam rangka menjaga dan melestarikan adat istiadat yang mulai hilang di kampung.
Ia mencontohkan mereka dulu punya beberapa sekolah adat di beberapa komunitas Masyarakat Adat di Papua seperti rumah inisiasi, kemudian rumah-rumah sakral yang dipakai untuk pendidikan adat yang dijalankan oleh suku. Tapi belakangan, sejak 50 tahun lalu sudah tidak berjalan.
Kenyataan ini, mendorong AMAN Jayapura untuk menginisiasi atau menggagas agar sekolah adat tetap berjalan dan eksis di kampung dan komunitas Masyarakat Adat.
Benhur mencontohkan sekolah adat di kampung Hobong untuk suku Bhuyaka. Namun sayangnya, sekolah adat yang seharusnya menjadi contoh untuk mengembangkan sekolah-sekolah adat di Papua ini tidak efektif, terutama di komunitas-komunitas Masyarakat Adat.
“Ketika kita sudah mulai bergerak mulai dari Hobong, tetapi tidak sedikit orang yang merepresentasikan bahwa sekolah adat tersebut akan seperti sekolah formal. Sebenarnya tidak seperti itu, yang paling benar kita butuh gerakan sadar sekolah adat, itu harus wajib hukumnya,” ungkap Benhur.
Ia menyatakan jika ada rencana pembentukan sekolah adat di kampung atau komunitas Masyarakat Adat, akan dikembalikan kepada komunitas dan musyawarah adat dimasing-masing kampung untuk memutuskan.
“Modelnya seperti apa, bahan pembelaran seperti apa, semua kembali kepada musyawarah adat di kampong,” imbuhnya.
Benhur Wally menghimbau kepada seluruh komunitas Masyarakat Adat di seluruh kampung tanah Papua, pentingnya gerakan kampanye pengembalian sekolah adat sebagai jatidiri Masyarakat Adat orang Papua yang kental dengan budaya, adat istiadat dan tradisi. Sehingga, tidak menjadikan sekolah adat ini sebagai proyek tetapi serius untuk membangun sesuatu tradisi nenek moyang yang sedang dalam ancaman kepunahan.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Jayapura, Papua